HIDUPKATOLIK.COM – Sempat dianggap main-main, dikecam, dan difitnah, tekadnya makin menggelora untu ‘menjawab’ tantangan sepucuk surat dari seseorang bernama Dona dari Amerika Serikat.
AWAL tahun 2011, Albertus Gregory Tan (31) berkunjung ke sebuah paroki pedalaman, Rawakolang, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara (Sumut). Masuk Keuskupan Sibolga. Gerejanya hampir roboh, padahal umat bersemangat. Dia tergerak merenovasi. Begitu kembali ke Jakarta, tempat tinggalnya, keinginan itu semakin kuat mendorong. Duit dari mana? Minta donasi lewat medsos muncul spontan di kepalanya. Klik! Dia umumkan di facebooknya, ayo merenovasi gereja rusak di pedalaman Sumut. Butuh bantuan.
“Sulit. Sebab tidak biasa orang cari sumbangan lewat medsos,” kisah Gregory tentang tantangan berat pertama yang dihadapi. Dianggap main-main, dikecam, difitnah. Semangatnya surut. Tetapi dia yakin, semua akan terjadi asal tulus dan sungguh-sungguh untuk membantu orang lain. Tuhan pasti memberi jalan. Doa, harapan dan niatnya terkabul. Semangat dan dorongan hatinya muncul kembali, dipicu datangnya sebuah surat. Di awal Februari 2011, dia terima sepucuk surat yang dikirim atas nama Dona dari Amerika Serikat, disertai lembaran uang satu dollar.
Bunyi suratnya: “Albert Gregory. Here is the one dollar I promissed to send you. If you harm one hair of Gods’s Children you go against God Himself. I hope you achieve your pool to build your church for God. Dona”. Bagi Greg surat itu ibarat menggertak. “Jika saya tidak melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang Tuhan percayakan ini (tidak amanah), maka saya melawan Allah sendiri,” kisahnya, akhir September yang lalu.
Kurs satu dolar AS, kurang lebih di bulan Februari 2011 sebesar Rp10.000. Apa artinya untuk merenovasi sebuah gereja? Surat dengan nama pengirim Dona, tanpa alamat, sampai sekarang bagi Greg tetap misteri. Ia tidak kenal pengirimnya, tidak juga berteman di media sosial. Baginya surat dan lembaran satu dollar itu berasal dari Tuhan. Untuk merealisir keinginan dan memenuhi harapan “Dona”, amanah dan rasa tanggung jawab pada Tuhan, butuh perjuangan dan perjalanan panjang. Mungkin mustahil. Ternyata surat dan satu dollar itu ibarat mata air. Sumbangan mengalir, keinginan merenovasi gereja di pedalamanan Sumut bisa terealisir.
Baru setelah 8 tahun sejak dia datang pertama ke gereja itu, sebuah gereja baru hasil renovasi yang lama, berdiri megah. Umat paroki St. Klara, Rawakolang bersyukur, memiliki tempat beribadah yang layak. Sampai Agustus 2021 sudah ada 150 gereja direnovasi. “Berkat satu dollar berhasil mengembangkan aksi solidaritas membangun gereja.” Gereja yang direnovasi terakhir, selesai Agustus 2021, Santo Yosef, Satak, Mempawah, Kalimantan Barat, Keuskupan Agung Pontianak.
Albertus Gregory Tan dikenal lewat tayangan Kick Andy MetroTV episode Bukan Sekadar Kata, 19 September yang lalu. Selain Greg yang dinilai sukses mengembangkan aksi solidaritas lewat medsos, juga Aditya Prayoga (29) pemilik lima rumah makan gratis dan Ahmad Fauzani Fadillah (17) yang menjadi sukarelawan penggali kubur jenazah Covid-29. Tiga contoh anak-anak muda yang melakukan aksi sosial solidaritas tanpa banyak cuap–cuap.
Yayasan Vinea Dei
Dalam perjalanan kemudian, ketika aksi solidaritas Greg makin berkembang, donasi yang terkumpul lewat viral medsos semakin banyak dan besar jumlahnya, renovasi gereja di pedalaman juga berkembang ke berbagai daerah lain. Greg tidak bisa melakukannya sendiri. Dia butuh teman-teman dan lembaga lain untuk membantunya termasuk berkoordinasi dengan paroki dan keuskupan setempat. Bersama sejumlah teman sesuai tuntutan bekerja lebih akuntabel, transparan dan tersistem, aksi Program Peduli Gereja Katolik semakin berkembang, dikelola secara profesional, dan tetap sebagai aksi sosial.
Sebagai pertanggungjawaban dan kredibilitas publik, pada tahun 2017 dia dirikan Yayasan Vinea Dei atau Kebun Anggur Tuhan, yang sekarang ditangani 41 teman. “Mereka semua orang-orang muda Katolik,” tegas Greg. “Kebun Anggur Tuhan adalah ladang kami berkarya dan kami adalah para pekerjanya.” Setelah menjadi yayasan, donasi semakin banyak, semakin banyak pula gereja yang bisa direnovasi dan diselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Kepercayaan masyarakat, utamanya umat Katolik, semakin besar. “Sampai Agustus 2021 ini sudah 150 gereja kami renovasi, dengan biaya mulai dari Rp 300 juta hingga Rp 1, 7 miliar, merata dari Sumatera hingga Papua. Sejauh ini dia tidak mengalami hambatan soal perizinan dan keberatan dari warga setempat, sebab gereja yang dibangun/direnovasi berada di wilayah yang mayoritas penduduknya umat Kristen.
Yayasan memperoleh informasi gereja-gereja yang membutuhkan bantuan lewat proposal yang dikirimkan umat. “Mereka mengirimkan proposal ke kami. Kami lantas melakukan asesmen dengan paroki dan keuskupan setempat, sehingga informasi yang kami dapatkan betul-betul lengkap dan benar. Kami lakukan juga survei ke lokasi untuk memastikan bahwa kondisi yang disampaikan dalam proposal sesuai fakta.” Sejauh ini para pemerhati termasuk dari luar Katolik, bahkan mereka pun ikut bekerja sama, cara kerja yayasan dinilai transpraran dan kredibel dalam mengelola dana. “Segala informasi mudah diakses sehingga banyak yang terpanggil untuk berpartisipasi.”
Berangkat dari keprihatinan akan kondisi kemiskinan masyarakat, terutama di lingkungan umat, sekarang yayasan mulai mengembangkan pelayanan di bidang pendidikan. Kunci perbaikan kehidupan umat adalah peningkatan mutu sumber daya manusia melalui pendidikan. Tetapi karena tenaga di yayasan yang membantu pelayanan bidang pendidikan terbatas, demikian Greg, dia gunakan sistem “kakak-asuh” (relasi antara relawan dan anak didik) dan orangtua asuh (relasi antara pemerhati dan anak didik). Bentuk pelayanan berupa pendampingan pada anak-anak. Yayasan membantu bukan hanya dari segi biaya, termasuk di masa pandemi, tetapi juga moril. Dia berharap upaya ini bisa memotivasi anak-anak merasa terdukung untuk maju berkembang.
Berkat ditempa keluarga
Gregory sangat berterima kasih pada bimbingan dan tempaan orangtua. Juga dukungan mereka atas kegiatan aksi solidaritas membangun gereja ini. Krisis moneter tahun 1997-1998 dan sesudahnya memang berdampak buruk untuk bisnis percetakan keluarganya. Bangkrut. Habis tak bersisa. Untuk membiayai sekolahnya, dia berjualan gorengan di kampus. Masa sulit itu memang penderitaan, tetapi dia rasakan sebagai keadaan yang harus dijalani dan disyukuri. Ia menyikapinya dengan sikap positif. “Saya memaknai peristiwa itu sebagai bentuk kasih Tuhan pada kami sekeluarga. Dengan keadaan itu kami sekeluarga bisa kembali rukun dan guyub sebagai keluarga Katolik. Saya rasa itu jauh lebih berharga daripada berkelebihan harta benda.”
Selain tempaan keluarga, Greg juga berterima kasih pada pembinaan dalam Keluarga Mahasiswa Katolik UI (KMK UI) yang waktu itu dibawah Moderator Pastoral Mahasiswa Romo Markus Yumartono SJ. “Kampus” KMK UI atau Wisma Sahabat Yesus di Margonda, Depok —baru saja genap 40 usianya, saat ini dimoderatori Romo Ignatius Swasono SJ— baginya adalah tempat pembinaan yang banyak memberi pelajaran hidup sebagai orang muda yang peduli. Oleh karena itu, sejak awal gerakan solidaritas Greg tidak mengikutsertakan KAJ. Titik berangkatnya dari KMK UI, apalagi Greg memang tidak aktif di parokinya —Katedral Jakarta— maupun di tingkat keuskupan. Semua berawal dari satu dolar dan tentu terselenggara berkat penyelenggaraan Tuhan, kata Greg.
St. Sularto, Kontributor, Wartawan Senior
HIDUP, Edisi No. 45, Tahun ke-75, Minggu, 7 November 2021 (Rubrik Eksponen, hal 30-31, harusnya nama penulis juga disertakan dalam halaman tersebut, Red.)