HIDUPKATOLIK.com – Sudah seperempat abad ia melakoni profesi seniman patung. Karyanya pernah diremehkan, bahkan ditolak Gereja.
Sosok-sosok itu berdiri bersama, tampak bahu-membahu. Ada pula yang meringkuk. Ada anak-anak. Ada orang tua. Ada perempuan hamil. Mereka berada di sebuah perahu yang sama, seakan sedang menuju “Tanah Terjanji”. Di tengah kerumunan sosok-sosok itu muncul sayap malaikat.
Hari itu, Minggu siang, 29 September 2019. Usai merayakan Misa dan berdoa Angelus, Paus Fransiskus menuju ke sosok-sosok dalam perahu itu yang berdiri kokoh di Lapangan St Petrus, Vatikan. Ia memegang dan memberkati patung bertajuk Angels Unawares itu.
Patung berbahan dasar tanah liat dan perunggu itu buah karya seniman asal Kanada, Timothy Schmaltz. Patung itu menggambarkan sekelompok migran dan pengungsi dari berbagai latar belakang budaya dan ras; dari periode sejarah yang beragam. Sayap malaikat itu menjadi simbol kesucian, kesakralan. “Kesucian juga dapat ditemukan dalam diri orang-orang yang kita anggap ‘asing’. Saya menemukan kesucian itu dalam diri para pengungsi dan migran,” ujar Tim, sapaan karibnya.
Perunggu dan Katolik
Angels Unawares, lanjut Tim, bermula dari Alkitab. “Jangan kamu lupa memberi tumpangan kepada orang, sebab dengan berbuat demikian beberapa orang dengan tidak diketahuinya telah menjamu malaikat-malaikat.” (Ibrani 13:2). Itulah inspirasi patung yang didedikasikan untuk peringatan ke-105 Hari Migran dan Pengungsi Dunia, seperti dikutip dari vaticannews.va.
Sudah lebih dari seperempat abad, Tim yang lahir di kawasan pedesaan Ontario, Kanada pada 1969, berkarya melalui seni patung. Karya-karya Tim telah tersebar di seantero dunia, dan menghiasi beberapa gereja di Roma, Italia. Karya pahatannya sebagian besar berbahan dasar perunggu.
Tim memang mengaku, mayoritas karyanya merupakan pengejawantahan dari ayat-ayat Alkitab. Meskipun, ia juga membuat monumen untuk menghormati para pahlawan di beberapa tempat. Karyanya tak hanya menyentuh sisi emosional, tetapi bisa membuat orang yang melihatnya masuk menjadi bagian dalam karya tersebut. “Saya mengabdikan diri untuk menciptakan karya seni untuk memuliakan Kristus. Alasan pengabdian ini, terlepas dari kepercayaan Katolik saya, adalah bahwa seorang seniman membutuhkan subyek untuk menciptakan seni epik,” papar Tim.
Bagi Tim, setiap pahatan adalah ungkapan doa yang divisualkan. Saat memulai membuat patung, Tim sadar bahwa karyanya ini akan bertahan hidup lebih lama daripada usianya. “Saya menyadari bahwa saya berada diantara dua hal yang jauh lebih bertahan lama daripada hidup saya, yaitu Kekatolikan dan logam perunggu,” ujarnya seperti dikutip dari laman pribadinya sculpturebytps.com.
Momen Eureka
Tapak-tapak karyanya juga kerap menemukan aral. Salah satu karyanya sempat memicu kontroversi, bahkan ditolak di beberapa tempat. Karya itu bertajuk “Homeless Jesus”. Karya itu memiliki kisah tersendiri.
Delapan tahun silam, Tim sedang berjalan-jalan di pusat Kota Toronto. Di satu sudut jalan, ia melihat seorang tunawisma sedang tertidur berselimut rapat di bangku di pinggir jalan. “Sungguh mengejutkan bagi saya melihat ada manusia seperti itu di tengah sore, di salah satu jalan tersibuk di kota ini,” kata Tim. “Aku tersentak.”
Langkahnya terjeda. Pikiran dan hatinya langsung terpaut dengan Injil Matius 25:40, “Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.”
Bagi Tim, pemandangan tersebut merupakan momen eureka dirinya. Ia menafsirkan peristiwa itu sebagai sesuatu yang sangat spiritual,” kata Schmaltz. “Saya seperti dibiarkan melihat Yesus.”
Momen itu pun tak bisa lepas dari memori Tim; terus lekat menari di pelupuk matanya. Tim langsung menuju studio, di mana ia kerap berkarya. Ia menuangkan imajinasi itu dalam bentuk pahatan patung perunggu. Patung itu berbentuk seseorang yang sedang tidur berselimut rapat, yang bisa diletakkan di sebuah bangku. Namun sayang, patung apik itu tak mendapatkan “rumah”.
Patung itu sempat ditolak ketika hendak diletakkan di gereja; satu di Toronto dan satu di New York. Alasannya, patung itu sama sekali tidak menyerupai Yesus. Tim berujar, masih banyak orang beranggapan bahwa Yesus harus divisualkan secara sempurna. Bahkan ketika Dia sekarat di kayu salib pun, harus digambarkan dengan sempurna; tubuhnya halus berlapiskan marmer. Padahal, menurut Tim, ada bagian Injil yang menyatakan bahwa Anak Manusia tidak punya tempat untuk meletakkan kepala-Nya.
Patung tersebut memang sempat mengundang perdebatan. Namun Tim tak pernah mempersoalkan perdebatan tersebut. Menurutnya, patung itu menjadi representasi imannya. Dan kini, patung tersebut telah berada di beberapa kota, seperti Belfast, Orlando, Chicago, Dublin, Toronto, London, dan Roma. Bahkan, Paus Fransiskus pernah memberkati patung Homeless Jesus. “Saya hanya berharap, ketika orang melihat patung itu, ia sungguh tergerak untuk membantu mereka tersingkir dan miskin, karena dengan demikian ia sedang melakukan sesuatu untuk Yesus,” harap Tim.
Khotbah Visual
Karya-karya Tim memang tak biasa. Sebut saja karya berjudul When I Was A Stranger, yang menggambarkan Yesus sedang duduk sembari menunduk memakai jubah lusuh. Kini, karya ini berada di Basilika Minor San Lorenzo di Lucia, Roma, Italia. Ada pula karya bertajuk The Last Supper. Uniknya, Yesus berada di meja perjamuan sendiri. Kursi-kursi yang mengelilingi meja perjamuan dibiarkan kosong. Melalui karya ini, Tim berharap, banyak orang menuju meja perjamuan itu dan menemani Yesus di sana.
Bagi Tim, karya-karya seni pahat perunggu itu menjadi sarana katekese, terutama bagi orang muda. Ketika menatap karya Tim, banyak orang muda yang tertarik berswafoto. Dari situ lantas muncul pertanyaan-pertanyaan seputar patung; dari mulai proses pembuatan sampai pada spiritualitas di balik patung tersebut. “Jika patung itu ‘keren’, maka mereka juga ingin menemukan sesuatu yang ‘keren’ di dalam kehidupan Gereja. Saya ingin membagikan Kekatolikan melalui karya visual. Patung-patung itu seperti khotbah visual sepanjang hari,” tutur Tim.
Hari ini, menurut Tim, sarana visual, termasuk patung, amat efektif untuk menyampaikan pesan kepada banyak orang. Patung bisa menjadi medium untuk mengajak orang masuk lebih dalam ke Injil, serta memperkenalkan spiritualitas. “Patung bisa menjadi pintu gerbang ke dalam Injil dan kerohanian,” ungkapnya. “Melalui seni patung, saya mencapai dua tujuan; memperdalam spiritualitas dan berkarya seni,” pungkas Tim.
Y. Prayogo
HIDUP NO.43 2019, 27 Oktober 2019