HIDUPKATOLIK.com – Tanpa manjadi saingan komunitas yang sudah ada, Forges memilih menjadi “orang di balik layar” demi mewujudkan kebaikan bersama.
Ketika DI masa-masa Pemilihan Umum atau menjelang Pemilu Kepala Daerah Serentak, banyak orang mendadak senang berbicara tentang politik. Tetapi untuk sebagian orang, mereka enggan pula berbincang mengenai politik.
Politik memang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Maka, karena alasan ini, Yustinus Prastowo tergerak membuat suatu wadah untuk berdiskusi soal politik. Bersama beberapa teman, pria yang akrab disapa Pras ini membuat Forum Gaudium et Spes (Forges).
Pengambilan nama kelompok diskusi dari nama salah satu Dokumen Konsili Vatikan II ini bukan tanpa alasan. Gaudium et Spes berarti ‘sukacita dan harapan’, dokumen ini berbicara tentang peran awam dalam Gereja dan dunia moderen. Pras berharap, forum ini dapat membawa sukacita dan harapan terhadap dunia.
Menjadi Penolong
Selain disemangati angin perubahan Konsili Vatikan II, komunitas awam Katolik ini berbekal Ajaran Sosial Gereja (ASG). Aktivis Forges tergerak bertindak dan terlibat nyata di ranah sosial, budaya dan politik, demi ikut mewujudkan kebaikan bersama yang merupakan anugerah Tuhan. Setiap orang berupaya mewujudkan keadilan sosial, kerukunan, kedamaian, dan kesejahteraan segenap rakyat Indonesia.
Forges diinisiasi pada tanggal 15 Agustus 2017. Mereka yang terlibat dalam forum awal bertemu pertama kali dalam acara bedah buku bersama Periplus. Forges, sejak awal, konsisten pada panggilannya sebagai komunitas. Pras menuturkan, Forges bukan sebagai kelompok kategorial. “Kami juga tidak mengambil alih apa yang sudah ada,” jelasnya.
Pras mencontohkan, untuk kaum muda wadahnya sudah ada yaitu Orang Muda Katolik (OMK), Pemuda Katolik, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), dan sebagainya. Untuk wanita Katolik, wadahnya WKRI, kemudian untuk ormas, ada ISKA, Vox Point, dan lainnya. “Nah kami, memilih sebagai katalisator, membantu apa yang tidak tersambung. Atau mungkin ada sesuatu yang tidak berjalan maka dibantu,” ungkap Pras.
Maka praktis yang dilakukan Forges mengambil isu-isu lintas sektor, lintas institusi, lintas bidang, politik, sosial kemasyarakatan, ekonomi, dan agama. Salah satu contohnya, saat seksi kepemudaan dan bina iman tidak berjalan baik, di titik itu, Forges berusaha membantu menyiapkan kurikulum yang tepat, pendekatan yang baik dan bahan-bahan yang lebih kontekstual.
Tidak hanya itu, Forges juga membantu kongregasi atau tarekat. Misalnya saja, saat ada aset milik tarekat atau kongregasi, Forges membantu agar aset itu dapat berdayaguna. “Contohnya, ada susteran di Jakarta yang sudah berdiri lama kemudian sekolah yang dimiliki sudah tidak terlalu laku. Di sini kami mencari cara agar mereka survive,” ujarnya.
Dalam kasus semacam itu, Forges membantu dengan mencarikan atau mempertemukan dengan investor. Selain itu, Forges membantu mencari kemungkinan-kemungkinan lain agar aset dapat digunakan untuk pelayanan lain.
Selain diskusi-diskusi publik yang sudah diselenggarakan, tambah Pras, bulan Agustus lalu di Depok, Forges membantu dalam upaya pengembangan sumber daya manusia (SDM). Sedangkan di bekasi, mereka membuat diskusi-diskusi tentang keagamaan. Saat menjelang pemilu, Forges juga berkerja sama dengan beberapa paroki untuk edukasi soal pemilu.
Menurut Pras, cara berpikir Forges mirip seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berfungsi manakala kepolisian dan kejaksaan tidak berjalan efektif memberantas korupsi. Forges membantu di lintas sektor dalam Gereja untuk membantu semakin mengembangkan pelayanan yang selama ini belum optimal atau yang memerlukan bantuan. “Pertanyaannya, kenapa kami ada, karena yang sudah ada itu kurang optimal maka kami membantu mungkin juga melebur dalam fungsi-fungsi yang sudah ada,” ujar Pras.
Forges berusaha mencari solusi dari setiap persoalan yang dihadapi Gereja. Forges berusaha membuat apa yang sudah ada itu secure. “Kami bukan ancaman, kami membantu. Kalau perlu, kami tidak usah muncul,” ungkap Pras.
Melibatkan Dunia
Bukan semata-mata sekadar membantu, tetapi Forges mempunyai dasar keprihatinan, antara lain, tuaian banyak namun pekerja sedikit. Kemudian mengenai relevansi dan signifikansi kehadiran Gereja. Menurut Pras, Kekatolikan terasa hadir jika keluar dari tembok-tembok Gereja. Pras melihat, adanya nostalgia dan memori di kalangan umat tentang karya agung dalam sejarah. “Dirasa, dulu pendidikan dalam institusi Katolik termasuk unggul tetapi sekarang belum tentu,” ujarnya.
Hal-hal seperti ini yang akhirnya mendorong Forges untuk menolong. Sebagai komunitas, Forges memiliki spiritualitas yang diemban yakni “Sabda harus menjadi daging”.
Dalam refleksinya, Pras mengatakan, Tuhan saja menjadi manusia untuk menyelamatkan dunia. Hal ini berarti, dunia adalah sarana keselamatan bukan tempat kutukan atau tempat yang jelek. “Melibatkan dunia berarti ikut mengupayakan keselamatan itu prinsip kami. Kami harus masuk dalam bidang-bidang yang sekuler yang digeluti dunia,” ujar Pras.
Dalam Forges ada empat bagian yang difokuskan yakni ekonomi kemasyarakatan, pemberdayaan komunitas, kepemudaan dan budaya lalu sosial politik. Namun, Pras mengakui, itu semua belum bisa dieksekusi seluruhnya. Kendala yang terjadi, Pras melihatnya sama dengan yang terjadi dalam komunitas pada umumnya, yaitu keterbatasan SDM, financial, dan konsistensi anggota. “Sejauh ini, tantangan yang dialami Forges adalah mengajak orang muda turut berpartisipasi, tentu tidak mudah,” ujar Pras.
Forges berjalan via virtual, dalam arti, tidak memiliki tempat khusus untuk bertemu. Setiap orang yang terlibat dalam Forges hanya berinteraksi dalam grup whatsapp. Pras menuturkan, Forges bahkan terkadang menyewa tempat untuk rapat. “Sekarang ini Forges sedang di tahap pemetaan. Kami berupaya melakukan apa yang bisa dilakukan, dan mencari orang yang bisa seiring dan sejalan dengan misi. Mereka juga harus punya komitmen,” tegasnya.
Membawa Perubahan
Jalan masih panjang untuk Forges berkiprah. Pras tidak muluk-muluk. Ia berharap, Forges tetap bisa berkontribusi. Forges akan menjadi wadah kaderisasi, orang-orang yang memang ingin jadi kader, bertumbuh berkembang menjadi agen-agen perubahan. “Menjadi garam dan terang itu tidak harus berpengaruh, tetapi setidaknya kami membawa perubahan dan membawa hal yang baik meskipun itu kecil. Tapi kami percaya dari hal yang kecil itu bisa berdampak besar,” ujarnya.
Di sisi lain, bagi Pras, membantu itu menyenangkan. Bisa membuat orang lain tertolong adalah sesuatu yang memuaskan. “Mudah-mudahan semakin banyak orang terbantu, tertolong dan yang jelas semakin banyak orang mau membantu kita,” ujarnya.
Forges sendiri tidak boleh terlalu serius. Pras menuturkan, kalau terlalu serius, nanti justru tidak gembira, padahal, semangatnya Gaudium et Spes justru ingin membawa kegembiraan itu.
Karina Chrisyantia
HIDUP NO.44 2019, 3 November 2019