HIDUPKATOLIK.COM – “AMERICA’S democracy is not guaranteed, it is only as strong as our willingness to fight for it to guard it and never take it for granted” (Kamala Harris).
Minggu, 8 November 2020, seorang teman yang “ketinggalan” berita hasil pilpres Amerika, kirim pesan ke ponsel saya.
“Siapa pemenangnya? Trump atau Biden?”
Nada tak sabar mencuat dari kalimat itu. Pernyataan kemenangan Biden yang dikumandangkan, bahkan sebelum proses perhitungan suara usai, membuat dia ragu-ragu. Padahal, Biden-Kamala sudah menjadi pemenang.
Inilah jawaban saya.
“Pemenang pilpres, Kamala Harris”.
Kalimat yang diikuti dengan emoticon (emotion icon) bernada mengejek. Bagaimana mungkin Kamala, cawapres, bisa menang dan terpilih menjadi Presiden?
Jawaban saya tak sepenuhnya bercanda. Saya menobatkan Kamala menjadi “pemenang”, setelah mendengar victory speech-nya.
Pidato Kamala istimewa, menyentuh dan mencerahkan. Lebih dari itu, sekaligus menyadarkan publik (khususnya saya), untuk kalimat yang saya kutip sebagai pembuka. Kamala bicara tentang hakekat demokrasi. Demokrasi bukan sekali jadi, melainkan proses yang harus terus diperjuangkan.
Demokrasi (tidak hanya di Amerika) sangat tergantung dari kehendak seluruh rakyat untuk memperjuangkan, untuk mengawalnya dan jangan menganggapnya sebagai produk sekali jadi dan harga mati.
Pidato Kamala mencerahkan saya, yang selama ini buntet. Simak dua kalimat berikutnya.
“And protecting our democracy takes struggle, it takes sacrifice, but there is joy in it and there is progress. Because we the people have the power to build a better future”.
Tiga kalimat yang terselip di “pidato kemenangan” Kamala, layaknya suatu kuliah S3 Politik, dari sebuah universitas ternama di dunia. Menurutnya, demokrasi membangun masa depan bangsa.
“Dosennya” adalah pelaku yang terlibat langsung dalam proses demokrasi. Dalam hitungan saya yang “baru kenal”, ucapan “sang dosen” berhimpit dengan perjalanan hidupnya.
Fakta sejarah baru saja diukirnya. Harap maklum, Kamala menyandang 3+2 faktor minoritas dan, atau diskriminasi, bahkan di negara mbah -nya demokrasi, seperti Amerika.
Pertama, Kamala adalah seorang perempuan. Indonesia lebih maju dibanding Amerika dalam soal perempuan pemimpin. Kita pernah punya perempuan Presiden. Amerika baru sekarang memilikinya, itu pun baru orang nomer dua.
Kedua, Kamala berkulit berwarna. Ayahnya seorang imigran dari Jamaika, Amerika Utara, berkulit hitam. Ibunya berdarah India, Asia Selatan. Saya tak tahu, apakah ayah Kamala seorang penyanyi reggae dan ibunya lahir dari kasta apa. Keduanya tak penting, karena demokrasi telah membuat perempuan indo itu akhirnya berhasil memimpin negara besar. Penduduknya berasal dari seantero pelosok dunia, yang mayoritas kulit putih, yang sering dicap arogan, dengan rasa superioritas yang tinggi.
Ketiga, sulit mencari sumber resmi apa agama Kamala. Yang pasti, Kamala dibesarkan oleh ibu kandungnya yang beragama Hindu. Sang ibu dirawatnya dan ketika meninggal dunia, jenazahnya dibakar dan dilarung di laut lepas, teritori India. Tradisi Hindu dan India melekat dalam dirinya.
Keempat, ada dua faktor minoritas lainnya, meski kadang justru menempatkannya dalam posisi menguntungkan, yaitu kecantikan dan kecerdasan.
Di dunia yang sedang karut-marut seperti sekarang ini, menjadi perempuan cantik sekaligus pintar justru sering menyulitkan. Entahlah.
Pesan Kamala, sebagai penyandang multiminoritas, terasa tak dibuat-buat. Demokrasi berbanding lurus dengan tekad para pelakunya untuk terus memperbaikinya. Kamala tidak hanya bicara, dia telah melakukan dan membuktikannya.
Kamala sadar, membangun demokrasi tidak bisa dilakukan dengan sikap biasa-biasa saja, sambil leyeh-leyeh. Kamala percaya, menyehatkan demokrasi harus dilalui dengan pergumulan keras, dengan pengorbanan, dengan penderitaan. Bahkan dengan tetesan darah dan air mata. Sesudah itu tersembul kegembiraan dan kemajuan yang menjanjikan.
“Protecting our democracy takes struggle. It takes sacrifice. There is joy in it and there is progress”.
“Pemenang” kali ini bukan Biden, atau Trump, melainkan Kamala Harris. Dia telah mempraktikkan pelajaran yang dipetik dari dirinya. Dia mengajarkannya ke seluruh dunia.
Tiba-tiba, saya ingat akan proses demokrasi di Indonesia. Ingat akan hiruk-pikuknya pilkada, pilgub, pileg atau pilpres. Meski di beberapa tempat menunjukkan bahwa demokrasi telah mencerminkan kedewasaan bangsa, selebihnya masih compang-camping. Faktor primordial, seperti yang dimiliki Kamala, masih sering menjadi isu yang digoreng untuk menjatuhkan pemiliknya.
Sekali lagi, demokrasi bukan sesuatu yang mandeg. Ia adalah perjuangan.
“Democracy is not a state. It is an act” (John Robert Lewis – Anggota konggres Amerika kulit berwarna, 1940-2020).
P. M. Susbantono, Penulis buku inspiratif, Kontributor