HIDUPKATOLIK.COM – SAYA tak pandai bermain sepakbola. Hanya pernah menjadi tim SD ketika bertanding di level kota. Hasilnya pun tak istimewa. Peringkat 5 dari 50-an kesebelasan yang ikut berlaga.
Tapi, saya gemar nonton pertandingan bola. Apalagi tingkat provinsi atau nasional. Biasanya, diadakan di Stadion Diponegoro. Kalau kesebelasan perserikatan Semarang, PSIS, bertanding, tak pernah absen di pinggir lapangan.
Kala remaja, saya hanya mampu membeli tiket kelas 3. Lokasi di “Tribun Timur” (TT), sering disebut “kelas kambing”. Bukan masalah “kambing”-nya. Tapi penonton di situ harus menyongsong sinar matahari, kala senja tiba. Matahari di ufuk barat, pertandingan di tengah lapangan. Jangan ditanya bagaimana mata perih memandang keduanya bersama-sama.
Di TT tak ada yang duduk manis. Semua berdiri di atas tempat duduk kayu. Beberapa “nongkrong” di sandaran bangku. Pemandangan lebih luas, meski tak sedikit yang terguling dan jatuh. Sorak-sorai semakin ramai. TT selalu penuh sesak. Murah-meriah.
Meski tak nyaman, nonton di TT selalu asyik. Permainan bola tak lagi penting. Celetukan penonton dengan tiket “murahan” lebih mengesankan. Teriakan tak hanya kepada tim lawan. Tuan rumah pun tak bebas umpatan. Kadang kasar, sering sinis, memerahkan telinga. Namun, orisinil dan jenaka. Dan suara “gggrrr” menutup satu celoteh, yang disusul umpatan berikutnya. Nonton di TT adalah menikmati sensasi yang luarbiasa. Itu istimewa, sulit dilukiskan dengan kata-kata.
Menjadi penonton bola (atau penonton apa saja) selalu menyenangkan. Tanpa beban dan kewajiban apa pun, selain membeli tiket murah. Kemudian, silakan berkomentar sepuas-puasnya. Tak perlu data, tak butuh fakta.
Penonton boleh teriak, mengritik, mengumpat atau (yang lebih halus) memberi masukan. Konon, “kritik itu sehat – memuji itu menghanyutkan”. Biar kelihatan relijius, ayat Kitab Suci dirujuk saat menceletuk apa saja. “Lebih baik teguran yang nyata-nyata dari pada kasih yang tersembunyi”. (Amsal 27 : 5).
Kembali ke sepakbola. Pemain sulit mengelola dirinya saat tim berada dalam tekanan lawan. Koordinasi nyaris lumpuh seperti belum saling kenal. Mental rapuh seperti dimakan rayap. Mengangkatnya pun berat.
Kapten seakan tak berdaya. Lebih-lebih bila dia bukan penentu komposisi pemain dan sistem semesta tak mendukung. Hampir semua stakeholder tak berpihak kepadanya. Kapten seperti sendirian di tengah teriakan penonton yang gegap-gempita. Penonton kawan ikut mencerca tanpa tahu apa-apa. Dalam posisi itu, teriakan sebagus dan sekeras apa pun tak terdengar, apalagi ada manfaatnya bagi kesebelasan kawan.
Yang dibutuhkan adalah suporter, bukan sekadar penonton. Yang diperlukan adalah dorongan semangat, bukan cercaan yang dibungkus masukan. Tepuk tangan kala tim kawan sedang bermain cantik menjadi begitu berharga. Lagu-lagu pemompa semangat menjadi pemicu timbulnya daya juang agar mampu membalik arah angin yang sedang melawan. Ironis, penguatan tak dilakukan, ketika dibutuhkan. Penonton kawan ada yang berbalik arah, bak musuh dalam selimut, meski mungkin tak sengaja.
Bila pemain sedang berlaga, kritikan atau cemooh dari tribun mana pun hampir tak berguna. Jangan membungkus scrimmage dengan dalih usul, masukan, kritik, teguran atau kasih-sayang. Masalahnya adalah, angin sedang bertiup tak menguntungkan. Tekanan lawan datang dari berbagai arah dengan daya (dan dana) yang super kuat.
Sering penonton tak tahu persis apa yang sedang terjadi di lapangan. Dikira apa yang terlihat dengan mata kepala, adalah fakta yang sesungguhnya dan selengkapnya. Dalam permainan sepakbola (atau kancah pertarungan lainnya), apa yang terjadi di balik lapangan sering menjadi faktor utama, mengapa pemain tidak pada “top form”-nya. Pemain andalan cedera, pelatih beradu pendapat dengan manajer, bandar suap merajalela di luar stadion, lawan melakukan teror mental atau fisik dan sejuta alasan yang disebut “faktor nonteknis”.
Penonton bisa menjadi suporter, penyemangat, pendukung, dan membuat stadion meriah. Mereka adalah stakeholder, tapi belum tentu tahu segalanya. Mereka terbatas daya jangkau, pemahaman dan penglihatan. Padahal, faktor nonteknis lebih banyak berputar-putar di antara pemain dibanding apa yang terekam mata. Orang mengatakan: “Penonton adalah raja”, tetapi penonton yang hebat tidak otomatis menjadi komentator jempolan. “A great spectator can not be a good commentator“. (Aviv, 2017).
Jadilah suporter, bukan hanya penonton. Jangan puas menjadi penonton yang merasa serba bisa. Paling baik adalah memberi kasih yang nyata dan teguran yang tersembunyi, karena di tengah malam gulita, banyak orang menanti cerdik-cendekia untuk melakukan sesuatu yang bisa membuat gelap menjadi penuh cahaya.
“It’s time to stop being spectators. Do things. Join things. Make things happen. Make a contribution. Make a difference. Get out there. Don’t keep calm and carry on. Get angry, and change this benighted world. Is there anything else than the masses who wait for others to do things?”. (Thomas Stark, The Book of Thought: Mind Matters).
P.M. Susbandono, Kontributor, Penulis buku inspiratif