HIDUPKATOLIK.com – Awalnya ia mengandalkan ajimat warisan keluarga. Setelah mengenal Kristus, ia menjadi katekis dan mempertobatkan teman-temannya di istana.
Dalam lawatannya ke Uganda November 2015, Paus Fransiskus menyinggung beberapa martir yang telah menyuburkan iman di negara itu. Lebih dari sejuta umat yang memadati tempat suci di Namugongo, untuk mengikuti Misa kudus yang dipimpin Paus. Paus meminta umat Katolik Uganda untuk menghormati para martir Uganda yang dibunuh di masa lalu. “Inilah darah martir kalian. Mereka adalah pahlawan Uganda,” kata Paus.
Paus melanjutkan, bahwa Uganda, menjadi saksi bagaimana kebencian terhadap iman dibalas dengan kasih. “Kita harus meneladani mereka, agar darah para martir menyuburkan tempat ini,” ujar Paus seperti dilansir CNA, November 2015.
Kota Martir
Satu dari sekian martir yang gugur di Uganda itu terdapat seorang juru tulis, pelayan kerajaan, Santo Achilles Kiwanuka. Achilles sesuai arti namanya berarti “penulis”. Nama ini diberikan karena keluarganya berasal dari Suku Lugala, Provinsi Ssingo yang terkenal soal kebolehan dalam menulis. Ayahnya, Gartimus, pernah menjadi wakil kepala daerah (suku) selama beberapa periode dan menjadi juru tulis di wilayahnya.
Setelah kematian sang ayah, sesuai tradisi Lugala, jabatan itu harus dilanjutkan oleh keturunannya. Di antara lima anak Gartimus, Achilleslah yang dianggap sebagai anak yang paling pantas untuk jabatan ini. Ketika memasuki usia 15 tahun, Achilles mendapat kedudukan sebagai juru tulis dari Lugala.
Kedudukan ini dilaksanakan Achilles dengan penuh tanggung jawab. Kendati umur masih belia, tetapi Achilles ternyata pribadi yang pandai. Ia sangat rapi dalam mengurus beragam administrasi. Alhasil, seketika penulisan-penulisan catatan di Lugala menjadi tertulis rapi. Tulisan Achilles terlihat rapi. Ia selalu teliti saat mencatat setiap kejadian di daerahnya.
Kemampuan ini lalu membuat Raja Mwanga II terpesona pada kehebatannya. Segera Achilles dipanggil dan menjadi juru tulis kerajaan. Ia diutus dari Lugala bersama seorang temannya, Ambrose Kibuuka.
Achilles pun resmi menjadi pelayan raja. Namun, alangkah terkejutnya Achilles. Pekerjaan yang dihadapinya benar-benar jauh dari apa yang ia bayangkan sebelumnya. Ketika sampai di kerajaan, tugasnya ternyata bukan sebagai juru tulis. Achilles malah diberi tugas membersihkan balai pertemuan agung. Pada saat tertentu, ia kadang-kadang diberi tugas menjadi utusan raja.
Beberapa kali, Achilles diminta untuk membuat surat yang ditujukan ke istana lain. Tugas ini didapatkan Achilles pada momen-momen penting, misalnya saat pertemuan antar kepala suku. Tidak semua pelayan dapat melakukan tugas ini. Berkat ketekunannya, Achilles akhirnya mendapat kepercayaan ini.
Achilles benar-benar yakin bahwa tugas ini mampu dilaksanakan karena kekuatan sebuah ajimat yang dipegangnya. Ajimat ini merupakan warisan turun-temurun dari sukunya. Ajimat ini menjadi benda keberuntungan baginya. Setiap kali ada masalah, Achilles selalu mengeluarkan ajimat itu dan mendoakan lalu mencium ajimat itu. Ajaib, apa yang diinginkannya segera terkabul.
Perangainya yang sederhana tetapi bersahaja, membuat Raja Mwanga sangat terkesan. Seketika, ia menjadi orang penting di kerajaan, apalagi raja mengetahui bahwa Achilles seorang yang masih menganut agama tradisional.
Dibaptis Katolik
Pada tahun kedua Achilles bekerja di istana, ia juga berjumpa dengan beberapa pelayan yang telah mulai mengenal agama Katolik. Mereka mengenal Kekatolikan dari para misionaris The Society of Missionaries of Africa (White Fathers) yang masuk ke Uganda beberapa puluh tahun sebelumnya, di masa pemerintahan Raja Mutesa.
Sambutan terhadap agama ini berbeda antara Raja Mutesa dan penerusnya Raja Mwanga II. Alih-alih menerima dengan tangan terbuka Kekatolikkan seperti ayahnya, Raja Mwanga II justru sangat membenci para misionaris.
Raja Mwanga II menganggap, bahwa kehadiran misionaris kulit putih itu sebagai usaha orang kulit putih untuk menguasai Uganda. Lagi, ia tak ingin menjadi Kristen karena ingin mempertahankan gaya hidupnya yaitu poligami. Ia juga tak ingin menjadi Muslim karena tidak mau disunat. Ia tetap setia kepada ajaran tradisional yang dianutnya.
Kecemasan Raja Mwanga II pada pengaruh orang kulit putih memuncak ketika mengetahui agama Kristen sudah meresap masuk dalam kehidupan istana. Seorang pelayan senior raja, Yusufu Mukasa Balikudembe, seorang yang sangat terbuka kepada kehidupan Kristen. Sayang, ia dibunuh dengan cara dipenggal kepalanya pada 15 November 1885. Ia menjadi martir Katolik pertama dari Uganda.
Sebelum kematian Yusufu, Achilles sempat belajar Katolik dari seniornya di istana itu. Bagi Achilles, kematian Yusufu adalah berkat tersendiri bagi jalan panggilannya. Yusufu, yang saat itu sudah menjadi katekis, mengetahui bahwa Achilles masih memiliki ajimat. Sebagai langkah pertama menjadi Katolik, maka ia mengambil benda pusaka itu dan membakarnya.
Menerima Kristus
Yusufu juga mengajari Achilles agama Katolik dengan memintanya menghafal doa Salam Maria dan doa-doa utama yang lain. Tak lama sebelum kematian Yusufu, Achilles meminta diri dibaptis dan secara diam-diam menjadi katekis awam, pengganti Yusufu. Ia mengajari anak-anak muda, pelayan istana lainnya.
Karena kepandaiannya, Achilles dengan cepat mempelajari buku katekismus dan mengajar anak-anak Doa Rosario. Bahkan, tak lama setelah itu, Achilles dapat menjalankan fungsi menjadi pengajar katekumen dengan baik.
Sementara misi rahasianya dijalankan, Raja Mwanga II juga sedang berusaha mencari tahu para penyusup di istananya. Ia memerintahkan agar menangkap semua orang Kristen di Uganda. Achilles, yang kala itu masih remaja, merasa kebijakan raja berlebihan. Banyak remaja istana termasuk St. Atanansi Bazzekuketta (†1886) dari Bukuma, (sekarang masuk Paroki Mulajje, Desa Bulemeezi, Uganda), berpikir bahwa raja mencaplok kebebasan mereka.
Sejalan dengan Atanansi, Achilles juga merasa dirinya mulai bosan dengan praktik sihir dan perdukunan yang masih dipercayai raja. Bagi Achilles, kekuatan utama bukan pada leluhur, tetapi ada sesuatu yang melampaui leluhur yaitu Tuhan. Puncaknya, Achilles mengkritik Raja Mwanga II dan mengatakan, bahwa sang raja adalah seorang yang berdosa dan perlu bertobat.
Mendapatkan kritikan pedas itu, Raja Mwanga II lalu memerintahkan agar Achilles ditangkap bersama beberapa pelayan lainnya. Ia menyuruh membunuh semuanya. Total martir yang dibunuh saat itu ada 24 orang, termasuk Achilles. Mereka ditangkap dan dibakar hidup-hidup. Saat ini, di Namugongo, tempat kemartiran itu terjadi, berdiri sebuah Basilika Martir Uganda.
Paus Benediktus XV menganugerahkan gelar venerabilis kepada martir-martir Uganda pada 29 Januari 1920. Para martir ini dibeatifikasi pada 6 Juni 1920 oleh Paus yang sama. Paus Paulus VI pada 18 Oktober 1964 menandatangani dekrit kanonisasi mereka dan mengangkat mereka menjadi santo. Gereja mengenang mereka setiap 27 Mei-3 Juni.
Yusti H. Wuarmanuk
HIDUP NO.43 2019, 27 Oktober 2019