web page hit counter
Jumat, 22 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Budi Hernawan Dosen Antropologi di STF Driyarkara Jakarta : Tantangan Gereja di Papua

Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Gereja-gereja di Tanah Papua (tidak hanya Katolik!) kiranya sudah terbiasa menghadapi berbagai macam tantangan.

Empat pemuda masuk dan duduk di bangku belakang Gereja Gembala Baik Paroki Abepura, Jayapura, Papua, Minggu, 1/12. Mereka menghadiri Misa seperti umat lainnya. Yang menarik perhatian barangkali karena mereka memakai koteka, noken anggrek, dan membawa tiga bendera Bintang Kejora. Tak lama kemudian, polisi dan intel mulai berdatangan. Sebagian berjaga-jaga di luar dan sebagian masuk ke dalam gereja saat perayaan Ekaristi tengah berlangsung. Polisi hendak menangkap keempat pemuda itu, seandainya tidak dicegah sejumlah umat, yang meminta mereka keluar dari gereja dan menunggu sampai Misa selesai.

Tak sampai lagu penutup selesai dinyanyikan, dipimpin Kapolsek Abepura, polisi masuk dan menangkap keempat pemuda tersebut. Polisi membawa mereka ke Kantor Polres Abepura. Penangkapan di dalam gereja saat Misa berlangsung tentu tidak wajar, entah itu terjadi di Jayapura atau di Jakarta.

Baca Juga:  Buah-buah Sinode III Keuskupan Sibolga Harus Menjadi Milik Seluruh Umat

Kejadian tidak selesai di situ. Pastor Paroki Abepura, Pater James Kossay, kemudian dipanggil polisi untuk dimintai keterangan atas peristiwa tersebut. Penangkapan itu tidak tunggal. Ternyata pada hari yang sama, ada lebih dari 100 orang muda Papua yang ditangkap polisi, karena hendak merayakan hari nasional Papua. Pola tindakan sedemikian bukanlah hal baru di Tanah Papua. Namun, insiden sedemikian juga bukan satu-satunya tantangan kemanusiaan yang ada di Tanah Papua.

Pertanyaan kritis yang sering kita dengar : Gereja buat apa? Gereja-gereja di Tanah Papua (tidak hanya Katolik!) kiranya sudah terbiasa menghadapi berbagai macam tantangan kemanusiaan, dari zaman Trikora hingga zaman now. Dewasa ini, di kalangan Gereja-Gereja di Tanah Papua, telah terbentuk Sekretariat Keadilan dan Perdamaian. Langkah ini terinspirasi dari langkah Keuskupan Jayapura dan Persaudaraan Fransiskan di Tanah Papua, yang merintis lembaga tersebut pada 1998. Kini, lembaga tersebut bernama Sekretariat Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Fransiskan Papua, yang dipimpin oleh Yuliana Langowuyo.

Baca Juga:  Keuskupan Sibolga Lima Tahun ke Depan

Selain empat keuskupan lain di Tanah Papua, langkah tersebut telah mendorong Gereja Kristen Injili di Tanah Papua, Gereja Kemah Injili Papua, dan Gereja Baptis untuk membentuk lembaga serupa dengan terus mengembangkan semangat kerja sama ekumenis. Lembaga-lembaga ini tidak hanya melakukan animasi ke internal umat masing-masing, tetapi turun ke lapangan untuk mengumpulkan fakta-fakta kejadian. Mereka datang ke kantor polisi dan pengadilan, untuk memberikan bantuan hukum kepada masyarakat yang membutuhkan.

SKP Keuskupan Agung Merauke, yang kini dipimpin oleh Pater Anselmus Amo, MSC misalnya, banyak bekerja dengan lembaga advokasi lahan dan hutan. Hal ini untuk mengawal gerusan industri ekstraktif di Papua Selatan. Hingga 2017, tercatat 87 perusahaan telah mengantongi izin operasi di atas tanah seluas 21.000 km persegi atau 31 kali luas DKI Jakarta.

SKP Agats-Asmat juga amat disibukkan dengan berbagai bencana kesehatan di wilayah rawa-rawa Asmat, mulai dari gizi buruk, kerdil, hingga wabah. Demikian pula SKP Timika yang dipimpin Rudolf Kambayong, tak henti-hentinya menghadapi berbagai tantangan mulai dari bahaya HIV/AIDS, tawuran antar warga – yang oleh media nasional disebut ‘perang suku’ – hingga masalah pelik industri tambang emas Freeport.

Baca Juga:  Buah-buah Sinode III Keuskupan Sibolga Harus Menjadi Milik Seluruh Umat

Jaringan SKP Gereja Katolik tidak pernah berjalan sendirian. Mereka selalu bergerak bersama teman kerja ekumenis mereka KPKC dari Sinode GKI, Kingmi, dan Baptis. Langkah advokasi bersama sedemikian sudah bersifat alamiah dan spontan. Juga dengan kalangan lembaga-lembaga HAM di dalam dan di luar Tanah Papua. Mereka sangat sadar, bahwa tantangan-tantangan kemanusiaan yang digeluti menembus sekat-sekat agama, ideologi, etnisitas yang biasa membatasi kita. Hanya dengan kerja bersamalah tantangan tersebut dapat dihadapi, meski tidak selalu bisa diselesaikan.

Budi Hernawan
Dosen Antropologi di STF Driyarkara Jakarta

HIDUP NO.52 2019, 29 Desember 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles