web page hit counter
Sabtu, 23 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Di Masa Kecilnya, Ia Ingin seperti Mbah Sujud

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – “Saya berusaha dari hari ke hari menjalani panggilan ini dengan sukacita. Sebagai manusia biasa saya mau menjalani panggilan dengan joy (sukacita),”ujarnya suatu ketika.

SEJAK kecil, Pastor Aloysius Susilo Wijoyo suka bernyanyi. Kelahiran Yogyakarta, 11 Februari 1968 ini jika bernyanyi akan memukul-mukul meja dengan tangan sebagai pengganti alat musik. Pernah suatu kali karena tak memiliki alat musik, ia merengek kepada ayahnya untuk dibelikan kendang kecil. Katanya, ia ingin seperti almarhum Sujud Sutrisno (Sujud Kendang), pengamen jalanan Kota Yogyakarta.

Di masanya, Sujud adalah seniman jalanan kondang. Humor dan komedinya terekam dalam lirik-lirik lagunya. Lagu-lagunya diisi sedikit kritikan, tapi ada jenakanya. Mbah Sujud selalu menginspirasi, musiknya unik. Sujud Kendang sering mondar-mandir di kampung-kampung sekitaran Yogyakarta sejak tahun 1970-an.

Kendang dari ayah terinspirasi dari Mbah Sujud. Ia akan menirukan lagu-lagu “plesetan” Sujud seperti lagu Anak Helly atau Mata Indah Bola Pimpong, dan lain-lain. Sisi kanan dan kiri gendang ditepak menggunakan kedua telapak tangannya. Seketika bunyi harmonis keluar dari sisi kiri-kanan gendang yang terbuat dari kulit hewan itu. Bunyi yang indah keluar dari hasil tabuhan kedua tangan Pastor Joy, sapaannya. Seketika, kepalanya akan bergoyang-goyang ke kanan dan kiri, ke atas dan ke bawah. Suara merdunya keluar dari mulut mungilnya. Dengan bangga, Pastor Joy membawakan tembang manis dengan lirik-lirik jenaka. Suasana mengundang tawa seisi rumah.

“Superman “di Altar

Anak keenam dari tujuh bersaudara ini dibaptis oleh Pastor H.S. Natasusila. Orangtuanya Blasius Supardi Kartiatmodjo dan Christina Siyam dikarunia lima orang anak perempuan, dan dua laki-laki – satu di antaranya Romo Joy. Jiwa dan nilai Kristiani tumbuh kentara dalam keluarga Blasius-Christina. Hal ini terbukti semua anak dibaptis bayi.

Sejak kecil, Pastor Joy sudah diajarkan untuk mencintai Ekaristi. Sejak berpindah dari Yogyakarta ke Jakarta dan menetap di Cipinang, Kebembem (masuk Paroki Keluarga Kudus Rawamangun), hampir setiap pagi ia berjalan kaki bersama keluarganya mengikuti Misa di ruang tamu Susteran Kongregasi Suster-suster Cinta Kasih St. Carolus Borromeus (CB)- sekarang TK Tarakanita V Rawamangun. Selama menjadi murid SD dan SMP Budaya Rawamangun, ia hampir tak pernah melupakan Ekaristi.

Baca Juga:  Renungan Harian 22 November 2024 “Suara Merdu vs Sumbang”

“Waktu itu saya belum Komuni Pertama, tetapi selalu bersemangat untuk mengikuti Misa,” kisahnya. “Asyik saja sih melihat figur pastor yang berdiri di altar dengan pakaian ala ‘Superman’,” ujarnya. Sejak itu, ia semakin tertarik menjadi pastor.

Pengalaman menjadi seorang pastor makin membuncah kala dirinya menerima Komuni Pertama oleh Romo P.C. Yudodihardjo, MSF. Selain itu, pengalamannya kala mengikuti retret sebagai murid SMP Budhaya yang dibawakan oleh seorang romo Jesuit dan Pastor Thomas Aquino Rochadi Widagdo (waktu itu masih frater) di Rumah Retret Civita.

Tema pertobatan hati dibawakan dalam sesi malam renungan. “Tiba-tiba, entah kenapa, teman-teman saya yang bandel itu menangis. Malam itu ruangan ramai dengan tangisan anak-anak. Sebuah tangisan pertobatan,” ceritanya. “Saya ingin membuat mereka juga mengalami pertobatan.”

Menjawab Panggilan

Pengalaman ini membawa Pastor Joy masuk Seminari Menengah Mertoyudan di Magelang, Jawa Tengah. Dibantu Kepala Paroki Rawamangun, Pastor Martinus J.G Sanders, MSF (1983-1993), ia mengikuti seleksi masuk seminari dan diterima oleh Rektor Seminari Mertoyudan, Pastor Martinus Soenarwidjaja, SJ (1981-1987).

Aloysius Susilo Wijoyo (berdiri, kelima dari kanan) saat menjadi semaris Seminari Menengah Mertoyudan, Magelang, Jawa Tengah. (Foto: Dokpri)

Anak usia SMP harus berpisah dengan keluarga demi bisa masuk seminari. Itulah langkah berani kala itu. Empat tahun (1983-1987), ia menjadi seminaris Mertoyudan pada 15 Agustus 1983.

Sejauh ingatan masih berbekas, ia tergolong kurus. Berwajah hitam manis dan senyum memesona. Rambutnya patah mayang. Tak heran, tatkala masuk Mertoyudan, ia cukup menonjol. “Bahasa Jawanya apik sehingga teman-teman dari Jawa Tengah cepat menerima. Kemampuannya bermain gitar membuatnya semakin mudah akrab dengan setiap seminaris,” demikian Romo B. Hardijantan Dermawan, mencoba mengingat kenangan bersama Joy.

Baca Juga:  Kongregasi Misionaris Claris Tingkatkan Kompetensi Para (Calon) Anggota

Dari total 93 anak yang mendaftar masuk Seminari Mertoyudan tahun 1983, ada 91 siswa yang bergabung, dan yang menjadi romo 22 orang. Sementara angkatan yang memilih sebagai Diosesan Keuskupan Agung Jakarta (KAJ), yaitu: Romo B. Hardijantan Dermawan; Romo Kol. Yosep Maria Marcelinus Bintoro; dan Romo Ari Darmawan.

Situasi asrama yang ketat dengan berbagai aturan, ada satu suasana yang selalu menghangatkan perjalanan panggilan Joy yaitu kesenian. Ada banyak aktivitas khas seperti refleksi harian, opera (karya atau kerja), sidang akademik, dan lain-lain. Ada sekian aktivitas yang ada, satu yang ia gemari yaitu Malam Musik Seminari (Mamuri). Malam kreativitas itu diisi ajang pameran dan lomba antara lain teater, puisi, tulisan esai, dan lukis. Untuk bidang musik diselenggarakan ajang khusus yakni lomba cipta lagu, karawitan, orkestra, dan lain-lain. Ia beberapa kali ikuti lomba cipta lagu, tapi baru mendapat juara saat di kelas terakhir dengan lagu ciptaan berjudul ‘Saksikanlah.

Mahkota Panggilan

Setamat dari Mertoyudan, ia berniat masuk Tarekat MSF tetapi lewat pertimbangan dan merasa KAJ adalah medan misi yang tidak lazim lagi sehingga ia memilih menjadi calon imam KAJ. Bersama 10 rekannya bergabung di Wisma Puruhita, Duren Sawit, Jakarta Timur. Rektor Puruhita saat itu adalah Romo Alexander Dirjosusanto, SJ.

Dari Puruhita, ia menjalani studi filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara tahun 1988. Seingat dia, belajar filsafat itu masa-masa yang ditunggu, tetapi kenyataan berbeda ketika mengetahui siapa saja yang menjadi teman sekelasnya. Teman-teman kelasnya waktu itu orang-orang hebat. Ada Mgr. Adrianus Sunarko, OFM; Pastor Aloysius Rusmadji, OFM; Dr. Antonius Widyarsono; Pastor Dr. Deshi Ramadhani, SJ; Pastor Petrus Sunu Hardiyanto, SJ;  serta para romo dan beberapa awam lainnya.

Baca Juga:  Keuskupan Sibolga dari Sinode ke Sinode, Terus Bertumbuh dan Berakar
Penumpangan tangan dari para pastor di atas kepala Romo Aloysius Susilo Wijoyo dan Romo Yos Bintoro saat ditahbiskan di Paroki St. Yohanes Penginjil, Blok B, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. (Foto: Dokpri)

“Saya itu seperti ‘ikan teri’ di antara rekan-rekannya yang ‘ikan kakap’. Mereka pintar dan mahir dalam segala bidang, khusus bidang akademik. Wajar kalau sekarang ada yang jadi dosen, provinsial bahkan uskup. Lah saya ini, tidak terlalu pintar, tapi juga tidak terlalu bodoh. Pokoknya di dalam ruang kuliah kebanyakan nunggu kapan istirahatnya.”

Selama menjalani studi filsafat, ia bermimpi bahwa kelak menjadi imam bagi umat sederhana. Mimpi itu menjadi nyata setelah mendapat tugas pastoral di Paroki St. Fransiskus Xaverius Tanjung Priok, Jakarta Utara. Paroki ini sangat unik. Umatnya rata-rata menengah ke bawah, dengan tantangan pastoral yang beragam.

Pastor Joy menjalani tahun teologi di Seminari St. Paulus Kentungan dan menjalani masa diakonat di Paroki St. Yakobus Kelapa Gading hingga ditahbiskan menjadi imam bersama Pastor Kol. Yosep M. Bintoro Suryowinoto di Paroki St. Yohanes Penginjil Blok B, Kebayoran Baru, Jakarta hari Kamis, 15 Agustus 1996 oleh Kardinal Emeritus Julius Darmaatmadja, SJ, Uskup Agung Jakarta saat itu.

Romo Aloysius Susilo Wijoyo memberikan Hosti kepada ibunya dalam Misa Penahbisannya. (Foto: Dokpri)

Pastor Joy mengambil moto tahbisan dari Mat. 28:20: “Aku akan menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” Refleksi dari kata-kata St. Matius ini tak lain bahwa apapun itu tujuan hidup kita, perjalanan panggilan ini adalah milik Tuhan. “Sekuat apapun saya sebagai seorang pastor, saya percaya ini adalah karunia dan rahmat dari Tuhan. Saya berusaha dari hari ke hari menjalani panggilan ini dengan sukacita. Sebagai manusia biasa saya mau menjalani panggilan dengan joy (sukacita),” tutup Pastor Joy.

Yusti H. Wuarmanuk

HIDUP, Edisi No. 33, Tahun ke-75, Minggu, 15 Agustus 2021

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles