HIDUPKATOLIK.com – Untuk menyambut 100 tahun Surat Apostolik Paus Benediktus ke-15, Maximum Illud (Tentang Pewartaan Iman), bulan Oktober 2019 nanti, Komisi Karya Misioner Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) menggelar Kongres Misi 2019 di Jakarta, awal Agustus lalu. Hadir perwakilan dari seluruh keuskupan dengan latarbelakang beragam, dan mengundang para pakar dari bidang sosial politik, komunikasi, misiologi, dan lain-lain; dipadukan antara generasi tua dan generasi milenial.
Peserta yang beragam, kalangan rohaniwan, biarawan-biarawati, para awam yang datang dari ujung timur, Papua sampai Ujung Barat, Sumatera; dari Utara, Kalimantan dan dari Selatan, Pulau Rote, merupakan cerminan, betapa situasi Gereja pun sudah berubah. Tampaknya tidak ada lagi pihak yang lebih dominan dari yang lain. Awam dan klerus memegang peranan penting dalam menerjemahkan karya misi pewartaan perutusan Yesus: “Pergilah ke seluruh dunia…”.
Situasi dunia seratus tahun lalu dengan dunia sekarang ini jelas-jelas sangat berbeda. Hal itu ditandai oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berlangsung sedemikan pesat dan deras di segala bidang dan aspek kehidupan. Dunia saat ini sudah tanpa batas akibat globalisasi yang menerjang ke segala arah. Pesatnya kemajuan di
bidang tekonologi komunikasi dan informasi semakin mempercepat proses perubahan dan pola komunikasi masyarakat dan peradaban manusia. Walau perkembangan (modernitas) ini tak serta membawa kesejahteraan bagi semua warga dunia. Problem kemiskinan menjadi salah satu agenda besar yang menjadi persoalan global, termasuk Indonesia (Data BPS tahun 2008, jumlah penduduk miskin sebesar 34, 96 juta, atau 15,42% dari total penduduk Indonesia).
Di tengah dunia yang terus berubah ini, Gereja sebagai institusi formal tidak sekadar hadir tapi sesuai dengan perutusannya, mewartakan kabar gembira, menjadi garamdan terang, membawa sukacita dan lain sebagainya. Dalam Kongres Misi, muncul satu pertanyaan mendasar, bagaimana Gereja menjalankan misinya pada era industri 4,0 atau zaman digital ini. Di satu sisi, sebagian warga dunia telah sampai para era baru ini, namun di sisi lain, sebagian warga dunia masih terpontang-panting, bahkan tergilas oleh perubahan baru dengan segala dampak positif dan negatifnya ini. Di satu sisi karya misi masih tetap mengandalkan pertemuan fisik, namun di sisi lain, pertemuan itu telah diambil alih oleh dan lewat dunia virtual dengan segala konektivitasnya yang tanpa batas.
Untuk konteks Indonesia dengan jumlah penduduk yang mayoritas beragama Islam, perlu memikirkan bagaimana cara menghadirkan wajah Gereja. Seperti dikatakan seorang narasumber, Francisia SSE Seda, dalam Kongres, Gereja Katolik di Indonesia perlu hadir inklusif tapi tetap berpegang teguh pada doktrin (ajaran) dengan menunjukkan keberpihakannya pada berbagai kelompok marjinal yang paling membutuhkan, termasuk keutuhan ciptaan. Bahwasanya Gereja hadir melalui keterbukaan dan keterlibatan dengan berkontribusi secara nyata dengan menghargai martabat setiap manusia sebagai sesama tanpa membedakan kedudukan dan status sosial.
HIDUP NO.33 2019, 18 Agustus 2019