HIDUPKATOLIK.COM – Allah adalah kasih dan kasih itu tidak cemburu (1 Kor.
13:4), lantas mengapa dikatakan bahwa Allah itu cemburu (Kel.20:5; Ul 4:24)? Mohon penjelasannya romo. Terima kasih.
Kevin, Temanggung
Kita mengenal istilah metafora, pemakaian kata atau penggambaran yang bukan dengan arti sebenarnya, melainkan sebagai lukiran yang berdasarkan persamaan atau perbandingan. Banyak sekali Kitab Suci menggunakan metafor, yang dimaksudkan untuk mengungkapkan suatu makna atau maksud. Dalam banyak hal itu berlaku dalam penggunaan kata cemburu.
Allah digambarkan sebagai Allah yang cemburu. Penggambaran ini perlu ditempatkan dalam penyataan akan ketunggalan Allah,sehingga kita tidak diharapkan menyembah illah-illah atau dewa-dewi lain (Lih. Kel 34:14). Maka kepada umat beriman diingatkan akan ikatan khas antara umat manusia dengan Allah dalam ikatan perjanjian, bahwa relasi tersebut menuntut kesetiaan, sehingga umat beriman diharapkan tidak berpaling pada yang lain, selain Allah belaka (Lih. Ul 5:9; 6:15; 32:16-21; Yos. 24:19; Yeh. 35:11; Nah.1:2; Zef. 1:18), sehingga Allah pun marah dalam kecemburuan-Nya (Lih. Mzm. 78:58-62; 79:1-7; Yeh. 16:38-43; 23:25; Zef. 3:8; Zak. 8:2). Allah itu cemburu demi bangsa dan umat-Nya (Lih. Yoel 2:18; Zac.1:14-16).
Allah menetapkan relasi dengan manusia dalam perjanjian, yang ditandai terutama dengan Sepuluh Perintah Allah. Perintah pertama dan dapat juga dikatakan sebagai perintah utama dituliskan: Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku (Kel. 20:3; Ul. 5: 7). Saudara-saudari kita umat Islam mengatakannya, tiada Tuhan selain Allah, ‘La ilaha illallah’. Pengakuan dasar iman tersebut membuat pangggilan: kasihilah Tuhan, Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu (Lih. Ul.6:5; Mat. 22:37; Mrk. 12:30; Luk. 10:27). Itulah hukum yang pertama dan terutama, berangkat dari shema atau penyataan iman umat Israel. Dimaksudkan dengannnya agar manusia hidup, dalam dalam kepenuhan rahmat keselamatan. Oleh karena itu, sikap takut akan Allah sebagai sesuatu yang mendasar, takut dalam arti sikap takwa penuh rasa hormat dan pengabdian. Maka kemudian dituliskan dalam tradisi Gereja bahwa tujuan manusia diciptakan adalah untuk memuji, menghormati dan mengabdi Allah, dan dengan itu memperoleh keselamatan. Paulus menyebutkan gairahnya untuk bekerja bagi keselamatan tidak lain dilandaskan pada ‘cemburu Ilahi’ (Lih. 2 Kor 11:2).
Kecemburuan Allah dengan demikian adalah kecemburuan kasih demi manusia. Allah menghendaki manusia selamat. Keselamatan berarti memperoleh martabat hidup sebagaimana dahulu Allah menciptakan, bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kej. 1:25-27), sebagai citra-Nya. Maka metafora kecemburuan ini bernuansa positif, bukan demi Dia namun lebih karena demi umat manusia. Allah menghendaki keselamatan kita, untuk itu Dia mengutus Putera-Nya dan Roh-Nya agar kita menanggapi rahmat keselamatan itu dan menghidupinya, “Roh yang ditempatkan Allah di dalam diri kita, diingini-Nya dengan cemburu” (Yak. 4:5).
Akan tetapi kalau dikatakan kasih itu tidak cemburu, yang lebih dimaksudkan di sini adalah kecemburuan demi kepentingan diri, berangkat dari perasaan atau keinginan diri, karena cinta, kehendak serta kepentingan diri. Kecemburuan Allah adalah demi manusia, agar manusia selamat, menikmati hidup di hadapan Allah, karena kasih yang menuntut kesetiaan. Kecemburuan manusia adalah demi diri sendiri, sesuatu yang bertentangan dengan sifat dasar kasih, yaitu kasih yang memberi dan mengampuni.
Kitab Suci memberikan kisah pula tentang kecemburuan ini (Lih. Bil. 5:14.30; Ams 6:32-35; Sir. 9:1). Maka kalau Paulus dalam madah kasihnya menuliskan bahwa kasih itu sabar, murah hati dan tidak cemburu (Lih. 1 Kor 13:4), tidak lain karena dia mengingatkan bahwa kasih tidak bisa dibangun atas dasar kepentingan atau kehendak serta cinta diri. Kasih sejati terarah kepada yang lain, demi kebaikan dan keselamatan mereka, bukan demi dan untuk diri sendiri. Paus Fransiskus dalam Amoris Laetitia ketika mengupas
tentang madah kasih dari Paulus tersebut menuliskan bahwa dalam kasih tidak ada ruang bagi rasa cemburu atas keberuntungan orang lain, sesuatu yang dekat dengan kata iri hati. Kasih mengajak kita keluar dari diri sendiri, tidak terkungkung pada diri sendiri, tidak merasa terancam oleh keberuntungan dan kebahagiaan sesama. Maka kasih menuntun pada penghargaan akan sesama. Akan tetapi kasih tersebut mendorong pula untuk peduli pada mereka yang kurang beruntung, tidak diam akan ketidakadilan, sebab itulah kasih yang ditandai dengan ‘cemburu Ilahi”.
Kasih Allah itu cemburu, sebab Dia tidak senang akan ketidakadilan dan ketidakselamatan. Namun kasih insani jangan dilandasi oleh kecemburuan, yang berakar pada cinta, kepentingan serta kehendak diri belaka.
HIDUP NO.19, 9 Mei 2021
Romo T. Krispurwana Cahyadi, SJ
(Teolog Dogmatik)
Silakan kirim pertanyaan Anda ke:
re**********@hi***.tv
atau WhatsApp 0812.9295.5952. Kami menjamin kerahasiaan identitas Anda.