Minggu, 20 Februari 2022 Hari Minggu Biasa VII 1 Sam 26:2.7-9.12-13.22-23; Mzm. 103:1-2.3-4.8.10.12-13;1 Kor.15:45-49; Luk.6:27-38.
HIDUPKATOLIK.COM – SANTO Agustinus dari Hippo pernah berkata, “Kamu memiliki musuh. Sebab, siapa yang hidup di muka bumi ini tanpa mereka? Perhatikanlah ini: cintailah mereka. Tidak mungkin musuhmu dapat begitu menyakitimu dengan kekerasannya, seperti kamu menyakiti dirimu sendiri jika kamu tidak mencintainya.”
Perkataan Agustinus ini cukup menantang bagi kita yang hidup di dunia sekarang ini. Setiap hari kita dibombardir di media massa dengan berita tentang konflik, kekerasan, penganiayaan, kekerasan, ketidakadilan, dan penindasaan.
Semuanya ini seolah-olah menempatkan kita dalam pusaran dunia di mana ‘sesamamu dapat berubah menjadi musuhmu.’ Mengerikan, menakutkan, tetapi juga menantang. Apakah kita mesti terhanyut pusaran dunia tersebut? Yesus dalam Injil Lukas mengajarkan dengan sangat bagus bagaimana seharusnya bersikap terhadap musuh.
Yesus membuka pengajaran kepada para murid-Nya tentang sikap terhadap orang yang tidak menyukai mereka dengan perintah yang menggoncangkan: Kasihilah musuhmu. Mengasihi orang yang telah berbuat jahat?
Bagi para penganut hukum ‘mata ganti mata, gigi ganti gigi’, perintah Yesus jelas tidak masuk akal. Terlebih lagi, ajakan Yesus selanjutnya untuk mendoakan dan berbuat baik kepada yang membenci, mengutuk, dan mencaci para murid-Nya, adalah tantangan berat.
Alasannya, ini melawan insting alamiah bagi sebagian manusia. Namun, perintah Yesus ini sesungguhnya bertujuan agar para murid-Nya menjadi manusia yang selaras dengan karakter Allah. Apa maksudnya?
Di akhir pengajaran tentang mengasihi musuh, Yesus berkata “maka ganjaranmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Allah Yang Mahatinggi” (Luk. 6:35). Menjadi murid Kristus berarti mengarahkan diri untuk menjadi anak Allah.
Menjadi anak Allah berarti semakin mampu menumbuhkan dan menghidupkan karakter Allah dalam dirinya. Salah satu karakter-Nya adalah selalu bersikap “baik terhadap orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat.” Jadi, kasih yang ditunjukkan para murid Yesus, seharusnya sesuai dengan kasih Allah sendiri.
Terlepas dari tujuan mulia di atas, mengasihi musuh sesungguhnya bermanfaat bagi kedamaian diri kita sendiri. Tidak perlu disangkal, kita semua memiliki musuh, yaitu mereka yang telah menyakiti, melukai, mengkhianati, dan menolak kita.
Jika mereka ini adalah orang terdekat kita, luka batin akan begitu terasa sangat menyakitkan lantaran mereka adalah orang yang kita percayai. Tidak mengherankan, jika orang terdekat berpotensi menjadi musuh terbesar.
Ketika Yesus mengajarkan kita untuk mengasihi musuh, ini tidak berarti kita harus menjadikan musuh itu sebagai salah satu sahabat baik kita. Apa yang ingin Yesus katakan adalah supaya kita berani mengampuni musuh.
Bagaimanapun juga, pengampunan merupakan langkah pertama untuk mengasihi musuh. Namun, pengampunan pun juga tidak gampang dan membutuhkan proses yang lama sekaligus sulit. Tetapi, hanya inilah cara terbaik untuk mengembalikan kedamaian hati kita di hadapan para musuh.
Dengan menjadikan perintah Yesus “Kasihilah musuhmu” sebagai mantra hidup kita, kita secara terus-menerus diajak oleh Yesus tidak hanya untuk membebaskan diri dari orang yang melukai kita, tetapi juga untuk membebaskan diri kita dari derita, luka, dan kemarahan yang mengikat kita dan yang membuat kita tidak bisa bergerak maju.
Oscar Wilde, penyair dari Irlandia pernah berkata, “Ketika Dia (Kristus) mengatakan ‘Ampunilah musuhmu,’ ini bukan demi kebaikan musuh itu, tetapi demi kebaikan orang yang mengatakan demikian, dan karena kasih lebih indah daripada kebencian.”
Mengampuni dan mengasihi musuh adalah sebuah perjuangan hidup yang sangat berat. Di awal memang melelahkan, tetapi di akhir akan memberikan kedamaian. Dengan ini, kita juga telah naik satu tingkat untuk menjadi anak Allah. Sebab, kita ambil bagian dalam diri Allah yang murah hati dan mau mengampuni orang-orang jahat yang bertobat. Saat kita mampu mengampuni dan mencintai musuh kita, kita telah menyentuh samudera kasih Allah.
“Saat kita mampu mengampuni dan mencintai musuh kita, kita telah menyentuh samudera kasih Allah.”
HIDUP, Edisi No. 08, Tahun ke-76, Minggu, 20 Februari 2022