web page hit counter
Minggu, 24 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Mgr. Mandagi: Pastor Böhm Simbol Persaudaraan di Maluku

5/5 - (1 vote)

 Selama 55 tahun dia telah melayani di Keuskupan Amboina. Dia mengenal dan mencintai negeri ini sebagai bagian dari hidupnya.

 

KEUSKUPAN Amboina, Maluku benar-benar kehilangan sosok Pastor Cornelis Johannes Böhm, MSC (meninggal dunia, 20/8/2021). Hal ini dirasakan oleh Mgr. Petrus Canisius Mandagi, MSC yang menjadi Uskup Amboina sejak tahun 1994 namun pada tanggal 7 Agustus 2019 diangkat menjadi Administrator Apostolik Keuskupan Agung Merauke dan pada tanggal 11 November 2020 dipilih Paus Fransiskus menjadi Uskup Agung Merauke merangkap Administrator Apostolik Amboina.

Menurut Uskup Mandagi, “Pastor Böhm adalah sosok yang menginspirasi, misionaris ulung tanpa beban. Dia ‘mengkhotbahkan Injil’ dan mengundang orang lain untuk datang kepada Kristus serta memulihkan mereka lewat pembaptisan dan pertobatan.”  Berikut wawancara HIDUP dengan Mgr. Mandagi pada hari Jumat, 3/9/2021.

Apa warisan terbesar yang ditinggalkan Pastor Böhm bagi Gereja Maluku?

            Pastor Böhm berkarya di Keuskupan Amboina selama 55 tahun, dan selama itu juga tidak pernah berkarya di tempat lain. Dalam rentang waktu yang panjang itu, Pastor Böhm sudah melayani di hampir seluruh wilayah-wilayah pastoral Keuskupan Amboina, khususnya Kepulauan Kei, Tanimbar, Kota Ambon, Maluku Utara, dan Maluku Tengah. Dalam setiap karyanya itu, Pastor Böhm meninggalkan suatu warisan terbesar yaitu keutamaan hidup. Semua orang akan mengenang Pastor Böhm karena kepribadiannya yang mudah bergaul, hidup rohani yang baik, setia pada tugasnya bahkan di tengah hujan dan badai sekalipun bila sudah berjanji melayani, dia akan berjalan. Dia tidak pernah bermasalah dengan budaya Maluku yang keras, sebaliknya dia menyesuaikan diri dan menaburkan kasih.

Selain itu karya-karya Pastor Böhm bisa dilihat dalam banyak buku yang dihasilkan. Ia telah menulis buku Liturgi, Katekese, atau buku-buku sejarah Gereja khusus Maluku. Ia juga membantu banyak anak untuk mengenyam pendidikan, juga menyumbangkan ide dan gagasan bagi pastoral kepada umat-umat di pulau terjauh di Maluku.

Baca Juga:  Keuskupan Tanjungkarang Memperoleh Tiga Imam Baru: Imam Tanda Kehadiran Allah

Apakah Monsinyur punya pengalaman menarik bersama Pastor Böhm?

            Tentu saja ada banyak pengalaman menarik, salah satunya waktu saya menjadi uskup muda. Setelah menjadi uskup, saya turne ke seluruh paroki di Keuskupan Amboina dan tiba di paroki di mana Pastor Böhm bertugas yaitu Paroki St. Petrus dan Paulus Lorulun. Saat masuk di paroki ini saya ditandu dengan kursi oleh empat orang. Sementara saya ditandu, Pastor Böhm berjalan di samping saya. Dengan bangga Pastor Böhm berjalan dan terus mengajak umat melambaikan tangan, bernyanyi, dan menerima saya. Saya melihat Pastor Böhm seorang yang begitu rendah hati. Dia bersedia merendahkan diri padahal saya tahu dia lebih berpengalaman daripada saya.

Pastor Cornelis Johannes Böhm, MSC (Foto: Dokpri)

Apakah Pastor Böhm pernah memberi pandangan yang berbeda terhadap kebijakan pastoral Monsinyur?

            Beberapakali Pastor Böhm dan saya berbeda pendapat. Misal, Pastor Böhm sangat ngotot supaya Sekolah Tinggi Pastoral Agama Katolik St. Yohanes Penginjil Ambon didirikan di Desa Ahuru di pinggir Kota Ambon. Tapi saya memikirkan tempat yang strategis yaitu di Poka (tempat sekarang). Saya tidak ingin pusat Gereja Katolik di Ahuru saja tetapi di pinggir pantai teluk Ambon. Setelah sekolah dan Seminari Tinggi St. Fransiskus Xaverius sudah selesai dan digunakan, suatu hari Pastor Böhm bertemu saya dan berkata luar biasa tempatnya. Bagus di pinggir pantai dengan pemandangan Kota Ambon yang menarik.

Sejauh mana peran Keuskupan Amboina bagi karya misi di Indonesia?

            Keuskupan Amboina memiliki sejarah yang panjang soal kehadiran Gereja Katolik Indonesia. Keuskupan Amboina tak bisa dilepas ketika berbicara soal sejarah Gereja Katolik di Nusantara. Sejak 1 Juli 1888 dua imam Yesuit tiba di Kepulauan Kei yaitu Pastor Johanes Kusters, SJ dan Pastor Johanes J, Booms, SJ atas izin Gubernur Jenderal, Otto van Rees lewat berkat Vikaris Apostolik Batavia, Mgr. A. Claessens. Sejak itu misi terus berkembang dengan baptisan pertama Maria Sakbao di Langgur oleh Pastor Kusters. Pada 22 Desember 1902, Roma melepaskan misi Maluku-Papua dari Vikariat Batavia dan menjadikannya Prefektur Apostolik Papua-Belanda dan meyerahkannya kepada Tarekat Hati Kudus (MSC). Sejak itu misionaris MSC terus berdatangan dan salah satunya Pastor Böhm sebagai misionaris terakhir di Amboina. Kini sejarah itu terus berjalan dan Keuskupan Amboina memiliki kemandirian dalam hal tenaga imam dan finansial.

Baca Juga:  Rekoleksi Pasutri TNI-POLRI: Siap Menikah, Siap Menderita

 Bagaimana gelora misi para misionaris Belanda di Ambon bagi para imam Keuskupan Amboina?

Pastor Böhm dan para misionaris asing lainnya seperti Mgr. Andreas Peter Cornelius Sol, MSC atau Pastor Wim Zomer, MSC telah meninggalkan jejak misi yang kuat dan tinggal dilanjutkan oleh para penerus mereka. Para pastor di Keuskupan Amboina dituntut untuk melanjutkan misi itu dengan berpusat kepada Kristus dan menyadari tanggung jawab utamanya adalah mewartakan Injil sebagai sebuah missio Dei (misi dari Tuhan). Gerakan misioner ini terus diperjuangkan hingga saat ini. Buktinya Keuskupan Amboina mampu melanjutkan misi domestik ke Keuskupan Agung Merauke dan Keuskupan Banjarmasin. Para pastor Keuskupan Amboina harus mengembang tugas Allah yang disebut missio Dei di mana Allah menghendaki Kerajaan-Nya tumbuh di bumi.

Bagaimana Keuskupan Amboina terus berupaya menjadi lahan misi bagi Gereja Indonesia?

Gereja Keuskupan Amboina tidak pernah berhenti bergerak dalam bermisi. Setiap pastor atau awam adalah misionaris sejati bagi keluarga dan paroki tempat pendidikan dan pembinaan sebagai ladang misi masing-masing. Gerakan misioner yang dinamis menjadi sangat relevan bagi wilayah Keuskupan Amboina yang kental dengan semangat persaudaraan- sebagaimana tertuang dalam ragam semboyan khas yang lahir dari kebudayaan. Istilah “ale rasa beta rasa” atau “katong semua bersaudara” membantu berkembangnya misi di Maluku. Semua orang dianggap saudara dalam arti perlu dihargai dan dicintai, saudara yang rela memberi teladan bagi perdamaian. Tragedi Maluku tahun 1998 membuat masyarakat Maluku mulai tergerak hatinya untuk menjadi misionaris di ladang pelayanan masing-masing. Kebudayaan Maluku juga turut menyumbangkan lahan subur bagi karya misi khususnya Gereja Katolik.

Baca Juga:  Keuskupan Sibolga Lima Tahun ke Depan

Apakah Pastor Böhm juga turut menyumbangkan persaudaraan di Maluku?

            Pastor Böhm adalah simbol persaudaraan di Maluku. Seorang misionaris berkulit putih yang terlibat dalam kehidupan masyarakat. Dia rela meninggalkan kenyamanan hidup di Eropa untuk menjadi bagian dalam masyarakat Maluku. Dia tidak membeda-bedakan warna kulit atau ras dan agama. Dia terbiasa duduk dan berteman dengan orang Maluku. Dia tidak pernah menyinggung perbedaan di antara manusia, tetapi merangkul semua orang.

Pastor Cornelis Johannes Böhm, MSC (Dok. Pribadi)

Semua orang berharga dan diterimanya sebagai ciptaan Tuhan. Tak salah bila menyebutkan Pastor Böhm adalah simbol Gereja Katolik yang terbuka kepada siapapun khususnya kepada mereka yang kecil dan menderita. Pastor Böhm “berhasil menyembuhkan orang-orang yang patah hati dan membalut luka-luka mereka” (Mzm. 147:3). Tak heran ketika Pastor Böhm meninggal dunia, tidak saja Gereja yang bersedih tetapi masyarakat Maluku. Mereka merasa kehilangan sosok teman, sahabat, guru, dan tutor yang baik hati. Dia putra Maluku yang manis dalam keutamaan hidup.

Yusti H. Wuarmanuk

HIDUP, No.38, Tahun ke-75, Minggu, 19 September 2021

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles