HIDUPKATOLIK.com – Romo Erwin terkasih, saya mempunyai persoalan dengan istri saya. Kami sudah lama pisah rumah. Dia tinggal sendirian, sementara saya hidup bersama tiga anak kami. Saya sudah berusaha untuk memperbaiki hubungan, namun istri saya tak ada itikad baik untuk itu. Istri saya beberapa kali berselingkuh dengan pria berbeda, nyaris tak ada waktu berkumpul bersama keluarga, suka berhutang, dan sulit untuk berdialog dengan saya. Soal masalah ini, saya beberapa kali mengabarkan kepada keluarga istri, dan juga meminta bantuan mereka untuk membantu persoalan kami, namun jawaban mereka membuat saya kaget. Mereka minta agar saya tak usah memberitahu mereka lagi mengenai persoalan itu, dan menyuruh kami menangani permasalahan tersebut sendiri. Saya merasa berjuang sendirian. Padahal pernikahan melibatkan keluarga besar, termasuk orangtuanya. Koq kami seperti ditinggalkan? Mohon saran dari Romo. Terima kasih.
Yosef R, Tangerang
Pak Yosef yang baik, terima kasih atas pertanyaannya. Tentu saja saya sangat prihatin dengan kondisi relasi kalian berdua. Saya percaya, Tuhan masih rindu untuk menolong kalian dan anak-anak yang tak bersalah. Semoga dengan itikad baik, pengharapan dan kasih, masalah ini dapat segera berlalu.
Keluarga besar memang menjadi persoalan yang kadang berat, mengingat kita, orang Indonesia, sangat memperhatikan “keluarga sambung” begitu besar. Akan tetapi, hakikat perkawinan tetaplah relasi antara kedua pihak yang menikah, dan bukan terutama keluarga besar. Relasi dengan keluarga besar bisa sangat mempengaruhi relasi suami-istri, karena, biasanya salah satu atau kedua pihak tak berani meninggalkan pengaruh yang terlalu jauh dari keluarga dan malah pasrah dengan intervensi mereka.
Intervensi pertama biasanya datang dari orangtua. Ketika orangtua sangat mempengaruhi, biasanya anak-anak, meskipun sudah menikah jatuh ke pengaruh mereka yang belum tentu terbaik bagi anak-anaknya yang sudah menikah. Tak sedikit jumlah anak yang terpaksa menikah justru karena dorongan dan paksaan para orangtua. Ini sangat memprihatinkan dan tak boleh terjadi.
Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia (Mat. 19:6). Setiap orangtua pasti berkeinginan baik membela dan mendukung anaknya, tapi yang paling mengerti situasi pasutri adalah pasutri itu sendiri. Itu pasti. Maka segala hal, termasuk nasihat orangtua, saudara, atau kerabat adalah inspirasi, tak harus selalu diikuti. Apalagi jika sampai menceraikan, maka dosa akan ditanggung banyak pihak.
Terkait dengan masalah Anda berdua, cobalah melihat letak kesalahan komunikasi di antara kalian. Anda berdua jangan hanya tergantung kepada orangtua. Cobalah mencari pihak ketiga yang mempunyai kompetensi sebagai konselor. Nasihat perlu diperoleh dari pihak-pihak luar yang mempunyai ilmu yang cukup dan “jam terbang” yang tinggi.
Mengapa istri berhutang? Apakah penghasilan kalian kurang cukup? Pertanyaan ini wajib dijawab, supaya mereka yang akan menolong tak salah memberi nasihat. Perselingkuhan juga mempunyai banyak segi, biasanya berasal dari relasi kedua pihak yang buruk dalam kesehariannya. Tapi, saat ini, tentu akan jauh lebih sulit memperbaiki situasi. Hal terbaik adalah menyampaikan niat baik untuk memperbaiki hubungan, agar pasangan jangan jatuh ke dalam perzinahan dengan orang lain.
Jika keluarga Anda sekarang ini seperti “lepas tangan” menurut saya ini saat yang baik untuk memperbaiki diri dan belajar menyelesaikan persoalan sendiri. Bukan bermaksud menjebloskan dalam masalah yang kian berat, tapi terutama adalah agar usaha murni menunjukkan maksud baik Anda dan istri untuk bersatu lagi. Hal ini akan lebih baik efek psikologis atau perasaannya.
Libatkan anak-anak jika mereka sudah cukup umur dan mampu membuat komunikasi sendiri secara baik. Jangan bersembunyi atau menyimpan sendiri. Anak-anak harus memahami situasi orangtuanya, jika mereka sudah remaja. Selamat menentukan sikap. Tuhan memberkati.
Alexander Erwin Santoso MSF
HIDUP NO.29 2019, 21 Juli 2019