HIDUPKATOLIK.COM –SEKITAR 30 menit mengangkasa, Wings Air jenis ATR 42 yang kutumpangi bersama putriku Lea dari Ambon, telah mencium landasan Bandara Namniwel, Namlea. Pagi masih belia, baru pukul 07.00 WIT. Sejurus berselang, aku dan para penumpang lainnya memasuki bandara yang terletak di Kabupaten Buru. Aku terperangah hingga katup bibirku membentuk celah. Ternyata, bandara di pulau kecil yang mulai beroperasi sejak 2015 ini memiliki fasilitas yang memadai.
Bandara Namniwel sanggup menjaring wisatawan. Beberapa destinasi wisata menjadi andalan pulau bekas pembuangan tahanan politik (tapol) Gerakan 30 September (G30S) ini, di antaranya Pantai Jikumerasa, Pantai Ako, dan Air Terjun Waeura.
Liburan kami kali ini sungguh berbeda. Awalnya, selarik rasa tak nyaman menjegal minatku. Aku seperti hendak mengelupas borok lama yang bernanah dan nyeri, yang sesungguhnya telah sembuh. Namun, demi memenuhi amanah mendiang ayah, akhirnya aku tiba di Buru setelah memelintir kesempatan sekian tahun.
Kami memulai liburan di Pulau Buru dengan menyambangi Pantai Jikumerasa. Jaraknya sekitar 27 kilometer dari pusat kota Namlea. Begitu tiba, kami disambut ramah oleh jajaran pohon kelapa yang dedaunannya melambai-lambai di lekukan pantai. Sementara hamparan pasir putih halus dilengkapi dengan bentangan laut lepas –berwarna biru muda terang yang sangat jernih– bagai menghipnotis aku.
Seketika aku memuji keagungan Sang Pencipta.
“Indah sekali karya-Mu,” pujiku lirih.
Waktu bergulir tak terkendali kendati aku dan Lea hanya berleha-leha sembari sesekali menyusuri bibir pantai. Tak terasa senja telah menjemput. Kami sempat mencecap keindahan Danau Air Asin. Keunikan alam ini memuncaki rasa takjubku. Ketika air laut pasang, danau kecil itu terisi air laut. Namun, ketika air laut surut, danau itu tidak kering. Warnanya turquoise karena efek tanaman alga hijau di dalamnya. Dibuai keindahan alam yang sedemikian rupa, aku tak ingin beranjak dari pantai yang berada di Desa Jikumerasa, Lilialy, Buru.
“Ma, kata banyak orang, sunrise di sini indah sekali. Sebaiknya, kita bermalam di sekitar sini saja,” usul Lea. Celotehnya menyulut semangat. Konon, keindahan sunrise di sini tak terlukiskan. Cahaya mentari tidak serta-merta menerangi bumi, melainkan menyinari bukit di sekitar Pantai Jikumerasa terlebih dahulu. Aku tak kuasa menampik saran Lea.
Sejenak terlupakan, bahwa pulau ini pernah menggoreskan trauma berkepanjangan bagi keluargaku, terlebih ayah. Yang menyembul di pundi batinku pada senja itu hanyalah kekaguman.
***
Sosok ayah senantiasa lekat di benakku meski sejak tahun 1969 hingga 1979, ia lenyap digilas roda kehidupan. Tiada bosan kuajukan pertanyaan kepada ibu, “Di mana Papa, Ma?” Namun, ibuku selalu lihai menyodorkan jawaban yang sebenarnya tiada sanggup memuaskan dahaga keingintahuanku. Belakangan, seiring bertambahnya usiaku, barulah ibu membeberkan keberadaan ayah di Buru.
“Kamu tidak usah malu, Ria. Papamu itu tahanan politik, bukan koruptor,” ungkap ibu. Nasihat itu bagai membingkai kepribadianku. Aku yakin, ayahku bukan penjahat. Ia tidak menguasai hak orang lain, apalagi tega melahap uang rakyat! Jalan hidup yang menggiringnya menapaki jalan terjal beronak duri.
“Andai Papa tidak dibuang, hidup kita enak ya, Ma?” tanyaku selalu ingin tahu.
“Papamu itu seorang insinyur elektro. Tentu penghasilannya besar kalau dia tidak dibuang ke Buru.” Kutemukan duka pada tatapan perempuan tegar ini setiap kali perbincangan menyinggung tentang ayahku.
“Kita doakan semoga Papa lekas berkumpul lagi dengan kita,” lanjut ibuku.
Harapan itu kupelihara di dalam hati. Hingga akhirnya, ayah kembali. Rentetan kisah pilu bercampur heroik pun kerap terucap dari bincang-bincang panjang kami.
“Papa kerja paksa ya di Buru?” cecarku penasaran.
Ia menjawab pertanyaanku dengan senyum getir sembari menunjukkan bekas-bekas luka di tubuhnya. Naas membuatnya tersungkur di hadapan rezim yang bengis dan jumawa. Tanpa pernah ada proses pengadilan, tanpa pernah ada gelar perkara, ayahku bersama ribuan rekannya menjadi pesakitan yang terpekur dalam sengkarut stigma. Dan ia tak mengoyak suratan hidupnya. Tak sekalipun kudengar umpatan serapah terloncat dari mulutnya meski harkatnya dikoyak dan dinista. Diam-diam, aku mengagumi ketabahan dan keikhlasannya.
Beberapa waktu sebelum kepergiannya menghadap Sang Khalik, ayah menyarankan kepadaku untuk mendatangi Buru.
“Tengoklah teman-teman Papa yang memilih tinggal di sana setelah bebas,” pinta ayah. “Kunjungi makam teman karib Papa, Om Kayuh, yang meninggal di sana,”
Aku terdiam. Aku tak mau mengudar janji. Tak terbayangkan, aku bisa menjejakkan kaki di sana, di tempat pembuangan ayahku di mana nestapa pernah meraja.
***
Cahaya mentari memanggang kulit sewaktu aku dan Lea tiba di Desa Savana Jaya, sekitar 28 kilometer dari Namlea. Sejauh mata memandang, hamparan sawah menghijau menyegarkan mata. Di sinilah dulu, berdiri barak-barak yang terbuat dari kayu beratapkan rumbia tempat pengasingan para tapol G30S. Merekalah, termasuk ayahku, yang menebas belantara Buru yang masih beringas menjadi kawasan persawahan.
Barak-barak itu dibongkar di pengujung 1979, ketika para tapol dibebaskan. Kentara sekali, penguasa pada waktu itu ingin lekas menghapus tapak-tapak kekejiannya di pulau yang dulu dijuluki Tefaat (Tempat Pemanfaatan), yang kemudian berubah nama menjadi Inrehab (Instalasi Rehabilitasi). Yang masih tersisa hanya balai kesenian yang dibangun oleh para tapol. Belakangan, balai tersebut dipugar menjadi bangunan permanen yang bisa digunakan oleh warga setempat.
“Bisakah Abang menunjukkan mantan tapol G30S yang masih tinggal di sini?” tanyaku kepada supir angkutan umum yang kucarter hingga ke desa terpencil itu.
“Oooh ada, Bu. Kebetulan kenalan bapak saya. Namanya, Pak Darmo,” jawabnya bersemangat.
“Tolong perkenalkan saya dengan Pak Darmo ya Bang,” pintaku penuh harap.
Akhirnya, mobil yang kami naiki berhenti di sebuah rumah di tepi jalan raya Desa Savana Jaya. Kusiapkan hati untuk mendengar kisah lara Pak Darmo. Sejujurnya, aku enggan mengulik peristiwa kelam itu.
“Perkenalkan, saya, Ria, putri Pak Bambang Supono, eks tapol Buru,” kataku membuka perbincangan.
“Bambang Supono? Wah… dulu, kami sama-sama di Unit XI. Sejak tahun 1979, saya tidak pernah lagi mendengar kabar Bapak,” ujarnya tampak antusias.
“Bapak sudah meninggal….”
“Kapan? Turut berdukacita ya Nak,” sambung Pak Darmo dengan tatapan sayu.
“Bapak pernah berpesan supaya saya mendatangi Buru, melihat lokasi pembuangan para tapol G30S. Saya juga diminta untuk nyekar makam teman baiknya, Pak Kayuh,” paparku.
Paras Pak Darmo mendadak pucat. Ia tak kuasa menutupi kepedihan yang tersirat di wajahnya yang telah dipenuhi garis-garis usia. Lantas, lontaran kisah pedih para tapol mengalir dari mulutnya. Aku mendengarkannya dalam kelu. Beberapa kali aku meredakan emosi dengan menghela napas.
Kemudian kami berziarah ke makam Pak Kayuh yang juga berada di kawasan tersebut. Setelah menebas rumput-rumput liar dan ilalang-ilalang jangkung yang menghalangi penglihatan, Pak Darmo berhasil menemukan kuburan itu. Aku terpaku di hadapan makam yang nisannya nyaris tak terbaca.
“Ini makam Kayuh,” kata Pak Darmo meyakinkan.
“Almarhum tewas karena menenggak racun serangga yang seharusnya dipakai untuk membasmi hama. Ia tidak tahan menghadapi penderitaan di sini,” lanjut Pak Darmo dengan suara bergetar.
Aku terhenyak. Mulutku terkunci, tak ingin bertanya lebih jauh. Setelah memanjatkan doa bagi kedamaian arwah Pak Kayuh, aku lekas undur diri. Bagaimanapun, aku bersyukur ayahku sanggup bertahan meski hidupnya carut-marut seakan kehilangan esok.
Kuselipkan amplop berisi uang di kantong kemeja Pak Darmo.
“Semoga Bapak selalu sehat ya,” harapku.
Begitu mobil yang kutumpangi meninggalkan Desa Savana Jaya, aku sungguh amat lega. Amanah ayah telah kuwujudkan!
“Di tempat ini, Mama memetik pelajaran berharga tentang kesabaran dan keikhlasan,” ungkapku kepada Lea.
Senja mengiringi perjalanan kami kembali menuju Namlea. Niatku menyambangi Pantai Ako dan Air Terjun Waeura seketika sirna. Aku ingin segera tiba di Jakarta. Betapa aku tak ingin menoleh lagi pada fragmen luka itu.
Oleh Maria Etty