HIDUPKATOLIK.COM – SAYA mengenal “money talks” dari sahabat sejak SMA. Namanya Widagdo Basuki. Pengusaha yang “hanya” tamatan SMA. Klotokan karena lahir dan besar di jalanan. Widagdo seorang saudagar otodidak. Pantas, tangguh dan tahan banting.
Sebagai pengusaha kelas nasional, wajar kalau Widagdo berprinsip money oriented. Semua langkah dalam hidupnya dikonversi dalam uang. Bahkan ketika dia menolong atau berbuat baik pun – Widagdo ini terkenal ringan tangan – di balik sana ada kalkulasi debit-kreditnya.
Ketika saya tanya, apa kira-kira Bahasa Indonesia dari istilah di atas, Widagdo menjawab enteng.
“UUD. Ujung-Ujungnya Duit”.
Itu jawaban khas pedagang. Praktis dan simpel.
“Hidup sudah pelik, buat apa dibuat tambah rumit”.
Semua ada plus-minusnya. Jangan kita minus terus, juga jangan plus melulu. Dorong agar terus seimbang.
“You can’t win all in life”.
Itu pesan WA yang saya terima tadi pagi. Win atau lose yang dimaksud Widagdo adalah dalam rupiah. Paling tidak, itu dugaan saya.
Diam-diam saya sepakat dengan prinsip hidupnya. Bahkan dalam beberapa hal, saya mendukungnya. Sekaligus mengaguminya. “Uang”, lebih-lebih masa-masa kini, begitu mengusai kehidupan umat manusia. Seolah bagaikan darah dan oksigen.
Bimbo, grup penyanyi asal Bandung, pernah menyindir dalam syair lagu tentang “uang dan sayang”. Satir sih, tapi layak disimak.
“Ada uang abang sayang, tiada uang abang melayang”.
Kepercayaan tentang berkuasanya uang bukan hanya monopoli Widagdo saja. Sekira tahun 1940-an, kisah mengenai betapa digdayanya uang sudah terdengar.
Yang menjadi korban adalah Perdana Menteri Inggris, Winston Churchill. Itu kisah inspiratif yang viral di media sosial baru-baru ini. Saya tak menjamin validitasnya. Meski spiritnya bisa dicamkan menjadi pelajaran yang berharga.
Suatu saat, Churchill naik taksi menuju Gedung BBC di London, untuk suatu wawancara.
Sampai tujuan, sang PM meminta si sopir menunggu 40 menit untuk membawanya kembali ke tempat tinggalnya. Si sopir tak kenal bahwa penumpang itu adalah pemimpin tertinggi negaranya.
Si sopir menolaknya.
“I can’t. I have to go home to listen to Churchill’s speech”.
Bangga dan terharu menyelimuti hati sang PM. Ada sopir taksi, rakyatnya, yang rela kehilangan kesempatan untuk mendapatkan uang, karena hendak mendengarkan pidato pemimpinnya.
Sebagai penghargaan, Churchill memberikan tip kepada si sopir sebesar 20 pound. Jumlah yang sangat besar di kala itu.
Terperanjat si sopir mendapatkan uang sebanyak itu. Tak disangka-sangka si sopir berujar.
“I’ll wait for hours until you come back, sir!. And let Churchill go to hell.
Sekali lagi, mungkin kisah di atas tak benar-benar terjadi. Tetapi esensinya tetap penting direnungkan. Begitu mudah seseorang berubah karena sejumlah uang tak seberapa dibandingkan kehormatan seorang PM.
Jangankan pidato seorang PM, bangsa pun tergadaikan demi uang. Kehormatan bisa diobral demi satu-dua keping rupiah. Keluarga bertikai karena harta. Sahabat berpisah karena utang-piutang. Bahkan nyawa manusia melayang karena uang. Benar sekali istilah money talks.
Simak kisah-kisah ilustrasi selanjutnya.
Baru-baru ini, ada seorang tokoh yang baru saja lengser dan segera berulah. Seketika dia berubah sikap menjadi oposan kepada mantan atasannya. Ini gara-gara masalah keuangan perusahaannya tak dibantu sesuai keinginannya. Mustahil sang atasan meluluskannya karena permintaan si tokoh melawan aturan yang berlaku. Satu lagi contoh, sikap bisa berubah seratus delapan puluh derajat gara-gara uang.
Yudas Iskariot terkesima dengan tawaran 30 keping uang perak untuk menukarnya dengan Yesus, Junjungannya (Mat 26 : 14-16).
Nyawa Gurunya sekejab menjadi murah ketika mata si pengkhianat berubah hijau melihat kepingan perak.
Prinsip money talks sulit dibantah. Si sopir, si tokoh dan Yudas Iskariot hanya representasi dari mayoritas umat manusia. Saya termasuk di dalamnya.
Ketika uang sejuta rupiah tak akan menggoyahkan prinsip saya, dua juta juga belum, seratus juta mungkin membuat sanubari mulai bergetar. Giliran sepuluh milyar, tunggu dulu. Tak semudah dan secepat itu menolaknya.
Itulah warna kehidupan kebanyakan orang. Dari zaman baheula hingga kini, bahkan sampai nanti. Satu-dua berhasil mengatasinya ketika dia sudah selesai dengan dirinya. Kepentingan “aku” diletakkan di nomer sekian. Nomer 1 sampai nomer sekian minus satu adalah Kemuliaan Tuhan dan kemaslahatan sesama. Tak bisa mencampur-baurkan dalam wadah yang sama.
“Tak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada mamon” (Mat 6 : 24)
P.M. Susbandono, Kontributor, Penulis buku inspiratif