HIDUPKATOLIK.com – Berbagai ancaman tertuju kepadanya karena berjuang membela para korban perdagangan manusia. Namun ia tetap melayani para buruh migran ini dengan sukacita.
Di sebuah rumah berlantai dua, kawasan perumahan mewah di Legenda Malaka, Batam, Kepulauan Riau (Kepri), 24 perempuan disekap. Seminggu sudah, mereka tidur di ruangan yang sama. Hingga suatu pagi, saat hari masih gelap, dua di antara mereka, dengan segenap keberanian yang dimiliki, melarikan diri dari penampungan itu.
Keduanya, juga kebanyakan dari teman-temannya, berasal dari Nusa Tenggara Timur (NTT). Tentu saja, mereka “buta” akan Kota Batam, tempat di mana mereka berharap akan mengadu keberuntungan bagi masa depan hidup mereka. Luntang-lantung mencari tempat berlindung, mereka akhirnya menghampiri sebuah rumah, lantaran melihat rosario dan patung Bunda Maria di depannya.
Setelah menerima dan mendengar kisah keduanya, si tuan rumah langsung menghubungkan mereka dengan imam diosesan Pangkalpinang, Romo Chrisanctus Paschalis Saturnus. Malam harinya, Romo Paschal, demikian ia disapa, langsung meninjau lokasi atas informasi kedua korban.
Keesokan harinya, Romo Paschal melaporkan ke Kepolisian Daerah Polda Kepri. Tanpa menunggu lama, Polda Kepri langsung menyambangi tempat penampungan itu untuk menyelamatkan para korban yang hendak dieksploitasi itu. Romo Paschal mengatakan, pelaku ternyata adalah pemain lama, dan mempunyai koneksi dengan oknum aparat, mafia, serta preman-preman di Batam.
Imbasnya, Romo Paschal menerima tekanan dan ancaman bertubi-tubi akibat peristiwa tahun 2014 itu. Tak hanya ancaman keamanan yang langsung dilayangkan ke pastoran, ia juga ditawari uang berapa pun jumlah yang ia inginkan, asal tidak mencampuri urusan perdagangan orang. Sejak itulah, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) ikut turun memberikan perlindungan padanya.
Rumah Aman
Kasus ini juga menjadi kasus terbesar yang ditangani Romo Paschal sejak melayani di Komisi Keadilan Perdamaian Pastoral Migran dan Perantau (KKPPMP) Keuskupan Pangkalpinang tahun 2013. Setiap hari, ia melayani mereka yang tersangkut perdagangan orang, menerima aduan, meninjau lokasi, dan melakukan sosialisasi. Tanpa latar belakang aktivis atau pendidikan khusus tentang hukum, migran dan sejenisnya, Romo Paschal bergerak hanya bermodal hati. “Justru dengan kasus itu saya semakin bersemangat untuk menolong lebih banyak orang yang menjadi korban perdagangan manusia,” ujar Romo Paschal.
Banyak perdagangan manusia terjadi, karena Kota Batam memiliki banyak “pelabuhan tikus” yang menjadi tempat bongkar muat barang ilegal serta pengiriman TKI tanpa dokumen. Tak hanya menjadi kota transit ke negara tujuan seperti Singapura dan Malaysia, kota industri ini juga menjadi kota tujuan perdagangan orang yang, kata Romo Paschal, umumnya berasal dari NTT, Jawa Timur (Jatim), dan Jawa Barat (Jabar).
Romo Paschal bersama tim dan jaringannya, selama ini menyediakan rumah aman, memberikan akses kesehatan yang baik, membantu proses hukum sampai selesai hingga tahap pemulihan psikologi dan spiritual. Saat dianggap sudah cukup baik, korban perdagangan manusia ini akan dikembalikan kepada keluarga dan ke dalam masyarakat. “Melihat mereka pulang, tertawa di meja makan, bisa bernyanyi, dan merasakan kehadiran dan kebaikan Tuhan, bagi saya itu kebahagiaan yang tidak bisa dinilai dengan apapun,” ungkap Romo Paschal.
Sebaliknya, bila para korban mengalami penderitaan dan duka adalah duka bagi Romo Pasckal juga. Saat melihat korban menangis, dan ia tidak bisa berbuat banyak, itu sangat menyayat hati. Ada Perasaan, berada di antara para buruh migran korban perdagangan manusia, tak hanya membuat Romo Paschal turut merasakan pilu, tetapi juga membakar semangatnya untuk terus menyuarakan kebaikan dan kebenaran.
Pernyataan Iman
Romo Paschal menjelaskan, ada kerumitan persoalan yang luar biasa saat bicara perdagangan orang. Ada angka kemiskinan yang akut, pendidikan yang buruk – walau tidak semua korban miskin dan tidak berpendidikan. Belum lagi masalah penegakan hukum, masih banyak Undang-Undang yang “banyak lubangnya”. “Penegakan hukum setengah hati, tidak ada keseriusan pemerintah untuk melihat ini sebagai isu kemanusiaan,” tuturnya.
Menurut Romo Paschal, buruknya praktik hukum menindak kasus perdagangan orang, ikut melemahkan orang-orang yang berniat baik untuk mencegah perdagangan manusia. Semangat orang untuk melaporkan dan mengharapkan keadilan akan patah, karena tidak diproses. Akibatnya pelaku juga merasa aman dan tidak terlalu ambil pusing karena pengadilan pun bisa dibayar. “Perdagangan manusia bukan soal nasib buruk orang, tapi menurut saya ini soal negara yang lalai melindungi warganya dari perbudakan,” ujarnya.
Beberapa kali, Romo Paschal menulis surat kepada hampir semua lembaga penegak hukum, untuk mengambil tindakan tegas terkait perdagangan orang. Pertama kali surat itu ia layangkan ke Markas Besar Kepolisian RI (Mabes Polri) terkait oknum polisi yang bermain dalam kasus ini. Lainnya, kepada kejaksaan. Ia menyoal para jaksa yang juga bermain mata. Ia bersyukur, hampir semua lembaga yang ia surati merespons. “Bahkan pernah, Komisi Yudisial datang ke Batam untuk mengikuti pengadilan di mana kami terlibat di dalamnya. Tapi persoalannya harus disurati, di-push terus. Masa kita harus nge-push terus?” ujarnya.
Meski demikian, Romo Paschal mengatakan ia akan terus berjuang. “Orientasi kita bukan sukses, melainkan setia untuk mewartakan kebenaran, keadilan, dan memperjuangkan harkat dan martabat pribadi manusia,” tuturnya.
Romo Paschal menyadari, ini adalah pekerjaan iman. Jika tak dilihat sebagai pelayanan iman, kita orang lebih mudah mengeluh, marah, menyalahkan, dan patah arang. “Kuncinya adalah mencintai karya pelayanan ini dan melakukannya dengan sukacita,” ujarnya.
Kerahiman Gereja
Kegigihan Romo Paschal melakukan karya untuk para migran korban perdagangan ini, ia akui tak lepas dari latar belakang keluarganya. Bungsu delapan bersaudara ini berasal dari keluarga perantau. Kedua orangtuanya merantau dari Maumere, Flores. Ia juga kian termotivasi untuk turun dari altar saat Paus Fransiskus mengatakan perdagangan manusia adalah luka dalam tubuh Gereja. Kompleksitas kasus perdagangan orang, kata Romo Paschal, membuat Gereja harus menjadi warna lain. “Ketika pemerintah tidak bergerak dalam apa yang diharapkan, masa Gereja diam dan tenang-tenang saja?” ujarnya.
Tak hanya berorientasi pada tindak penanganan korban, upaya pencegahan juga dilakukan antara lain melalui sosialisasi di tingkat akar rumput. Romo Paschal bermimpi, akan adanya Balai Latihan Kerja (BLK) di Batam yang bersertifikasi. Menurutnya kehadiran BLK menjadi penting setidaknya menjadi solusi bagi mereka yang butuh pekerjaan.
Para korban sebagian besar butuh memperbaiki hidup. Tapi, mereka tidak dipersiapkan dengan baik, sehingga hanya dengan iming-iming mereka dieksploitasi. “Kita sembuhkan mereka secara psikologi rohani, tetapi lebih baik bila kita juga menyiapkan mereka menjadi tenaga yang handal,” ungkapnya.
Romo Paschal berharap, Gereja bisa terus menjadi rumah bagi para korban dan terus membuka diri bagi mereka yang terasing. “Itulah letak kerahiman kita. Yesus saja mau turun ke dunia, kita pun harusnya demikian; meninggalkan “surga-surga” kita, menceburkan diri dalam dunia dengan spirit iman Kristiani yaitu menjadi garam dan terang,” pungkasnya.
Romo Chrisanctus Paschalis Saturnus
Tempat/Tanggal Lahir : Dabo Singkep, Kepulauan Riau, 9 April 1980
Jabatan : Imam Keuskupan Pangkalpinang
Pendidikan :
• Seminari Menengah St. Paulus Palembang (2001)
• Seminari Tinggi St. Petrus Pematangsiantar, Sumatera Utara (2009)
Karya :
• Ketua KKPPMP Keuskupan Pangkalpinang
• Badan Pengurus KKPPMP KWI
• Jaringan Peduli Migran, Perlindungan Perempuan dan Anak Kota Batam
Penghargaan :
• Penghargaan LPSK 2019
• Penghargaan Wakil Gubernur
Hermina Wulohering
HIDUP NO.43 2019, 27 Oktober 2019