web page hit counter
Jumat, 22 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Memanfaatkan Air Langit

Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Logikanya, jika air hujan buruk pasti alam rusak, tanaman mati ketika terkena air hujan.

Bagi sebagian masyarakat, hujan yang terus menerus mengguyur menjadi kekhawatiran akan terjadinya sebuah bencana, semisal banjir yang sering melanda di daerah kota. Namun berbeda dengan Simon Yudistira Sanjaya, hujan tak menjadi kekhawatiran, malah berkah yang dia dapatkan. Pada Desember 2014, Fransiskus Xaverius Wakijo meriang. Seorang teman memberikan air putih untuk konsumsi. Dua jam setelah mengonsumsi air itu pria yang akrab disapa Wakijo ini merasa bugar.

Mengetahui air yang dikonsumi adalah air hujan, Wakijo pun rutin mengolahnya. Sejak empat tahun lalu, Wakijo dan istrinya memanen hujan. Ia dan keluarganya selalu menyambut air yang turun dari langit itu dengan gembira. Tak hanya mensyukuri, mereka menampung air ini di ember-ember di samping rumahnya. Menurut Wakijo, sebagaimana dikutip dari Trubus, air hujan yang disertai kilat sudah terelektrolisis. Ia mengatakan rata-rata nilai TDS air hujan selalu kurang dari 60. Adapun saat hujan disertai kilat nilainya kurang dari 20. Artinya air mendekati murni. Mereka memanfaatkan air hujan hasil tampungan sebagai air minum. Namun, pengolahan air hujan berbeda dengan air putih biasa yang direbus atau distilasi.

Baca Juga:  Buah-buah Sinode III Keuskupan Sibolga Harus Menjadi Milik Seluruh Umat

Produksi Air Hujan
Empat tahun terakhir Wakijo dan keluarganya tidak lagi membeli air minum. Dari awalnya untuk konsumsi pribadi, saat ini tetangga dan rekan kerja juga turut belajar memproduksi air hujan yang diproses secara elektrolisa. Saat ini banyak masyarakat yang berdatangaan kerumahnya di Margahayu, Bekasi Timur untuk mendapatkan pelatihan air hujan. Karena tidak memperjualbelikan air, beberapa orang yang datang ke rumah akhirnya memberi ”imbalan” berupa botol-botol berisi air hujan.

Wakijo yang berprofesi sebagai guru Sekolah Dasar Strada Budi Luhur 1 ini mengatakan, air hujan basa bersifat membersihkan sehingga kotoran yang ada di dalam tubuh keluar. Air hujan asam kaya oksigen, pemanfaatannya bisa untuk menyembuhkan luka luar dan nutrisi untuk tanaman. Warga Bekasi, Jawa Barat ini pun berkreasi menggunakan dua air hujan hasil elektrolisis itu sebagai penyegar wajah dikemas pada semprotan mini.

Baca Juga:  Keuskupan Sibolga Lima Tahun ke Depan

Di Bandung, Simon Yudistira Sanjaya memanfaatkan air hujan untuk memenuhi berbagai keperluan rumah tangganya, mulai dari mandi, minum dan memasak. Bermula pada tahun 2010 ketika ia mengalami kesulitan mendapatkan air bersih dari sumur di rumahnya. Akses Perusahaan Daerah Air Minum pun tidak ada yang menjangkau ke wilayah tempat tinggalnya di Ciroyom. Alhasil, ia dan sebagian besar warga harus membeli air dari gerobak, demi memenuhi kebutuhan air.

Simon telah mencoba bersama tukang pompa tetapi tetap saja tidak berhasil. Kalaupun airnya keluar, warnanya kekuningan dan berbau besi. Melihat potensi hujan yang cukup besar di bumi pasundan, Simon terinspirasi menyulap air hujan menjadi air menyehatkan, melakukan inovasi yang bersinergi dengan alam yaitu memanfaatkan air hujan.

Berbekal alat sederhana yang ada di rumahnya, Simon mulai menafsirkan ide dan gagasannya dengan mendesain sistem penampungan air. Lalu, ia mengatur talang air yang ada di atap rumahnya. Pipa-pipa yang tadinya berfungsi sebagai pembuangan air, dialihkan ke tempat penampungan air yang telah disiapkan berupa tong air dan ember. Air yang sudah ditampung, masih harus diproses kembali menggunakan alat penyaring air Nano Filter agar air terbebas dari kotoran dan kuman. “Sepuluh menit pertama, air hujan harus dibuang agar polutan-polutan dan debu di udara ikut terbuang. Nantinya, kalau tidak dibuang kualitas airnya akan jelek,” katanya seperti dilansir dari Mongabay.co.id.

Baca Juga:  Buah-buah Sinode III Keuskupan Sibolga Harus Menjadi Milik Seluruh Umat

Simon mengatakan, air hujan tidak kalah sehat dari air kemasan atau air isi ulang, bahkan kualitasnya bisa lebih baik. Ia menganalisa, bahwa penampungan air hujan bisa jadi alternatif mengurangi banjir. Sebab, kalau bergantung pada pemakaian biopori tidak terlalu signifikan untuk mengurangi banjir, karena hasil penelitian biopori hanya mampu menampung air sekitar 10 liter.

Hermina Wulohering

HIDUP NO.24 2019, 16 Juni 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles