HIDUPKATOLIK.COM -Professor Muhammad Yunus, pemenang Nobel Perdamaian pada 13 Oktober 2006, memiliki sumbangan khas dan terbesar dalam metodologi pengejawantahan konsep teoritik ke dalam kehidupan nyata.
Dia menilai bahwa dengan pendekatan makro yang disebutnya dengan istilah “mata burung” (helicopter view) hanya mampu memberikan gambaran yang sangat umum dan tidak rinci tentang kemiskinan. Pengalaman membuktikan, bahwa pendekatan ini tidak mampu mengurangi angka kemiskinan di negara-negara sedang berkembang.
Sebaliknya, Prof. Yunus menggunakan “mata cacing” yang melihat tanah dari jarak yang sangat dekat, hampir-hampir menyatu dengan tanah yang dijelajahinya secara pelan-pelan dan sungguh-sungguh (dalam buku Bank for the Poor, 2007).
Melalui pendekatan “mata cacing” itu pula, dia mencengangkan publik di seantero dunia. Rantai kemiskinan dipecahkannya melalui kredit mikro sebesar 22 cents.
Mungkin, apa yang tampaknya sepele, sederhana, dan bahkan tidak mungkin, ternyata memiliki kadar manfaat yang tinggi.
Untuk itulah, intervensi belasan sen dolar AS ala Prof Yunus yang mampu menyaingi intervensi lembaga donor internasional dalam jumlah miliaran dolar AS, menjadi peringatan kita bahwa “mendengar dengan telinga hati”, melihat dengan sungguh, merefleksi dan mengalami langsung medan kemiskinan jauh lebih bermartabat ketimbang wacana diawang-awang yang tidak terbukti memiliki solusi.
Dalam konteks inilah, perayaan kenaikan (kembalinya) Yesus Kristus dari bumi ke Surga pada ribuan tahun yang lalu, secara manusiawi memiliki beberapa makna.
Pertama, para rasul yang waktu itu ditinggalkan oleh Yesus merasa ketakutan. Namun Yesus menjanjikan penolong yaitu Roh Kudus. Siklus manusiawi memang kerap memberatkan iman akan kebaikan Allah. Meski dengan ungkapan yang menjanjikan dari Allah, tetap sajalah manusia kurang mempercayainya.
Kedua, kenaikan itu menjadi momen tanda pengakuan Allah yang sepenuh-penuhnya akan kemerdekaan dan kemampuan manusia untuk meneruskan karya-karya-Nya. Kemampuan itu berasal dari-Nya. Manusia diberi peluang dan kepercayaan untuk memakai kemampuan manusiawinya itu dengan tetap bersumber pada kekuatan dari Allah. Tetapi justru manusia kerap tidak memakai sumber kekuatannya dari Sang Ilahi. Dia terlupakan oleh asal kekuatan itu dan dengan sadar serta sengaja menonjolkan kemampuannya sendiri.
Allah yang berada dalam “ketinggian” dan “kedalaman” tidak pernah meninggalkan manusia. Allah naik ke Surga, tetapi semakin dekat berada dalam diri setiap manusia. Paradoks kenaikan Yesus adalah kepenuhan kemaharahiman Allah untuk memenuhi janji keselamatan manusia meski telah melewati sengsara, wafat, kebangkitan dan kembali ke Surga.
Oleh karena Roh-Nya yang kudus itu, eksistensi-Nya terwakili dan tidak tergantikan dalam peradaban setiap manusia di segala zaman. Dia tetap meneruskan, menyelesaikan dan menyempurnakan karya-Nya dengan mengajak manusia sebagai partner yang dapat diandalkan. Allah yang berada dalam “ketinggian” itu amat mendarat dan berada di kedalaman hati manusia. Sayangnya, panorama imani seperti itu sulit ditangkap oleh daya insani manusia yang semakin mengedepankan ego dan keterbatasan akal sehatnya.
Allah tidak ada, Allah itu mati, Allah itu tidak menyayangi kita, Allah itu bla-bla-bla. Kerap gugatan itu meluncur begitu saja dalam hati manusia. Karena daya manusiawi yang tidak mampu melihat “ketinggian-Nya” dan “kedalaman-Nya”, kemahabesaran-Nya tersingkirkan oleh ketidakpercayaan dan ketidakpasrahan manusia.
Meminjam istilah Prof Yunus, Allah yang melihat dengan “mata cacing” tetap berkarya di tengah-tengah kita. Tidak hanya dengan mata, tetapi kemauan dan kemampuan untuk “mendengar dengan telinga hati”, Dia mencari dan membutuhkan manusia yang memiliki hati untuk-Nya dan sesamanya. Kemahabesaran Allah itu akan semakin tampak dalam hati manusia yang mau bekerjasama dengan-Nya.
Untuk itulah, apresiasi yang besar patut kita sampaikan kepada Prof Yunus. Boleh dikata, ilmuwan seperti dialah yang semakin dibutuhkan untuk menjalankan karya-karya Allah di tengah umat manusia. Hati Prof Yunus merasa gentar, dia kecewa dengan teori ekonomi muluk-muluk yang diterangkannya di depan kelas. Dunia tercengang dengan kredit mikro 22 cents yang mampu memecahkan rantai kemiskinan. Bagaimana mungkin?
Ketika mengawali program kredit mikro di desa Jobra, Prof Yunus mendebat seorang manajer bank yang bersikeras bahwa bank tidak mungkin memberi pinjaman tanpa jaminan pada kaum miskin karena resiko tidak kembalinya sangat besar.
Prof Yunus membantah, “mereka sangat punya alasan untuk membayar Anda kembali, yakni untuk mendapatkan pinjaman lagi dan melanjutkan hidup esok harinya! Itulah jaminan terbaik yang bisa Anda dapatkan: nyawa mereka!”
Memang terbukti. Sejek 1976 hingga 2004, bank ini telah menyalurkan pinjaman mikro sebesar US$ 4,5 miliar dengan recovery rate sebesar 99%. Amat kontras dengan mafia pengemplang BLBI. Mereka yang kaya dan tampaknya bisa menguntungkan bank, justru mangkir dari tanggung jawabnya. Kini, Grameen Bank telah beroperasi berbagai negara, di lebih dari 46.000 desa di Bangladesh, dan mempekerjakan sekitar 12.000 karyawan.
Apa yang oleh orang kaya dianggap sebagai sebuah kebodohan dan kemalasan, atau oleh kaum religius sebagai sebuah kutukan, atau oleh birokrat sebagai sebuah ketidakmungkinan, oleh Prof Yunus malah dijadikan sebuah laboratorium hidup di mana kekuatan dahsyat orang miskin (perempuan) menampakkan dirinya sebagai alternatif yang pantas diperhitungkan.
Dengan intervensi belasan sen dolar AS saja dia mampu menyaingi intervensi lembaga donor internasional dalam jumlah miliaran dolar AS. Banyak orang terkejut, bagaimana ini bisa terjadi?
Marilah kita maknai peringatan hari Kenaikan Isa Almasih ini dengan lebih mendaratkan mata, hati, akal-budi, dan bahkan fisik kita akan realitas sosial di lingkungan sekitar. Karena juga demikianlah, Allah melihat, mendengar, dan berkarya di tengah-tengah kita. Selamat Hari Kenaikan Yesus Kristus.
Dewa Gde Satrya
Dosen Prodi Pariwisata, Universitas Ciputra, Warga Paroki Redemptor Mundi Surabaya