web page hit counter
Jumat, 22 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Beato Leo William Miller FSC (1944 – 1982) : Si Misionaris Tukang Kayu

Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Menjadi misionaris di Guatemala membuat dirinya harus bekerja keras sendirian. Dengan keterampilan pertukangan yang ia kuasai, ia mewartakan Kabar Gembira.

Señor maestro, El señor maestro vino! ‘Pak guru, pak guru sudah datang’. Teriakan itu datang dari
seorang murid Sekolah De La Salle di Huehuetenango, Guatemala. Teriakan kegembiraan itu mengakhiri puasa panjang 15 tahun berdirinya sekolah itu tanpa guru.

Selama tidak ada guru, para siswa belajar mandiri. Ada yang memilih ke hutan untuk berburu dan menunggangi kuda. Ada juga yang ke sekolah hanya untuk bermain sepak bola. Itulah sekolah menurut anak-anak Indian di Huehuetenango.

Sebagai minoritas di Guatemala, suku Indian sangat mengharapkan dunia pendidikan yang bisa mengubah nasib mereka. Inilah alasan, anak-anak saban hari tak pernah lelah menunggu guru baru masuk kelas. Tak heran, kehadiran Bruder Leo William Miller menjadi berita luar biasa. Br. Leo menjadikan keterampilannya di bidang pertukangan, ia memulai karya misi. Ia mengajar keterampilan ini, sambil mewartakan iman.

Tukang Kayu
Br. Leo lahir pada 21 September 1944 dan dianugerahi nama James Alfred Miller oleh kedua orangtuanya. Menginjak masa remaja, James memasuki Masa Juniorat Kongregasi Bruder De La
Salle (Fratres Scholarum Christianarum/FSC) di Missouri, Amerika Serikat bulan September 1959 dan selanjutnya diterima sebagai postulan pada tahun 1962. Saat mulai menjalani novisiatnya, pada bulan Agustus 1962, James mengganti namanya menjadi “Leo William”.

Setelah mengikrarkan kaul sementara, Br. Leo ditugaskan mengajar di Sekolah Menengah Atas Cretin-Derham, Minnesota. Di tempat ini, ia mengajar pertanian sekaligus menjadi pelatih
sepak bola. Pekerjaan ini ia lakoni dengan penuh kegembiraan hingga ia dapat mengikrarkan kaul kekalnya pada Agustus 1969.

Titik ini tentu menjadi babak baru bagi Br. Leo. Ia kemudian mendapat tugas baru sebagai guru di sebuah sekolah di Kota Bluefields, Nikaragua hingga tahun 1974. Kongragasi FSC memindahkannya ke Puerto Cabezas.

Di tempat yang baru, Br. Leo mendapat tanggung jawab yang cukup berat. Ia diminta membangun dua sekolah sekaligus, satu berupa sekolah kesenian dan yang lain sekolah pertukangan. Setelah dua gedung selesai dibangun dalam waktu satu tahun, ia kemudian diangkat menjadi kepala sekolah di dua lembaga itu.

Di bawah asuhannya, sekolah pertukangan menjadi sangat maju. Mula-mula hanya 200 siswa di tahun pertama, di tahun ketiga menjadi 800 siswa. Br. Leo memasuki dunia pendidikan dengan metode pembelajaran motorik. Ia fokus pada keterampilan murid dengan mengajarkan mereka teknik pertukangan. Alhasil para murid lulusan sekolah ini pun dikenal sebagai lulusan yang bermutu. Bagi dia sendiri, perkembangan siswa
yang demikian membuat tarekat semakin percaya kepadanya.

Di Tengah Konflik
Tahun 1978, Kongregasi FSC menyerahkan tugas yang lebih berat kepadanya. Br. Leo diminta memulai membangun sepuluh sekolah di daerah
pedesaan. Sayang di tahun pertama, saat ia baru berhasil mendirikan empat sekolah situasi memanas di Nikaragua. Hal ini menyusul keberhasilan Frente Sandinista de Liberación Nacional (FSLN) menggulingkan diktator Anastasio Somoza pada Juli 1979.

Pencaplokan kekuasaan ini disertai pertempuran yang sengit di Ibu Kota Managua, di mana Somoza terpaksa kabur mendarat di pangkalan Angkatan Udara AS, dekat Miami, Florida. Perebutan kekuasaan ini menyusul perang sipil yang terjadi selama dua bulan antara milisi Sandinista dan pasukan pemerintah.

Dengan runtuhnya kekuasaan klan Somoza, Nikaragua berada dalam ketidakpastian pemerintahan. Hal inilah yang secara langsung berimbas pada keberadaan Br. Leo di Nikaragua.
Selama membangun beberapa sekolah, ia mengerjakannya dengan berusaha bekerjasama dengan pemerintah Somoza yang di dukung Amerika Serikat. Hubungan ini terjalin dengan harapan pembangunan sekolah akan dapat cepat
selesai

Br. Leo tidak menyangka situasi akan berubah drastis di negara itu. Ia juga tidak menyangka, kerjasamanya dengan pemerintah sebelumnya akan berimbas pada keamannya di Nikaragua. Apalagi, ia seorang berkewarganegaraan Amerika
Serikat.

Hal ini tak lepas dari amatan para pendukung Sandinista yang rata-rata umat Katolik. Mereka menganggap hubungan Br. Leo dengan pemerintah sebelumnya sebagai sesuatu yang berlebihan. Situasi selanjutnya menjadi semakin tidak menentu saat ia juga menerima berbagai
ancaman dan bahkan dimasukan oleh pendukung Sandinista dalam daftar orang yang harus “dibereskan”.

Demi menjaga situasi Gereja Nikaragua tetap aman, Br. Leo diminta pulang ke Amerika Serikat. Ia kemudian kembali mengajar di Sekolah Cretin antara tahun 1979-1981.

Bruder Pembangunan
Seorang konfraternya, Br. Fransis Carr mengatakan meski Br. Leo bahagia dengan pekerjaannya tetapi hati kecilnya selalu ingin kembali ke Nikaragua. Ia ingin membangun negeri ini dengan keterampilannya. “Ia selalu ingin ke
Amerika Latin, dan ingin berkarya di tempat yang paling susah,” sebut Br. Fransis.

Doanya sepertinya terkabul, di tahun ketiganya di Sekolah Cretin, ia diutus ke Guatemala dan tiba di sana pada Januari 1981. Di sana ia menjadi pengajar bagi anak-anak suku Indian di Sekolah De La Salle, Huehuetenango, di sebelah barat Guatemala

Di tempat baru ini, Br. Leo langsung “tancap gas”. Ia memberikan dirinya untuk mengabdi di tengah masyarakat Indian. Ia mengajar teknik pertukangan di sekolah ini dan seketika dikenal karena kepiawaiannya. Ia pandai membangun rumah, kursi, meja, lemari, bahkan kandang ternak. Kehadirannya membawa harapan baru bagi masyarakat. Maklum, Huehuetenango termasuk daerah “pinggir” sehingga masyarakat Indian hanya mendapat sedikit perhatian dari pemerintah Guatemala.

Keterampilan Br. Leo sebenarnya didapatkan dari bapaknya yang juga seorang tukang di Stevens Point, Wisconsin. Ia juga sejak kecil sudah terbiasa bekerja di peternakan bersama dua adiknya Bill dan Ralph. Ia terbiasa bekerja fisik karena faktor kesehatan. Saat dilahirkan, Leo hanya memiliki berat sangat ringan dengan tingginya tak sesuai bayi pada umumnya. Penyakit langka membuat ia harus terus berkeringat agar
sirkulasi darah terus lancar.

Terbukti, saat akhirnya diutus ke Huehuetenango, Br. Leo tidak kaget lagi. Sekolah De La Salle yang sudah dibangun sejak tahun 1970-an hanya menyisahkan bangunan tanpa pengajar. Situasi perang pernah hancur. Selain itu, bencana alam
tahun 1976 melukai 74 ribu jiwa dan 20 ribu jiwa yang meninggal.

Situasi ini membuat beberapa tarekat atau ordo mengurungkan niat membuka misi di tempat ini. Memang ada beberapa tarekat imam dan suster yang masih tetap bertahan, tetapi misi mereka tidak efektif. Kadang-kadang mereka harus menjadi misionaris nomaden “berpindah-pindah”
tempat melayani.

Kematian Terindah
Sayang, ketekunan dalam karya harus merenggut nyawa Br. Leo. Karena kedekatannya dengan masyarakat suku Indian, teristimewa para Apache,
membuat ia kerap dibenturkan antara kepentingan Gereja dan pemerintah. Hal ini yang menyebabkan dirinya menjadi target “pemerintah”. Ia meninggal setelah ditembak di kepala oleh pemerintah. Ia meninggal sebagai martir Kristus. Banyak orang menyebut kematian Br. Leo sebagai kematian terindah. Ini karena dirinya meninggal dalam pekerjaan sebagai bruder, sekaligus pekerja di kebun anggurnya.

Proses beatifikasinya dibuka oleh Keuskupan Huehuetenango pada 2 September 2009 yang saat itu dipimpin Mgr. Rodolfo Francisco Bobadilla Mata, CM. Gelar venerabilis didapatkan Br. Leo pada akhir 2018. Setahun kemudian pada 7 Desember 2019, ia dibeatifikasi di Gereja Katedral Huehuetenango.

Yusti H. Wuarmanuk/Antonius E. Sugiyanto

HIDUP NO.06 2020, 9 Februari 2020

ARTIKEL SEBELUMNYA
ARTIKEL SELANJUTNYA

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles