HIDUPKATOLIK.com – Dalam salah satu keluarga terdapat kapel di dalam rumahnya. Apakah ini dianjurkan oleh Gereja?
Ernawati Salim, Jakarta
Dalam gereja-gereja kuno di sisi kiri dan kanan gereja ada kapel-kapel kecil (capella), yang dulu biasa dipakai untuk misa pribadi. Selain itu di luar bangunan gereja, ada juga kapel-kapel kecil, untuk misa dalam kelompok-kelompok kecil. Di biara-biara biasa juga terdapat kapel, untuk perayaan Ekaristi komunitas, atau juga untuk doa bersama.
Di zaman kuno pun dapat ditemukan rumah-rumah keluarga yang memiliki kapel seperti itu. Akan tetapi ada juga komunitas religius dan imam yang membedakan antara kapel dan ruang doa. Ruang doa lebih dipakai untuk berdoa, entah pribadi maupun bersama, sedangkan kapel lebih dipakai untuk perayaan Ekaristi. Maka di rumah sakit, penjara, tenpat pemakaman ataupun sekolah-sekolah sering ada kapel (Oratorium), dan tidak jarang ada pastor tertentu yang melayaninya (Chaplain).
Dari pengertian itu kapel lebih dimaksudkan sebagai ruang ibadah, di mana ada altar dan tabernakel, tempat di mana perayaan Ekaristi dirayakan. Sedangkan ruang doa lebih merupakan ruang untuk berdoa, di mana biasanya terdapat patung para kudus, bahkan patung Yesus, namun di situ tidak ditahtakan Sakramen Mahakudus. Maka bisa ditemukan di bandara, pusat-pusat perbelanjaan, bahkan di markas PBB.
Maka yang lalu menjadi pertanyaan, yang dimaksudkan ada rumah keluarga yang mempunyai kapel atau rumah keluarga yang memiliki ruang doa. Saya lebih suka menyebut, bahwa dalam rumah-rumah keluarga tersebut terdapat ruang doa.
Bila dimaksudkan bahwa dalam keluarga-keluarga tersebut memiliki kapel, dengan altar dan tabernakel, kemudian muncul pertanyaan, apakah perayaan Ekaristi rutin dirayakan di sana. Tanpa itu bisa malahan menjadi keliru.
Di kompleks tempat saya tinggal di Girisonta, terdapat delapan kapel. Di dalam kapel yang ada tabernakel selalu dirayakan Ekaristi secara berkala, antara lain lalu sakramen Mahakudus dalam tabernakel tersebut “diganti”. Namun, ada kapel yang tanpa tabernakel, karena tidak secara berkala di kapel itu dirayakan Ekaristi.
Yang sudah lama lazim ditemukan dalam rumah-rumah keluarga yang besar, ditemukan adanya ruang doa, yang kadang disebut sebagai kapel. Karena tidak secara berkala di sana dirayakan Ekaristi, maka altar lebih dimaksudkan sebagai altar devosi, dengan berbagai patung atau benda-benda suci. Tempat itu lebih dimaksudkan sebagai tempat doa, baik pribadi maupun bersama, malahan menjadi tempat di mana keluarga tersebut berkumpul di hadapan Allah, untuk memuji dan menyembahnya.
Oleh karena itu bukanlah sesuatu yang baru bahwa ada keluarga-keluarga memiliki ruang doa. Tidak ada anjuran Gereja akan hal itu, sebab membuat ruang doa tidak membutuhkan izin resmi dari pimpinan Gereja, jika itu dimaksudkan untuk semacam ruang devosi bagi doa pribadi maupun bersama. Akan tetapi tidak bisa begitu saja keluarga-keluarga membuat kapel. Apalagi di dalam kapel itu terdapat altar dan tabernakel.
Yang lebih penting daripada persoalan ada anjuran Gereja atau bukan. Apakah ruang-ruang doa tersebut rutin dipakai untuk doa atau hanya sekedar aksesori rumah tangga dalam keluarga? Membangun ruang doa, namun tidak dipakai untuk berdoa, toh tidak akan banyak berguna, apalagi bagi kehidupan rohani. Yang jauh lebih penting daripada memiliki ruang doa adalah apakah hidup doa dibangun secara rutin dan dihidupi secara subur, baik oleh pribadi maupun bersama. Tanpa itu, bisa jadi ruang doa malahan lebih berkesan sebagai “ruang pameran patung dan barang suci”.
Yang sangat dianjurkan Gereja adalah membangun dan memupuk hidup doa, bukan terutama untuk membuat ruang atau tempat doa. Memiliki ruang doa namun tidak dipakai untuk berdoa dan tidak menjadikan hidup doa semakin subur, bisa malahan menjadikan ruang doa itu tidak berarti.
Telephorus Krispurwana Cahyadi SJ
HIDUP NO.24 2019, 16 Juni 2019