HIDUPKATOLIK.COM – KULTUS Salib (cultus Crucis) merupakan aktivitas kerohanian dan keimanan untuk mencintai dan menghormati Salib Suci. Kultus ini tidak lain terarah kepada pribadi Yesus Kristus sendiri, Sang Tersalib, yang telah wafat dan dimuliakan pada kayu palang itu. Sepanjang sejarah Gereja, kultus Salib diwujudkan dalam aneka bentuk kegiatan religius umat. Selain dalam bentuk-bentuk ritual sederhana dan devosional yang amat kaya, kultus Salib juga diwujudkan juga dalam perayaan liturgis.
Kultus Salib dalam Liturgi
Kultus Salib juga telah menjadi kegiatan resmi dalam liturgi Gereja Romawi. Setiap Misa Kudus adalah bentuk perayaan kultus Salib liturgis yang paripurna, ideal, dan paling terkenal. Dalam Misa Kudus korban Salib dihadirkan kembali secara sakramental. Umat beriman yang mengikutinya dipersatukan dengan korban Sang Tersalib. Selain itu dalam Penanggalan Liturgi Gereja (Calendarium) dicantumkan dua perayaan liturgis khusus yang menjadikan Salib Suci sebagai objek penghormatan (veneratio) dan pengenangan akan misterinya, yakni dalam perayaan liturgi Jumat Agung dan Pesta Salib Suci.
Ibadat Pengenangan Sengsara Tuhan pada Jumat Agung (Feria VI in Passione Domini) sudah sangat akrab bagi kita. Kekayaan simbolis dan kedalaman makna dari bagian-bagian maupun keseluruhan perayaan itu senantiasa mampu menggugah penghayatan kita akan misteri Salib Tuhan. Bentuk liturgi khusus lain untuk merenungkan dan menghayati misteri kesengsaraan Tuhan adalah Pesta Pemuliaan atau Peninggian Salib Suci (In Exaltatione Sanctae Crucis). Dalam Penanggalan Liturgi Indonesia diterjemahkan menjadi Pesta Salib Suci saja. Mungkin pesta ini masih dianggap hanya sebagai salah satu dari sekian banyak perayaan pesta Tuhan.
Kebiasaan umat menghormati kayu Salib Yesus diawali di Yerusalem, tempat Yesus mengalami kesengsaraan dan wafat-Nya. Helena, ibu Kaisar Konstantinus, dipercaya sebagai penemu kayu Salib yang digunakan untuk menyalibkan Yesus itu. Peristiwa itu, menurut Chronicon Paschale atau Kronik Aleksandrian, terjadi pada tanggal 14 September 320. Kayu Salib Yesus dipuja dengan penuh kecintaan. Bentuk penghormatan kepada kayu Salib pun berkembang hingga ke luar Yerusalem, lalu ke seluruh penjuru dunia.
Gereja Timur dan Barat sama-sama merayakan pesta Pemuliaan Salib Suci pada 14 September, pada tanggal peringatan ditemukannya kayu Salib Yesus oleh Helena. Meskipun masing-masing memiliki tradisi yang berbeda, namun keduanya memberi makna yang sama. Perayaan liturgis ini juga berasal dari Yerusalem sekitar abad IV, yang biasa memperingati dedikasi Gereja Kebangkitan (Anastasis). Tercatat dalam sejarah bahwa pada 13 September 335 Kaisar Konstantinus membangun dua gereja di Yerusalem: gereja Martirium dan gereja Anastasis. Dua gereja itu kemudian digunakan untuk venerasi Salib Suci. Catatan peziarahan Egeria (Itinerarium Egeriae), seorang peziarah perempuan (abad IV), pun memberi gambaran bahwa perayan sudah dimulai pada 13 September di gereja Anastasis, lalu esoknya, 14 September, dirayakan di Gereja Martirium. Puncak perayaannya digelar pada 14 September dengan ditandai kemeriahan penghadiran Salib Suci yang akan menjadi objek venerasi oleh semua yang hadir. Lama kelamaan, peringatan dedikasi gerejanya malah menjadi sekunder, terkalahkan oleh kemeriahan perayaan pemuliaan Salib. Pesta 14 September memang cepat menyebar, mulanya di wilayah Gereja Timur, kemudian merambah juga ke wilayah Gereja Barat.
Penampakan, Penemuan, dan Pemuliaan Salib
Beberapa tanggal lain juga terkait dengan tradisi venerasi Salib. Pesta penampakan ajaib sebuah Salib di langit yang terjadi di Yerusalem pada tahun 351 diperingati pada 7 Mei oleh Gereja Timur. Peristiwanya adalah Konstantinus melihat di langit sebuah tanda salib dan tulisan: In hoc signo vinces (dalam tanda ini engkau menang). Sejak abad VI juga ada perayaan khusus di Gereja Barat pada 3 Mei. Perayaan ini untuk memperingati ditemukannya kembali kayu Salib Yesus yang sempat hilang saat bangsa Persia menaklukkan Yerusalem. Mereka memboyong juga relikwi Salib itu (20 Mei 514) di antara barang rampasan. Seluruh dunia Kristen pun marah dan mulai memperbarui devosi mereka itu. Kaisar Heraklius (574-641) akhirnya menemukan kembali relikwi yang amat bernilai itu pada tahun 629. Maka pesta Salib Suci pun dirayakan pada 3 Mei, khususnya untuk memperingati penemuan kembali relikwi Salib Suci yang pernah dirampas bangsa Persia. Pesta Salib Suci 14 September baru memasuki Roma sekitar akhir abad VII. Sebelum 14 September masuk menjadi bagian tradisi liturgi, diduga di Roma sudah dirayakan pesta Penemuan Salib 3 Mei.
Gereja Latin Roma merayakan kedua peristiwa itu pada 3 Mei dan 14 September sampai sekitar tahun 1960. Karena dinilai berlebihan ada dua pesta Salib, maka Paus Yohanes XXIII pun meniadakan pesta 3 Mei dari Kalendarium Romawi, menyisakan yang 14 September. Lalu, sebagai hasil pembaruan liturgi pasca-Konsili Vatikan II, dalam Kalendarium barunya (tahun 1969) perayaan 14 September disebutkan sebagai “pesta” (festum) atau dapat menjadi “hari raya” (sollemnitas) jika tanggal itu jatuh pada hari Minggu. Pembaruan liturgi itu memulihkan kembali keunggulan pesta Pemuliaan Salib, sesuai dengan tradisi kuno yang telah ditegakkan di Gereja Timur lewat perayaan yang amat meriah.
Pesta Salib Suci dalam liturgi Romawi tidak dirayakan dengan ritual khusus, seperti pada waktu liturgi Jumat Agung yang tersusun dalam beberapa tahap ritual: Ritus Pembuka, Liturgi Sabda, Ritus Penghormatan Salib Suci, Ritus Komuni, Ritus Penutup. Struktur liturgi Pesta Salib Suci seperti untuk Misa setingkat pesta atau hari raya pada umumnya. Bacaan-bacaan untuk Misa Pesta Salib Suci berbicara tentang ular tembaga (Bil 21:4-9, Bacaan Pertama) atau madah bagi Kristus, tentang hamba yang merendahkan diri namun ditinggikan oleh Allah (Fil. 2:6-11, Bacaan Kedua), dan tentang Allah yang begitu mencintai dunia hingga menyerahkan Putera-Nya sendiri demi keselamatan dunia (Yoh. 3:13-17, Bacaan Injil). Untuk tingkat pesta tidak harus dibacakan ketiga bacaan itu. Kalau untuk tingkat hari raya, wajiblah membacakan semuanya. Doa-doa imam (doa kolekta, doa atas persembahan, doa sesudah komuni) tersedia khusus, berikut sebuah Prefasi khas (De victoria Crucis gloriosae, kemenangan Salib mulia).
Liturgi Jumat Agung lebih mengedepankan makna kesengsaraan Yesus Kristus. Namun, dimensi kesengsaraan ini juga didampingi dimensi kemuliaan. Ritus Penghormatan Salib yang dilakukan secara personal maupun komunal jelas menegaskan itu. Umat bersama imam melakukan penghormatan terhadap kayu Salib berkorpus Yesus (crucifix) yang ditinggikan dengan berlutut menyembah dan menciumnya. Liturgi Pemuliaan Salib 14 September rupanya juga mau menegaskan dimensi kemuliaan. Setidaknya muncul dalam bacaan Injil untuk misanya. Berbeda dengan dalam Ibadat Jumat Agung, bacaan Injilnya bukan lagi kisah tentang penyaliban Yesus, melainkan pewartaan tentang makna Salib yang diajarkan oleh Yesus sendiri. Tentunya, dimensi kesengsaraan juga dikenangkan dalam liturgi eksaltasi. Dua dimensi itu tidak terpisahkan, harus dimaknai secara utuh. Marilah kita memuliakan Salib Tuhan kita, Yesus Kristus, dan bermegah pada-Nya, karena Dialah pokok keselamatan, kehidupan dan kebangkitan kita, sumber penebusan dan pembebasan kita (Bdk. Gal. 6:14, Antifon Pembuka Pesta Salib Suci).
“Umat bersama imam melakukan penghormatan terhadap kayu Salib berkorpus Yesus (crucifix) yang ditinggikan dengan berlutut menyembah dan menciumnya.”
Pastor C.H. Suryanugraha, OSC, Pengajar Liturgi di UNPAR dan LSKI, Bandung
HIDUP, Edisi No. 37, Tahun ke-75, Minggu, 12 September 2021