HIDUPKATOLIK.com – Setiap hari kita mengucapkan doa Bapa Kami, entah dalam Ekaristi, atau pun di luar Ekaristi, doa yang diajarkan oleh Yesus sendiri kepada murid-murid-Nya. Dalam doa itu, kita pun mengucapkan kata-kata “Datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu”. Apakah arti kata-kata ini dan apakah ada pengaruhnya dalam hidup kita? Tanpa sadar kita sering mendaraskan doa itu sekadar hafalan yang diucapkan oleh bibir kita.
Dalam buku kecil ini, Wendelin Kӧster, sang penulis mengisahkan fragmen-fragmen kehidupan Beato Rupert Mayer, dalam kerangka “Latihan Rohani” St. Ignatius. Singkatnya, Rupert Mayer adalah orang yang menghayati “Latihan Rohani” St. Ignatius, sehingga hidupnya terbentuk olehnya. Kecintaan pada tanah airnya (Jerman) dan keberaniannya luar biasa, terutama dalam menghadapi Hitler yang menghancurkan Jerman.
Melalui khotbah-khotbahnya di depan umum, Rupert Mayer mengkritik keras kejahatan Hitler, sehingga berulang kali dia ditahan dan fisiknya menjadi sangat lemah. Ketika Perang Dunia II selesai, dan Jerman dikalahkan oleh sekutu 1945, Rupert Mayer dibebaskan dari tahanannya yang terakhir di Biara Ettal, tetapi tidak sampai enam bulan dia pun meninggal.
Bagaimana seseorang bisa dibentuk oleh “Latihan Rohani” dan mampu melakukan “kehendak Allah”, itulah rupanya persoalan yang ingin dikemukakan oleh penulis buku ini.
Bagaimana seseorang bisa mengetahui “kehendak Allah” rupanya tidak bisa dijelaskan dengan mudah, kecuali dengan menjalankan sendiri “Latihan-Rohani”.
Bagi yang sudah akrab dengan “Latihan Rohani” St. Ignatius, buku ini memberi ilustrasi yang sangat berbeda dengan gambaran St. Ignatius yang hidup di zaman kerajaan, dengan perumpamaan ksatria, bersemangat mengabdi raja, naik kuda dan mengangkat panji-panji perang, melawan musuh-musuh yakni pasukan “setan”.
Meski gambaran peperangan melawan “setan” tidak ada lagi, tetapi semangat pertobatan dan perjuangan membela “Kerajaan Allah” itu masih ingin diperlihatkan oleh penulis, dengan gambaran zaman sekarang: mobil yang sudah diperbaiki (dari bengkel), sistem navigasi, motor penggerak (semangat Rupert Mayer), kebisingan pabrik (gambaran dunia) dan sebagainya.
Sayang bahwa perumpamaan-perumpamaan ini masih agak jauh juga dari gambaran situasi kita di Indonesia. Akan tetapi maksud penulis mengajak orang bersedia untuk “dipanggil” sebagai politikus, – bukan untuk memperebutkan kekuasaan di dunia, melainkan politikus yang berjuang untuk Kerajaan Allah-, masih akan tetap aktual.
Buku kecil ini kiranya bisa menjadi inspirasi untuk pembelajaran lebih lanjut dalam mengkonkretkan ‘Latihan Rohani’ St. Ignatius dan “panggilan” untuk bergabung dalam perjuangan-Nya untuk zaman sekarang.
Kita sudah sering mengucapkan doa “Bapa Kami”, kini saatnya untuk beranjak ikut serta memperjuangkan “Kerajaan Allah” itu di dunia dengan mendalami apa yang menjadi “kehendak-Nya” melalui “Latihan Rohani”.
Judul : Politik Kerajaan Allah
Pengarang : Wendelin Kӧster
Penerbit : PT Kanisius
Tahun terbit : 2019
Jumlah hlm : 127
A. Sudiarja SJ
HIDUP NO.43 2019, 27 Oktober 2019