HIDUPKATOLIK.COM – ANAK-anak, remaja, tua-muda tumpah-ruah menyambut kehadiran Mgr. Seno Inno Ngutra saat berkeliling ke sejumlah tempat di Maluku tak lama setelah ia ditahbiskan menjadi Uskup Amboina menggantikan pendahulunya, Mgr. Petrus Canisius Mandagi, MSC. Lautan manusia menyongsongnya ke mana pun ia datang. Tak terkecuali di tanah kelahirannya Kepulauan Kei. Sambutan demi sambutan istimewa menyertai setiap langkahnya. Keistimewaan itu kian menyemburkan makna yang mendalam saat sekekompok ibu-ibu mengenakan hijab menyongsong Uskup. Uskup pun menundukkan kepala dan agak membungkukkan badannya ketika seorang ibu mengalungkan kain tenun Maluku Tenggara dan didoakan secara adat oleh para raja-raja setempat. Tak berhenti di situ. Di penyambutan lain, selain ditandu, kaki Uskup dibasuh sebagai tanda penghormatan oleh ibu-ibu berhijab.
Pemandangan seperti ini tentu saja mengundang decak kagum di tengah berhembusnya benih-benih intoleransi, radikalisme, bahkan terorime di negeri ini. Tak terbilang lagi berapa banyak peristiwa bom bunuh diri yang terjadi di sejumlah tempat, terutama rumah-rumah ibadat di pelbagai penjuru tanah air. Begitu juga perundungan oleh pihak-pihak tertentu karena perbedaan keyakinan.
Maluku pernah mengalami masa-masa yang tidak mudah saat meletus konflik horizontal akhir tahun 90an hingga awal tahun 2000an. Sungguh sebuah masa kegelapan di Provinsi Seribu Pulau ini. Segregasi sosial begitu dalam. Sempat menyisakan luka yang begitu pedih. Namun, masa-masa itu dapat dilewati. Semangat pela gandong, ‘katong samua bersaudara’ digemakan kembali, pelbagai upaya untuk merajut kembali kebersamaan dan semangat persaudaraan melampaai sekat-sekat atau batas-batas dihidupkan kembali.
Dan, kini, situasinya sungguh jauh berbeda. Seruan bahwa Maluku merupakan laboratorium kerukunan antarumat beragama tak lagi sekadar isapan jempol. Sambutan hangat kepada Uskup Inno merupkan puncak gunung kekuatan semangat tolerasi, bahkan melampaui (beyond) toleransi, menopang kuatnya kesatuan, kebersamaan antarwarga. Bila dirunut ke belakang, bentangan sejarah itu sesungguhnya, kerukunan itu telah terjalin sejak nenek-moyang mereka ribuan tahun lalu. Hanya karena ada pihak-pihak tertentu, yang disadari kemudian, yang ingin mengaduk-aduk kedamaian yang tumbuh subur di tengah masyarakat. Mereka bahkan dengan tegas mengatakan, bahwa mereka berasal dari satu rahim yang sama.
Di tengah upaya Pemerintah untuk menghidupkan kembali semangat moderasi beragama, alangkah eloknya, bila kita bercermin pada situasi sosial (budaya) di Kepulauan Kei, Maluku Tenggara. Penyambutan hangat oleh semua lapisan masyarakat kepada Uskup Inno bukanlah sebuah rekayasa atau artifisial. Semua itu berasal dari nadi dan suara hati terdalam warga masyarakat setempat. Mereka menyemut dan ingin melihat putra terbaik yang kini menjadi pemimpin mereka.
Tantangan ke depan, tak hanya bagi para tokoh agama, masyarakat dan pemerintah, masyarakat di akar rumput terutama, bagaimana merawat, memelihara, dan terus, memupuk, menyuburkan semangat kesatuan, kebersamaan dalam kemajemukan ini. Adalah harga yang terlalu mahal bayarannya, jikalau semangat ini ternoda kembali oleh percikan api yang dijentikkan oleh pihak-pihak tertentu yang tak ingin kemesraan ini abadi.
HIDUP, Edisi No. 28, Tahun ke-76, Minggu, 10 Juli 2022