HIDUPKATOLIK.COM – Oleh Maria Etty
LEKAS kukenakan seat belt tatkala pramugari British Airways yang berparas jelita menginformasikan bahwa pesawat yang kutumpangi segera mendarat di Bandara Heathrow London. Jarak sekitar 11.711 kilometer dari Jakarta telah terlintasi. Begitu roda pesawat mengecup landasan bandara, gelisah menyesahku.
“Semoga Irene benarbenar menjemputku,” harapku. Di negara yang kurasa antah berantah ini, aku tak punya siapa-siapa. Baru kali ini kakiku menjejak Inggris, yang selama ini hanya sepintas lalu kutatap di layar kaca. Seperti mimpi kurasa.
Aku mengekor para penumpang lain memasuki garbarata yang menghubungkan pintu pesawat dengan bandara. Hiruk-pikuk manusia amat terasa. Kudengar, inilah bandara kelima tersibuk di dunia. Tak heran, begitu banyak orang lalu-lalang tiada henti di seputarku. Setelah melalui pemeriksaan pabean dan pengambilan bagasi, aku bergegas keluar.
Para penjemput berjubel. Kusapu pandangan ke arah mereka. Karena kebanyakan orang Barat, tak sulit menemukan Irene. Sosoknya menyembul di antara tubuh-tubuh bongsor berkulit putih susu. Lekas kukenali wajahnya sebagaimana terpampang di profile picture Facebook-nya.
“Tante Maria,” ujarnya dengan suara renyah.
“Irene…,” balasku lega.
Meski baru pertama berjumpa, kami
mudah akrab.
“Tante pasti lelah,” katanya.
Tak kuingkari, penat mendera tubuhku akibat perjalanan sekitar 14,5 jam dari Jakarta.
“Om Tonny senang sekali mendengar
kabar Tante akan datang,” beber Irene.
“Pasti dia sudah tidak sabar menunggu.”
“Besok saja ya kita menengok Om Tonny. Tante ingin tidur dulu karena lelah sekali,” kilahku beralasan.
Sesungguhnya, pergumulan batinku tentang Tonny tak pernah usai. Senja ini, pergumulan itu berlanjut. Senja nan memukau dengan semburat jingga di punggung langit tersingkir dari perhatianku karena bayangan Tonny terlanjur memenuhi benakku.
Dua bulan lalu, Irene menyapaku melalui Facebook Messenger.
“Tante Maria, kenalkan saya Irene. Saya adalah keponakan Tonny Sudirdja.” Serta-merta aku dibekap kesiap. Kukuntit teks demi teks yang dilayangkan oleh gadis yang tengah menimba ilmu manajemen di kota London itu.
“Aku ingin menyampaikan berita kepada Tante bahwa saat ini Om Tonny sedang sakit parah. Ia ingin sekali bertemu Tante.”
Sebelum Saudara Maut menyongsong, rupanya ia ingin berjumpa denganku. Ke mana saja lelaki itu selama ini? Barangkali ada sesal penghabisan yang ingin ia luapkan kepadaku di pengujung hayatnya.
“Apakah aku mau menjumpai orang yang pernah memorak-porandakan hidupku?” gugatku berulang pada diri sendiri.
Hingga akhirnya aku meluluskan permintaan itu. Tak sekadar menguak pintu maaf baginya namun ada sebongkah penasaran tentang kondisinya saat ini.
“Aku tidak ingin menjegal jalan ajalnya,”
simpulku.
***
Benakku mengembara jauh. Kukenang kembali saat relasi kami bertaut di kampus. Cinta sungguh memabukkan. Semua melebur dalam keindahan. Segenap debar, degup, dan gemuruh di hati pun melabrak batas dan antara.
“Aku ingin kamu menjadi istriku, Maria,” ungkap Tonny tak kejuntrungan pada suatu hari. Sementara manik matanya menatapku hingga terasa menembus hati. Aku bagai terbang
mendengarnya. Kugenggam erat kesungguhan Tonny kala itu. Lantas, kami kian dekat hingga menyeruduk kepatutan…
Begitulah gelora hasrat pada akhirnya bagai ditabuh dan diulang-ulang. Hanya ada jiwa yang saling membutuhkan dan merengkuh. Hingga prahara menggulung langkah kami. Benihku yang dibuahi oleh kelelakian Tonny tumbuh menjadi bakal anak. Sementara kami masih teramat belia untuk menjadi orang tua. Begitulah realitas menguji kesungguhan janji.
“Aku belum siap, Maria,” ucapnya lirih. Kekecewaanku membukit mendengar elakan tanggung jawabnya. Cinta tak lagi cukup untuk menyatukan kami.
Namun, sedari awal tak pernah ada selarik niat di benakku untuk meniadakan sang jabang bayi. Sebelum mudigah yang bernidasi di ceruk peranakanku membuncitkan perut,
Tonny menyembunyikan aku di Vila Kasih. Delapan bulan aku mendekam di shelter yang dikelola oleh para biarawati itu. Dengan cara ini pula, aib tak perlu mencoreng paras orang tuaku.
Sesuai peraturan, selama berada di Vila Kasih aku dilarang berjumpa dengan Tonny. Perlahan-lahan temali pengikat hati kami pun longgar. Ketika buah cinta kami hadir, Tonny telah beranjak tak tentu rimbanya. Belakangan, kudengar bahwa berita kehamilanku sampai di telinga orang tuanya. Tonny dipaksa menyusul kakaknya di London.
Harapanku pecah berkeping. Tiada pilihan lain, selain beringsut dari Vila Kasih tanpa sanggup berlama-lama mendekap bayiku. Kuikhlaskan putriku kepada tangan-tangan kehidupan.
“Maafkan Mama, Nak. Semoga ada orang berbudi yang akan menopang hidupmu,” harapku.
Hidup terus berlanjut. Dengan sekuat hati, kututup memoar bobrok itu. Dialah awan kelabu yang menggiring badai dalam hidupku. Dia tak layak lagi menghuni mimpi-mimpiku.
Bertahun-tahun aku berupaya mengubur pengalaman perih itu. Betapa sulit memaafkannya…
***
Pagiku selalu terburu-buru. Namun, kali ini berbeda. Suasana kota London yang serba bersih, teratur, dan tidak macet, membuatku nyaman dan leluasa. Tujuan utamaku datang ke kota ini untuk membezuk Tonny. Aku dan Irene menumpang taxi hackney hitam yang
berbentuk unik dan khas menuju RS St. Thomas London di Westminster Bridge Road.
“Rencana dokter, sore nanti Om Tonny akan menjalani transplantasi hati,” kata Irene mengingatkan. Aku hanya mengangguk mendengarnya. Sengaja kukunci perbincangan tentang Tonny. Kualihkan dengan sederet pertanyaan tentang ikon-ikon kota London nan
memesona.
Tak terasa kami telah berada di lobi rumah sakit. Bangunan rumah sakit yang didirikan oleh Florence Nightingale ini sangat besar dan megah. Seraya melangkah ke dalam, kutata perasaan. Jantungku berdetak lebih kencang, iramanya terasa tak beraturan.
Begitu pintu kamar terkuak, kudapati Tonny bagai sosok asing. Kucoba mencermati lelaki yang dulu pernah kukenal dengan sungguh, yang kucinta dengan segenap hati…
Dengan rakus, virus Hepatitis B telah merusak fungsi hatinya dan melumat lemak-lemak tubuhnya. Yang ada di hadapanku tinggal raga tanpa daya, tulang-belulang berbalut kulit.
Ketampanannya yang dulu kukagumi nyaris sirna. Iba yang tersisa membaluri batinku.
“Tonny,” ucapku hampir tak terdengar. Selang sesaat ia terjaga dari lelap. Racikan penenang dan penghilang rasa sakit membuat kesadarannya tak purna.
“Om, ini Tante Maria,” kata Irene. Tonny menatapku dengan pandangan hampa. Sejurus berselang, bulir-bulir air mata menghilir di pipinya yang cekung dan layu.
“Maafkan aku, Maria,” katanya terbatabata.
Aku mematung di sisi Tonny. Kucoba untuk mengait senyum meski tak mudah.
“Kamu harus kuat…,” kataku berupaya menyulut semangatnya.
Tiba-tiba, pintu kamar tersibak. Seorang dara belasan tahun muncul. Aku bagai ditohok realitas. Kulihat jelas jejak wajahku di paras gadis itu.
“Ini Maya…,” ucap Tonny selirih bisik. Sejenak tatapan kami bersirobok. Lantas, kepalanya tertunduk. Sejurus berselang, kupegang erat tangan gadis itu. Intuisiku meyakini, inilah darah dagingku.
Lalu, aku dan Maya menanti senja tiba. Kami mengiringi Tonny yang terpasak di brankar hingga di mulut kamar operasi. Kutuai hikmah ranum di balik pintu maafku