web page hit counter
Jumat, 22 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Hedonisme, Dosakah

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM Pastor Her, saya cukup kerap mendengar istilah hedon dan hedonisme. Bagaimana pandangan iman Katolik terhadap hal ini? Apakah hal ini termasuk dosa? Terima kasih. (Madeline, Jakarta)

HEDONISME secara populer sering dimengerti sebagai gaya hidup senang-senang. Singkatnya: cari kesenangan dan hindari derita. Di balik fenomena ini ada pandangan filosofis dan psikologis, yang melihat bahwa kebahagiaan manusia tercapai bila orang memperoleh kenikmatan (pleasure) sebanyak mungkin, dan terjauhkan dari penderitaan (pain). Itulah sebabnya disebut hedonism; hedon, dalam bahasa Yunani berarti kenikmatan. Kenikmatan dan derita ini dilihat secara psikologis sebagai dua kutub, yang menentukan tindakan dan pilihan manusia.

Kenikmatan sendiri umumnya dimengerti secara luas, meliputi semua perasaan atau pengalaman yang menyenangkan: kepuasan, kegembiraan, ekstasi, euforia, syukur, kegirangan, dan sebagainya. Ada kebutuhan alami, dan ada kebutuhan yang melampaui kebutuhan alami.

Tidak heran dalam hedonisme ada juga pandangan yang memahami kenikmatan bukan hanya sebatas pemuasan kebutuhan alami saja, tetapi melampauinya, yaitu kenikmatan dicapai justru ketika orang bisa melampaui kebutuhan alami itu. Dengan pelampauan semacam itu orang bisa mecapai ketenteraman jiwa yang tenang, kebebasan dari perasaan risau, dan keadaan seimbang. Sayangnya, hedonisme populer menekankan kenikmatan alami itu dan mengejarnya secara berlebihan: kenikmatan ingin dikejar sepuas-puasnya, suatu usaha yang sebenarnya tak pernah tercapai karena tidak pernah terpuaskan secara menetap.

Salah satunya penyebab meluasnya hedonisme zaman sekarang kiranya adalah pengaruh media sosial, yang secara masif memamerkan gaya hidup ini. Kemewahan, pesta pora serta kehidupan glamor tampil mengglobal tanpa malu-malu. Akibatnya terbangunlah opini dan idealisme sosial, yang selalu ingin menampakkan wajah bahagia dan kemakmuran sebagai
wajah kehidupan sukses dan idaman. Selain itu, secara pribadi orang suka memberi alasan self reward sesudah bekerja keras. “Apa salahnya? Kita kan harus menghargai diri sendiri. Kalau bukan kita yang memanjakan diri, siapa lagi?” Semua itu ditambah lagi kemudahan belanja dengan berbagai pilihan menarik, yang tentu saja memicu semangat konsumtif.

Baca Juga:  Renungan Harian 22 November 2024 “Suara Merdu vs Sumbang”

Dosakah ini? Keinginan untuk hidup baik sebagai hasrat kodrati tentu saja bukan merupakan dosa. Namun bila hasrat itu menjadi terlalu dominan, dan kemudian memperbudak kita, hasrat itu bisa memicu dosa. Seperti dikatakan Katekismus, “Supaya mengerti, apa sebenarnya dosa itu, orang lebih dahulu harus memperhatikan hubungan mendalam antara manusia dan Allah. Kalau orang tidak memperhatikan hubungan ini, kejahatan dosa tidak akan dibuka kedoknya dalam arti yang sebenarnya – sebagai penolakan Allah, sebagai pemberontakan terhadap-Nya – walaupun ia tetap membebani kehidupan dan sejarah manusia” (KGK 386).

Orang hedonis bisa memberi alasan macam-macam untuk membenarkan diri. Namun hedonisme bisa mengganggu hubungan kita dengan Tuhan dan merusak martabat manusia. Selain bahaya kesombongan, orang bisa menjadi sangat boros dan konsumtif, serta melupakan solidaritas sesama. Kita bisa lupa bahwa setiap harta yang diberikan Tuhan memiliki nilai sosial, sehingga pemakaiannya tidak boleh hanya terfokus pada diri sendiri. Banyak orang tersisih, meskipun tinggal di bumi yang sama, karena akses atas hidup yang layak terhambat karena ketidakadilan. Termasuk panggilan solidaritas adalah tanggung jawab terhadap lingkungan hidup dan keutuhan ciptaan yang bisa dilakukan dengan memanfaatkan alam ini secara bertanggung jawab.

Baca Juga:  Keuskupan Sibolga dari Sinode ke Sinode, Terus Bertumbuh dan Berakar

Iman mengajarkan bahwa nilai hidup sejati bukan terletak hanya dalam pemenuhan hasrat, tetapi dalam persekutuan dengan wafat dan kebangkitan Kristus sendiri. Di sana salib dan penderitaan bukan dihindari, melainkan diterima sebagai jalan persatuan kita dengan Yesus dan karya keselamatan-Nya. Orang Kristen sejati akan memilih gaya hidup yang seimbang dan bertanggung jawab di hadapan Tuhan dan sesamanya.

HIDUP NO.03, 16 Januari 2022

 

Pastor Gregorius Hertanto, MSC
(Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng, Sulawesi Utara)

 

Silakan kirim pertanyaan Anda ke:

re**********@hi***.tv











atau WhatsApp 0812.9295.5952. Kami menjamin kerahasiaan identitas Anda.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles