HIDUPKATOLIK.COM – SAYA tak pernah jemu untuk mengingat-ingat kata bijak alm. Gus Dur yang satu ini: “Tidak penting apapun agama atau sukumu… Kalau kamu bisa berbuat BAIK untuk semua, orang-orang tidak pernah tanya apa AGAMAMU.” Kata bijak ini sangat relevan dalam rangka mendorong sikap pluralistik dan mengayomi serta berfikir dan berlaku atau bertindak tanpa dibingkai sekat-sekat identitas. Laku baik adalah sebuah tanggung jawab pribadi dan sosial yang TAK PERLU dikleim dan dipertanyakan latar belakang identitas pelakunya!
Namun saat ini, ketika terjadi laku jahat terhadap kemanusiaan, bangsa, dan negara RI, dalam bentuk terorisme seperti di Makassar atau wilayah lain sebelumnya, saya dihadapkan oleh wacana penghadapan antara identitas agama dan pelaku serta gagasan di baliknya. Pertanyaan atau pernyataan bernada menggugat, “Apa agama dan kitab suci para teroris tersebut” atau “kenapa pemeluk agama tertentu sering melakukan aksi yang hina tersebut” atau tudingan pseudo ilmiah bahwa “agama tertentu memang mengajarkan kekerasan dibanding agama lainnya” dst., dsb…
Seolah kata bijak Gus Dur kemudian menjadi sebuah kleim yg satu arah belaka. Seolah peringatan Gus Dur hanya berlaku untuk laku baik saja. Jika demikian, kata bijak tersebut menjadi relatif, bukan sebuah norma etika tanggung jawab yg universal. Karena jika ada laku dan sikap jahat, seolah kita PERLU bertanya: “Apa agama para pelaku aksi jahat tersebut?”
Jika mau konsisten dengan norma tanggung jawab yang diutarakan Gus Dur, mungkin tak bermanfaat juga untuk mempertanyakan, memghujat, dan menuduh soal latar belakang agama, suku, ras dari para pelakunya. Kalaupun mereka mengekleim bahwa agama tertentu sebagai motivator atau inspirator atau bahkan instruktor, itu sekadar klaim kosong. Dan orang tak perlu repot-repot menanyakan apa latar belakang agamanya. Apalagi menuding bahwa agama tertentu bertanggung jawab atas sikap dan laku merusak tersebut!
Membaca dan memahami kalimat bijak Gus Dur memerlukan kemampuan untuk juga memahami implikasinya secara lebih mendalam. Kata “berbuat baik” bisa saja dipahami dengan sebaliknya. Sehingga efeknya menjadi lebih dahsyat, yakni bahwa gagasan dan aksi serta laku baik dan buruk keduanya adalah tanggung jawab pribadi dan sosial para pemili dan pelakunya.
Wacana dan debat tentang agama yg dikaitkan dengan aksi teror lantas tak produktif atau mengajak kita mencari solusi bersama sebagai manusia, bangsa, ummat beragama, dan warganegara. Wacana tersebut malah akan dikapitalisasi oleh para pelaku teror dan organisasinya sebagai keberhasilan untuk memecah belah, adu domba, saling tuding dan sebagainya!
Saya tentu saja tidak melarang wacana dan debat publik tentang agama dan tanggung jawab sosial dalam kehidupan: ideologi, politik, ekonomi, dan sosial budaya. Namun perlu ada sebuah fokus dan prioritas yg ditujukan kepada pencapaian kemaslahatan kemanusiaan, kebangsaan, dan individual.
Dengan cara demikian kata-kata bijak Gus Dur akan makin relevan secara aktual karena menjadi norma dasar etika tanggung jawab yang universal.
Muhammad AS Hikam, Penulis Buku “Deradikalisasi”