web page hit counter
Jumat, 22 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

SUKA DUKA PELAYAN SABDA DI MASA KRISIS

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM

Senin, 8 Juni 2020

1Raj. 17:1-6; Mzm. 121:1-2,3-4,5-6,7-8; Mat. 5:1-12

RAJA Ahab yang disinggung dalam Ba-caan Pertama adalah salah satu raja Israel yang buruk, karena menyuburkan kembali praktik pemujaan Dewa Baal, seperti yang dilakukan Omri, ayahnya. Keadaan Ahab diperburuk oleh istrinya, yang orang asing, bernama Izebel. Akibat dosanya itu, Allah menghukum bangsa Israel dengan ke-keringan yang panjang. Nabi Elia menjadi pe-ra-ntara untuk menyampaikan pesan Allah kepada Ahab.

Dari kisah Elia dan Ahab inilah, kita bisa mendengar kisah tentang Nabi Elia di pinggir Sungai Kerit, yang terletak di timur Sungai Yordan. Di tempat itulah, Nabi Elia dipelihara oleh Allah secara luar biasa. Di tengah kekeringan, Elia minum dari air Sungai Yordan dan diberi makan oleh burung-burung gagak yang setiap pagi dan petang datang membawa roti dan daging. Pengalaman Elia menjadi inspirasi di masa pandemi Covid-19 ini. Di saat yang sulit sekalipun, Tuhan tetap memelihara orang-orang yang tetap mau percaya pada janji-Nya.

Dalam Injil, orang yang percaya pada janji Tuhan dibahasakan dengan ungkapan yang berbeda oleh Yesus, yaitu orang-orang yang berbahagia. Seseorang disebut ber-bahagia, bukan karena hartanya yang banyak, ataupun jabatannya yang tinggi. Justru orang-orang yang tidak memiliki apa-apa, tetapi masih mau mengandalkan Tuhan dalam hidup, merekalah yang Yesus sebut sebagai pemilik Kerajaan Allah.

Selasa, 9, Juni 2020

1Raj. 17:7-16; Mzm. 4:2-3,4-5,7-8; Mat. 5:13-16

SETELAH bertahan hidup di tepi Sungai Kerit, Elia sendiri mengalami kesulitan berikutnya. Sungai Yordan menjadi kering, sehingga ia tidak bisa lagi minum dari sungai itu. Tuhan mengutusnya pergi ke Sarfat. Kali ini, Tuhan berjanji, ia akan dipelihara oleh seorang janda. Dari sini kita bisa melihat, Tuhan punya 1001 cara untuk memelihara orang-orang yang di-kasihi-Nya, termasuk dengan cara-cara yang sepertinya hampir tidak mungkin. Jan-da adalah simbol masyarakat miskin dan tersingkir, bagaimana mungkin bisa menampung kehidupan orang lain?

Perjumpaan Elia dengan janda miskin di Sarfat memberi kita oase, sekaligus ja-waban tentang bagaimana orang beriman ti-dak boleh kehilangan semangat bela ra-sa, meski hidupnya sendiri terbatas dan kesusahan. Janda itu hanya memiliki se-dikit sekali persediaan makanan, untuk di-ri-nya dan untuk anaknya. Secara me-mi-lukan kesulitan janda ini terungkap, ia akan mati setelah bahan makanannya habis. Itu adalah persediaan makanannya yang terakhir.

Baca Juga:  Renungan Harian 20 November 2024 “Waspadai Iri Hati”

Janda di Sarfat adalah simbol pribadi yang berani mengandalkan janji Tuhan, dengan segala risiko yang ada di ha-dapan-nya. Kata siapa orang miskin tidak bisa menjadi garam dan terang dunia? Kata siapa segala kemiskinan membatasi diri kita untuk memperhatikan nasib orang lain? Janda di Sarfat buktinya. Pengorbanan dan imannya, diganjar dengan mukjizat yang luar biasa, di mana akhirnya ia sendiri dan anaknya dipelihara dan dijaga oleh Allah di masa kelaparan.

Rabu, 10 Juni 2020

1Raj 18:20-39; Mzm 16:1-2a.4.5.8.11; Mat 5:17-19

RAJA Ahab tidak mau mendengarkan peringatan Elia untuk bertobat. Ia semakin keras kepala dan melawan Allah. Izebel, istri Ahab, bahkan membunuh nabi-nabi utusan Allah. Raja Ahab lebih percaya pada nabi-nabi Baal dan nabi-nabi Asyera. Maka, Elia meminta Raja Ahab untuk mengumpulkan nabi-nabi para berhala itu, untuk bertemu di Gunung Karmel, beserta seluruh rakyat Israel. Saat itu, rakyat merasa terombang-ambing, bahkan cenderung berpihak kepada Raja Ahab, dibandingkan kepada Elia. Akibatnya, Elia harus berjuang sendirian melawan 450 nabi palsu itu.

Di atas Gunung Karmel, terjadilah kom-petisi antara Elia dengan nabi-nabi Baal. Tentang siapakah yang akan menerima dan menjawab persembahan lembu me–re-ka, yang diletakkan di atas kayu api. Allah atau para dewa yang mereka sem-bah. Dalam pertempuran itu, jelas Allah yang mengindahkan persembahan Nabi Elia. Meski korban bakaran itu telah di-siram dengan air sekalipun, Api Tuhan menyambar habis korban bakaran itu. Sementara di lain pihak, persembahan para nabi palsu itu tidak pernah ditang-gapi. Karena dewa para bangsa asing itu sesungguhnya tidak ada. Melihat ke-besaran Tuhan itu, seluruh rakyat akhirnya mengakui bahwa Tuhanlah Allah.

Kesetiaan pada Allah juga diungkapkan dalam Mazmur. Pemazmur bertekad untuk tidak menyebut dan menyembah allah-allah lain, yang disembah oleh para bangsa. Sama seperti seluruh rakyat di Gunung Karmel, si pemazmur mengakui, bahwa Tuhan-lah Allah. Pemazmur mengalami, bagaimana Allah menjaga dan menjamin kehidupannya.

Baca Juga:  Renungan Harian 21 November 2024 “Yesus Menangis”

Kamis, 11 Juni 2020

Pw St. Barnabas. Kis. 11:21b-26; 13:1-3; Mzm. 98:2-3ab,3c-4,5-6; Mat. 10:7-13

DALAM Kisah Para Rasul, Barnabas digambarkan penuh dengan Roh Kudus dan iman. Para Rasul mengutusnya pergi ke Antiokhia, karena jemaat di tempat itu sedang berkembang. Semangat positif Bar-nabas ternyata mempengaruhi jemaat di Antiokhia. Barnabas melihat kasih ka-ru-nia Allah dalam jemaat di tempat itu. Pe-ngalaman itu meninggalkan sukacita da-lam dirinya.

Seperti magnet di tengah sekumpulan besi, kehadiran Barnabas membuat banyak orang menjadi percaya pada Tuhan. Bar-nabas menyadari, ia tidak bisa bekerja melayani seorang diri. Maka, ia mencari Paulus, untuk bersama-sama mewartakan Firman Tuhan di Antiokhia dan tinggal di sana selama setahun.

Dalam diri Barnabas, kita bisa melihat pribadi yang mengutamakan kerja sama da-lam pelayanan, daripada berjuang seorang diri. Antiokhia menjadi tempat istimewa bagi pelayanan dua, soko guru jemaat ini. Pelayanan mereka di tempat itu berbuah luar biasa. Di Antiokhia-lah, murid-murid yang telah percaya pada Yesus, disebut Kristen. Di tempat ini juga Paulus dan Barnabas menerima perutusan dari Roh Kudus, untuk mewartakan kabar suka cita Injil kepada bangsa-bangsa. Barnabas menjalankan apa yang diperintahkan Yesus kepada para murid-Nya.

Jumat, 12 Juni 2020

1Raj. 19:9a,11-16; Mzm. 27:7-8a,8b-9abc, 13-14; Mat. 5:27-32

KEKALAHAN nabi-nabi Baal telah mem–buat murka Izebel, sehingga ia ber-maksud melenyapkan Elia. Ancaman Ize-bel membuat Elia melarikan diri ke Gunung Horeb. Di sana, ia mengungkapkan per-gulatannya, karena nyawanya terancam. Terjadilah kejadian-kejadian ajaib seperti angin besar, gempa, dan api. Setelah peristiwa alam yang ajaib dan menakutkan itu datanglah angin sepoi-sepoi basah, yang menyejukkan dan Elia merasakan ke-ha-diran Allah di dalamnya.

Elia yang merasa putus asa dalam per-utusannya, dikuatkan oleh Allah. Tadi-nya, Elia merasa sudah hampir putus asa. Ia menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya, tetapi sekarang apa yang ia dapat, selain nyawanya berada di ujung tanduk. Di Gunung Horeb dia menerima kembali per-utusannya, salah satunya adalah meng-urapi Elisa, untuk bertugas sebagai peng-gantinya, menjadi perantara antara Allah dengan umat-Nya.

Baca Juga:  Renungan Harian 22 November 2024 “Suara Merdu vs Sumbang”

Dari pengalaman rohani Elia, kita belajar, bahwa terkadang Allah tidak ditemukan dalam hal-hal yang hebat, bahkan me-nakutkan. Allah bisa ditemukan dan dira-sa-kan, dalam hal-hal yang sederhana. Itu-lah yang dinyatakan dalam Mazmur tang-gapan, sebuah kerinduan untuk melihat wajah Allah. Iman si pemazmur membawanya untuk melihat kebaikan-ke-baikan Tuhan di dalam hidupnya.

Sabtu, 13 Juni 2020

Pw St. Antonius dari Padua. 1Raj. 19:19-21; Mzm. 16:1-2a,5,7-8,9-10; Mat. 5:33-37

DALAM Bacaan Pertama terjadi suksesi kenabian antara Elia kepada Elisa, putra Safat. Ketika itu Elisa sedang bekerja mem-bajak ladangnya dengan 12 lembu. Jumlah lembu milik Elisa, mencerminkan ia berasal dari keluarga yang cukup mapan. Kala itu, Elia melakukan tindakan simbolis, yaitu melemparkan jubahnya. Elisa segera menangkap maksud panggilannya, dan ber-gegas meninggalkan segala ternaknya dan hendak berpamitan dulu kepada orang tuanya.

Jawaban positif Elisa terhadap panggilan Tuhan, untuk menjadi nabi, diungkapkan dengan luar biasa. Ia menyembelih seluruh lembunya, dan membakarnya dengan kayu bajaknya. Tindakan ini mengungkapkan, Elisa meninggalkan segala-galanya, dan telah siap menjalani tugas panggilannya itu. Apa yang dilakukan Elia dan Elisa menjadi inspirasi luar biasa untuk kita. Dari Elia, kita belajar, bahwa pelayanan yang kita lakukan, bukanlah milik kita seorang, tetapi pada saatnya nanti, harus ada orang yang menggantikan kita. Perlu keikhlasan dan hati yang lapang, ketika tugas kita harus digantikan orang lain. Sementara dari Elisa, kita belajar untuk berani meninggalkan segalanya demi Tu-han, termasuk segala yang kita miliki.

Sikap tegas dalam menjawab panggilan Tuhan adalah salah satu syarat sebagai mu-rid Tuhan. Seorang murid harus mampu mem–bedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Ketegasan seorang beriman dalam berkata-kata dan bertingkah laku tidak perlu dibumbui sumpah yang biasa dilakukan oleh kebanyakan orang.

HIDUP NO.23, 7 Juni 2020

ARTIKEL SEBELUMNYA
ARTIKEL SELANJUTNYA

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles