HIDUPKATOLIK.COM – Beberapa saat setelah Istana Presiden mengumumkan nama calon kapolri untuk dikirim ke DPR menjalani fit and proper test, beredar banyak komentar tentang agama Listyo Sigit Prabowo. “Listyo Sigit agamanya apa?” demikian pertanyaan orang yang belum tahu. Lalu, ada yang mengacungkan jempol, tapi tentu ada juga yang mencibir, setelah meyadari bahwa Presiden Jokowi ternyata memilih seorang non-Muslim menjadi orang nomor. 1 di kepolisian.
Setelah itu, muncul lagi pertanyaan lain. Ini pertanyaan khas yang terdapat di berbagai Grup WA bernuansa Nasrani sebagai berikut,” Listyo Sigit itu Kristen atau Katolik?” Berbagai teori dan fakta kemudian diajukan hingga kemudian ditutup saat Listyo Sigit menyebutkan dengan tegas bahwa ia seorang Kristen. Itu jawabannya ketika ditanya Presiden Jokowi saat pelantikannya di Istana beberapa saat lalu. Penulis kemudian menangkap kekecewaan dari kalangan Katolik saat mengetahui hal itu.
Mengapa harus muncul pertanyaan soal agama? Mengapa pula harus kecewa ketika seorag pejabat ternyata bukan seorang Katolik? Ini sebenarnya fokus yang penulis angkat dalam tulisan ini.
Penulis mengkhawatirkan bahwa masih banyak dari kita yang percaya bahwa agama seorang pejabat publik itu sedemikian berartinya sehingga sang pejabat dapat berbuat sekehendak hatinya guna memberi perhatian, keuntungan hingga perlakuan berbeda terkait agamanya. Maka, bagi yang masih percaya dengan hal itu, lalu kemudian berdoa siang-malam agar semakin banyak pejabat publik beragama Katolik, misalnya, sehingga kepentingan Katolik terjaga dan lebih dari itu, diuntungkan. Sebaliknya, kita akan kecewa dan menganggap masa depan menjadi kelabu jika yang dilantik adalah sebaliknya.
Penulis memang setuju bila dikatakan bahwa terdapat masa dimana faktor primordial itu menjadi begitu penting dan menentukan. Namun penulis juga bisa memastikan bahwa masa itu sudah lama berlalu. Perspektif tata kelola yang baik (good governance) dalam kehidupan bernegara sudah sedemikian kuat tertanam sehingga hampir tidak ada ruang bagi diskriminasi, favoritisme dan sekaligus marjinalisasi salahsatu pihak tanpa sebab.
Ada saja tentu yang masih coba-coba melakukan diskriminasi dan favoritisme tersebut. Namun sistem pengawasan pemerintahan juga segera bekerja dan selalu mungkin menghasilkan situasi dimana pelakunya ditegur, dimutasi, dicopot jabatannya atau bahkan dipidana. Belum lagi dengan sistem pemberantasan korupsi yang amat aktif dewasa ini. Seorang pejabat publik semakin sulit bermain dengan anggaran jika tidak ingin dicokok oleh inspektorat, diberi penalti oleh Kementerian Keuangan (berupa pemotongan anggaran) dan pelakunya dipakaikan rompi oleh KPK.
Sistem pemberantasan korupsi ini adalah bagian dari sistem penegakan hukum yang amat responsif apabila ada orang yang melaporkan seorang pejabat publik. Biasanya pejabat publik yang dilaporkan itu akan amat kerepotan mengingat pengawas internal (inspektorat) juga akan turun dan menguliti sang pejabat. Kalaupun yang bersangkutan tidak ditemui kesalahan, namun sudah cukup pusing untuk membuat pejabat tersebut (demikian pula yang lain) mau bermain-main dengan hak asasi manusia yang diganggu oleh tindakan favoritism dan/atau diskriminasi tersebut.
Masih ada kok yang nyaman tak tersentuh. Mungkin saja. Bagi mereka yang sulit tersentuh oleh karena satu dan lain hal ini, biasanya waktu yang akan bicara. Saat pergantian pemerintahan melalui pemilu atau pilkada, kalangan seperti itu sulit bertahan. Kalaupun bisa, harus membayar dengan ongkos politik amat mahal, dimana tak semua pihak bersedia dan bisa menanggungnya.
Maka, jika seorang pejabat Katolik sebenarnya tidak bisa berbuat banyak untuk “membela” agamanya, mengapa pula kita sibuk bertanya apa agama seorang pejabat?
Tentu saja penulis tidak menampik bahwa kesamaan agama, demikian juga kesamaan beberapa variabel primordial lainnya (seperti sesuku, sekampung, sekelas di sekolah dan sebagainya), membuat interaksi dengan pejabat publik lebih dekat. Selanjutnya, dengan interaksi tersebut, bisa berkembang ke arah aktivitas yang tergolong informal dan sosial. Sang pejabat lalu lebih bersedia membantu mengeluarkan dana dari kocek pribadi. Atau, sesekali membantu meminjamkan aula kantor untuk pertemuan sosial.
Namun demikian, apabila sudah menyentuh elemen penggunaan kewenangan dan juga penggunaan keuangan negara, biasanya setiap pejabat publik amat berhati-hati. Mereka akan sulit sekali tergoda untuk bertindak hanya karena pertimbangan sekampung, sesuku, sama-sama alumni demikian pula seagama. Kalangan yang berada di rumah tahanan KPK, dengan demikian bisa disimpulkan, adalah mereka yang berani menyeberang dari ranah informal dan sosial masuk ke ranah kedinasan.
Aktiitas yang tergolong informal dan sosial itupun, dengan demikian, jelas batasnya. Seorang pejabat publik tidak bisa semaunya atau sering-sering meminjamkan aula kantor, mobil dinas atau inventaris lainnya untuk acara sembahyangan keluarga atau arisan kampung. Dewasa ini juga semakin banyak pejabat yang berhati-hati menggunakan mobil dinas untuk kepentingan pribadi. Selain akan mengundang perhatian bagi mekanisme etik di instansi tersebut, sorotan masyarakat melalui media sosial juga tak kalah tajamnya.
Pentingnya kita untuk tidak mempersoalkan agama seorang pejabat publik mengingat, pada saat yang lain, kita juga tidak mau pejabat beragama lain memberikan perhatian amat lebih kepada agamanya. Kita umumnya sensitif jika seorang pejabat yang Muslim, misalnya lalu memberi perhatian amat berbeda kepada agamanya dibanding agama-agama lain. Nah, jika demikian, mengapa melakukan hal serupa?
Adrianus Meliala, Guru Besar Universitas Indonesia/Ketua Umum LP3KN
(Majalah HIDUP, 11/Tahun ke-75, 14 Maret 2021)