web page hit counter
Minggu, 22 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

St. Ponsiano Ngondwe (†1886) : Cerita Si Paruh Elang  

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – TUJUAN hidupnya adalah membuat orang lain selamat lewat cerita-cerita rakyat. Hingga akhirnya, ia terpanggil menceritakan kisah hidup Yesus.

Pada homili peringatan Hari Komunikasi Sedunia tahun 2020 lalu, Paus Fransiskus menyebut nama St. Ponsiano Ngondwe. Menurutnya, martir Uganda ini telah “menjahit kembali yang terputus dan terbelah”.

St. Ponsiano selama hidupnya telah menjadi “penyambung lidah” Tuhan. Anak dari suku pedalaman Bulamu, Provinsi Kyaggwe, Uganda ini menjadi kepanjangan tangan Tuhan untuk menjangkau hati setiap orang Uganda. Ia tampil di saat Uganda sedang dalam situasi kebencian terhadap Gereja.

Beriman Lewat Dongeng

Di antara 22 martir Uganda, Ponsiano tercatat sebagai pribadi yang memiliki “rasa lapar” terus-menerus akan Kristus. Ia gemar mencari para imam Serikat Misionaris Afrika (Society Missionaries of Africa/White Fathers), dari para imam itu, ia mendengarkan cerita tentang Kristus.

Para imam Misionaris Afrika terkenal sebagai pendongeng ulung. Dengan cerita-cerita mereka menancapkan benih iman di Afrika. Anak-anak banyak suku di Uganda sangat tertarik dengan cerita heroik para nabi dari Kitab Suci. Sama seperti anak-anak lainnya, Ponsiano juga menyukai cerita tentang Yesus terutama kisah saat Yesus diketemukan di Bait Allah. Mendengarkan kisah ini, Ponsiano memiliki satu cita-cita, kelak ia juga ingin mengisahkan tentang kebaikan Tuhan itu selama hidupnya.

St. Ponsiano Ngondwe/www.catholicuganda.org

Ponsiano menangkap, bahwa metode bercerita para misionanris berhasil mempengaruhi kehidupan masyarakat di desanya. Kadang kala di akhir cerita, para misionaris membiarkan masyarakat menemukan yang benar dan salah berdasarkan karakter setiap tokoh. Dengan cara ini, umat dapat menemukan siapa tokoh sejati dalam Kitab Suci, yang tak lain adalah Kristus sendiri.

Ketajaman menangkap pesan di balik cerita-cerita tersebut mengubah hidupnya. Ponsiano akhirnya melepaskan kepercayaan aslinya demi Kristus. Cerita tentang Anak Allah, membekas dan mengubah keyakinannya. Sayangnya, iman barunya ini harus dibayar mahal. Ia berhadapan dengan sistem pemerintahan Raja Muteesa I (1856-1884) yang membenci orang Kristen.

Baca Juga:  Uskup Pangkalpinang, Mgr. Adrianus Sunarko, OFM: Membawa Salam Damai

Pria Penghibur

Sejarah hidup Ponsiano terekam dalam sebuah tulisan Profesor James Kagiwa, Martyr of Uganda. Dalam buku ini, ia diceritaan sebagai seorang yang cerdas dibanding anak-anak lain seusianya di Desa Bulamu. Ketika berusia 15 tahun, ia sudah dianggap layak dan mendapat kepercayaan untuk berburu dan berperang.

Menurut tradisi Bulamu, mereka yang sudah berperang berarti sudah matang secara intelektual dan memiliki naluri pemimpin. Ini menjadi sebuah prestasi bagi Ponsiano, mengingat orangtuanya bukan orang yang disegani di desanya. Maka mendapatkan kedudukan itu, rasanya mustahil. Tidak ada generasi Ngondwe yang tercatat pernah memiliki peran di bidang sosial, politik, apalagi pertahanan. Marga Ngondwe, mengisi tingkat terakhir dari kasta Uganda sebagai pekerja kasar.

Kepintaran dan kemahiran Ponsiano membuatnya diterima dan disegani. Di balik itu semua, satu kelebihan Ponsiano adalah ia seorang yang komunikatif dan ekspresif. Tubuhnya mungil tapi lincah. Suaranya selalu penuh keyakinan meski itu kadang-kadang hanya lelucon semata. Ia seorang yang humoris dan tidak jaim.

Figur ini pada kenyataannya dibutuhkan bahkan ketika Raja Muteesa I menguasai Kyaggwe. Milisi Kerajaan Muteesa I mencaplok sebagian wilayah itu dan mencari tentara-tentara kerajaan. Mereka memilih orang-orang yang perkasa dan siap “tanam badan” demi keberlangsungan kerajaan Muteesa I.

Orangtua Ponsiano, Guranda dan Kzyagme, tak pernah bermimpi anak mereka akan terpilih. Sebab secara fisik, Ponsiano jauh dari pesaingnya yang lain. Orangtuanya berpikir, biarlah Ponsiano menjadi pemimpin bagi sukunya.

Hanya saja wataknya yang humoris, menyukakan hati panglima. Masyarakat desanya tak membayangkan bahwa Ponsiano terpilih sebagai tim pelengkap. Tugasnya bukan berperang tetapi menghibur para tentara. Kala tentara mengalami gundah gulana dalam menjalankan tugas kerajaan, Ponsiano bertugas menghibur mereka.

Tugas sebagai “pria penghibur” para tentara berhasil dijalankan Ponsiano. Perannya ini membuatnya sering dipanggil “paruh elang” oleh para tentara. Mulutnya dianggap “setajam” Elang ketika menggit dan mencabik-cabik mangsa.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Tugas perdana Ponsiano di wilayah Kiggoowa. Di sini, ia menjalankan tugas dengan baik. Para tentara yang lelah dalam perjalanan dihibur dengan cerita-cerita rakyat yang lucu. Dalam setiap pesan ceritanya, ia selalu memasukan pesan humanis. Ia selalu meminta agar para tentara sebisa mungkin menghindari penyiksaan terhadap orang miskin.

Menenun Relasi

Tidak lebih dari setahun, Ponsiano mengawali karier sebagai pencerita di Kigoowa. Kendati demikian, ada satu pengalaman yang pada akhirnya mengubah hidupnya. Ap aitu? Perjumpaan dengan seorang Kristen bernama Cyprian Kamya. Perjumpaan dua tokoh berbeda iman ini, bisa dikatakan sebuah pertemuan yang tak disengaja.

Rumah Cyprian, kerapkali digunakan untuk upacara peribadatan beberapa misionaris White Fathers. Suatu ketika ada inspeksi mendadak ke rumah-rumah penduduk perihal isu kegiatan keagamaan. Ponsiano turut dalam inspeksi itu dan mendapat tugas memeriksa rumah Cyprian. Ketika tiba di rumah tersebut, ia kaget melihat sebuah salib yang tergantung di dalam kamar Cyprian. Salib itu diberikan oleh Pastor Pierre Girand.

Martir-martir Uganda/www.catholic.net

Dengan kepolosannya, Ponsiano lalu berpesan kepada Cyprian, agar diizinkan melihat-lihat salib itu. Di akhir sidak itu, ia meminta untuk mendapat sebuah salib untuknya. Sebagai gantinya, rahasia Cyprian aman di tangannya.

Ketika waktu yang ditentukan tiba, Pater Pierre sendiri menyerahkan salib tersebut kepada Ponsiano. Di saat itu, ia menjadi tertegun menatap kilauan salib berkorpus itu. Dalam hatinya bertanya, siapa gerangan orang yang digantung itu. Pater Pierre seakan memahami kegundahan hati Ponsiano. Ia mulai bercerita banyak hal tentang teologi salib dan pribadi Yesus Kristus. Sejak saat itu, Ponsiano memutuskan menjadi Kristen. Ia dibaptis pada 17 November 1885 oleh imam itu.

Cerita Iman

Sebagai orang Kristen, Ponsiano terus melanjutkan profesinya sebagai pencerita. Berbeda kali ini bahwa cerita tidak lagi soal kehidupan manusia dan suku-suku Uganda. Cerita yang ia bangun adalah cerita iman yang mempertobatkan banyak orang.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Berbekal metode bercerita di medan perang, Ponsiano turun lapangan mewartakan Kabar Gembira. Dari rumah ke rumah, ia bercerita tentang kelahiran dan kematian Kristus. Metodenya pun terbilang unik karena tidak langsung bercerita tentang Kitab Suci. Ia biasanya menyelipkan cerita-cerita jenaka untuk menarik perhatian pendengar lalu kemudian menghubungkannya dengan pesan Kitab Suci.

Cerita-cerita Ponsiano selalu bermuara pada satu tujuan yaitu pertobatan. Cerita-cerita iman yang dibawanya selalu berakhir dengan pesan agar mereka memberi diri dibaptis. Hal ini terbukti, dengan dibaptisnya banyak orang di rumah Cyprian. Banyak masyarakat Kigoowa dan Ttakajjunge rela melepaskan kepercayaan tradisional mereka, kemudian mengimani Kristus. Tak cuma itu, kepala suku Kigoowa, Zengbya juga bertobat dari corak hidup poligaminya.

Sayang episode cerita iman dan kehidupan Ponsiano harus berakhir setelah kerajaan mengetahui sepak terjangnya. Ia dituduh sebagai pencuri sapi milik kepala algojo bernama Mukajanga. Peristiwa ini terjadi di Ttakajjunge, tempat tugas Ponsiano berikutnya. Tuduhan ini ditujukan kepadanya atas kerja sama Mukajanga dan pihak kerajaan.

Tuduhan sebagai pencuri membawanya pada jalan kematian. Pencerita firman Tuhan ini meninggal menyerupai Kristus yang dianggap berdosa. Bila Kristus wafat karena orang-orang berdosa, Ponsiano meninggal sebagai “pencuri” jiwa-jiwa. Cara kematiannya terbilang tragis, ia ditikam dengan tombak. Darah segar martir ini mengalir membasahi tanah Uganda pada 26 Mei 1886.

Ponsiano dan 22 martir Uganda lainnya digelari venerabilis pada 29 Januari 1920 oleh Paus Benediktus XV. Para martir ini dibeatifikasi pada 6 Juni 1920 oleh Paus yang sama. Paus Paulus VI mengkanonisasi mereka pada 18 Oktober 1964. Gereja mengenang mereka setiap 27 Mei-3 Juni. St. Ponsiano Ngondwe diangkat sebagai pelindung para tenaga keamanan seperti TNI-Polri dan milisi.

Yusti H. Wuarmanuk

 Majalah HIDUP edisi  23 tahun 2020

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles