HIDUPKATOLIK.com – Situasi sulit menguji kualitas cinta dan kesungguhan menerima pasangan apa adanya. Berkorban amat sulit. Namun bagi mereka yang amat mencintai, itu bukan halangan.
Dengan wajah masih bersimbah peluh, Sebastianus Amrik Sutrisno yang belum lama usai bekerja di kebun sawit, segera menemui Yohana Nyoman Suari. Sebastian memapah istrinya ke kamar mandi. Sudah tiga tahun, Komang, panggilan sang istri, bergulat dengan stroke. Gering itu telah merampas kemampuan dan kemerdekaan Komang untuk bergerak bebas. “Setiap dua jam saya mesti menemuinya dan mengecek hal-hal yang diperlukan, menyiapkan makanan dan minum, serta keperluan pribadi lain. Saya menjalaninya dengan sukacita. Inilah saatnya saya menghayati janji perkawinan kami,” ungkap Sebastian dengan mata berbinar.
Setia melaksanakan tugas dan tanggung jawab merupakan salah satu wujud pribadi yang berintegritas. Keutamaan itulah yang menjiwai Sebastian dalam menjalani kehidupan sehari-hari sebagai suami sekaligus sahabat bagi sang istri yang tak mampu berbuat banyak untuk dirinya sendiri dan keluarga.
Lewat pengalaman itu, Sebastian menemukan makna hukum kasih seperti yang diajarkan oleh Yesus: mengasihi Allah dengan sepenuh hati dan mengasihi sesama sebagaimana mengasihi diri sendiri (bdk. Ul. 6:5; Mat 22:37.39;Mrk 12:30.31). “Saya sangat menyadari bahwa mengasihi dengan segenap hati, kekuatan, bukanlah perkara mudah. Mengasihi dengan segenap jiwa, kekuatan, berarti saya mesti mempertaruhkan segala-galanya dan memberikan yang terbaik untuk yang saya cintai. Namun saya tidak kecil hati. Sebab Tuhan Yesus sudah memberi contoh dan teladan bagaimana mencintai dengan segenap hati dan jiwa”, ungkap Sebastian.
Perjumpaan Pertama
Sebastian bertemu dengan Komang di di rumah neneknya di Lampung, sekitar 1986. Perjumpaan kedua mereka terjadi selang empat bulan kemudian di rumah tantenya Sebastian. Komang bekerja di sana. Sebastia mengakui mulanya tak sedikit pun memiliki perasaan terhadap Komang. Namun, lantaran kerap bertemu, benih-benih cinta di antara mereka pun tumbuh.
Komang adalah gadis yang sederhana dan tak berpendidikan tinggi. Tapi, ia adalah perempuan yang sangat perhatian, rendah hati, tekun, jujur, dan amat bertanggung jawab. Kualitas kepribadian itulah yang memikat batin Sebastian. Penilaian terhadap Komang seperti itu pun diamini oleh keluarga Sebastian.
Pada pertengahan 1986, Komang kembali ke Bali. Pada masa itu, Sebastian dan Komang sempat kehilangan kontak. Namun, empat bulan kemudian, mereka kembali berjumpa di rumah tante Sebastian. Jalinan asmara Sebastian dengan Komang mulai tersimpul. Namun, Sebastian belum memandang secara serius hubungannya dengan Komang.
Suatu ketika, Komang menjumpai Sebastian yang sedang santai. Komang hendak memastikan, apakah Sebastian berniat untuk menikahinya? “Apakah mas sayang saya”? Sebastian tak menjawab. Komang segera bertanya lagi. “Apakah Mas mau menerima saya apa adanya?”. Sebastian masih tak bersuara. Ia seakan tak peduli terhadap kehadiran Komang. Mereka berdua hanya diam membisu. Tak lama kemudian, Komang pulang ke rumah orangtuanya. Selang dua hari, Komang berjumpa lagi dengan Sebastian di pasar. Komang mengajak Sebastian ke rumah orangtuanya.
Setelah melalui lika liku kehidupan, Sebastian dan Komang melangsungkan Sakramen Pernikahan pada September 1987. Baru seumur jagung usia pernikahan, rumah tangga Sebastian-Komang dirundung persoalan ekonomi. Sebastian meninggalkan istri di rumah mertunya. Selama dua tahun hidup Sebastian bak bujangan. Ia kerap mangkal di terminal Rajabasa, Bandar Lampung.
Meski terkesan ditelantarkan, perhatian Komang terhadap sang suami tak berkurang. Saban kembali ke rumah, Komang selalu membawa oleh-oleh untuk suaminya. Ia pun tak pernah menyinggung perilaku sang suami selama tak bersamanya.
Kesetiaan dan ketabahan Komang menghadapi ulah Sebastian selama dua tahun membuat hatinya luluh. Cinta tak bertepi sang istri itulah yang membuatnya kembali ke rumah. Ia bertekad untuk membuka lembaran baru kehidupan rumah tangga mereka.
Tak Menuntut
Memasuki babak baru untuk kedua kalinya, mertua memberikan beberapa petak sawah untuk digarapnya. Bantuan tersebut sanggup menyambung hidup Sebastian bersama istrinya. Kemampuan Komang dalam mengurus rumah tangga secara baik, semakin meyakinkan Sebastian bahwa sang istri merupakan pilihan Tuhan untuk mendampingi, membantu, dan melengkapi kekurangannya.
Memasuki tahun ketiga pernikahan, Sebastian-Komang mendapat anugerah seorang anak. Kelahiran seorang anak juga menyuntik semangat mereka untuk terlibat dalam kegiatan di Stasi St Maria Sidoharjo dan Paroki Keluarga Kudus Sidomulyo. Seiring waktu, Sebastian-Komang kembali mendapat dua anak. Peristiwa ini menambah kebahagian mereka. Namun, kegembiraan itu tak berlangsung lama.
Komang mengalami sakit di payudaranya. Tumbuh benjolan di sana dan berkembang dari hari ke hari. Sebastian segera membawa sang istri ke RS. Berdasarkan hasil diagnosa, Komang menderita penyakit gula. Ia sempat dirawat di RS selama lima hari. Keterbatasan ekonomi membuat proses pengobatan berjalan tak optimal. Dalam situasi seperti itu, Sebastian dan keluarganya mengandalkan pertolongan Allah.
Harapan itu pun terjabah setahun kemudian. Saat pindah ke Riau, ia bertemu dengan seorang “Samaria” yang murah hati. Darinya, Sebastian mendapat pekerjaan di kebun sawit miliknya. Tak hanya lapangan pekerjaan, berkat bantuan dan kemurahan hati orang “Samaria” yang murah hati itu, Komang dapat menjalani perawatan intensif di RS.
Sayang, penyakit itu banyak menggerogoti raga Komang. Pada 2015, Komang semakin kehilangan kemampuan melaksanakan tugas harian. Penyakit stroke memaksanya untuk berdiam diri di tempat tidur siang-malam. Kondisi seperti itu praktis memaksa Sebastian berperan ganda, sebagai suami sekaligus perawat.
Tanggung jawab itu amat berat. Tapi, Sebastian setia menekuni perannya. Sebagian besar porsi waktu ia gunakan untuk merawat sang istri. Sebastian tak menampik, tanggung jawab tersebut amat melelahkan. Namun, perasaan itu segera sirna bila dirinya mengingat seluruh kebaikan dan pengorbanan sang istri kepadanya.
Tak Berpaling
Suatu hari, keluarga besar Komang sempat meminta kepada Sebastian agar mereka dapat merawat sang istri. Tujuan mereka mungkin baik, meringankan tanggung jawab yang diemban Sebastian. Tapi, Sebastian menolak tawaran tersebut. Ia ingin merawat istrinya secara total, penuh kasih, dan tulus. “Hingga saya tidak mampu lagi melakukan yang terbaik untuknya,” ujar Sebastian. Menurut Sebastian, saat-saat seperti inilah cinta kasih suami-istri diuji. Apakah mereka benar-benar mengasihi atau sebatas omong doang.
Kendati raga kian melemah, Komang begitu juga Sebastian, tak berpaling dari Tuhan. Mereka senantiasa mengikuti Ibadat Sabda maupun Perayaan Ekaristi. Bahkan, pada saat musim tak baik sekali pun. Contohnya, saat turun hujan, demi menjaga keselamatan dirinya dan sang istri selama mengendari motor, Sebastian akan mengikat tubuh Komang ke tubuhnya.
Tiap pekan mereka harus menempuh perjalanan sekitar 32 kilometer untuk bersyukur kepada Tuhan. “Kerinduan untuk selalu mengikuti Perayaan Ekaristi memang sudah tertanam dalam diri Komang sejak kecil. Ia rajin ke gereja” puji Sebastian untuk sang istri.
Pastor Emanuel Kadang
HIDUP NO.27 2019, 7 Juli 2019