web page hit counter
Jumat, 22 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Siap Menang, Siap Kalah

Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Hari-hari pemilihan umum kian mendekat. Suasana kian menegangkan. Segala upaya dikerjakan oleh setiap calon pemimpin dari berbagai tingkatan (mulai dari Presiden, DPR RI, maupun DPR di tingkatan-tingkatan di bawahnya). Semua masih punya kemungkinan untuk kalah atau pun menang. Yang jelas di hari penentuan itu, kemungkinannya hanya satu yaitu menang atau kalah. Mengingat kita adalah negara demokrasi di mana masyarakat diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat, maka hasil pemilu harus diterima dengan lapang dada.

Situasi ini bukan situasi yang mudah. Harapan yang melambung tinggi dari para calon begitu saja bisa dikempeskan dalam sehari. Sayangnya suasana ini tidak hanya akan dialami oleh mereka yang mencalonkan diri tetapi juga pihak-pihak yang terlibat di dalam usaha memenangkan calon-calon tertentu maupun para pendukung. Tentu persaingan yang melibatkan paling banyak orang adalah perebutan kursi presiden.

Kalau anda mendengarkan persaingan antar kubu di dalam pencalonan Presiden dan wakilnya, seakan bangsa kita terpisah menjadi dua. Orang berlomba menunjukkan bahwa calonnya adalah yang paling hebat. Bahkan tak jarang mereka diangkat setingkat nabi. Seakan mereka ini tanpa cacat dan cela. Setiap kali ada yang salah dari ucapan atau dari tindak-tanduk seorang calon, tim kampanye akan cepat-cepat membuat pembenaran. Sementara, kalau ada kesalahan sedikit saja dari pihak lawan, tim kampanye akan terus membicarakan (dalam bahasa yang kasar, menggoreng). Bangsa kita terbelah antara yang memuja nomer 1 dan yang memuja nomer 2. Kalau tidak hati-hati kita terjerat kepada pemujaan yang tidak sehat yang tidak membuka ruang di dalam diri kita untuk kemungkinan kalahnya tokoh pujaan kita.

Hidup Harus Berjalan
Indira Gandhi, mantan perdana menteri India mengatakan, “Menang atau kalah dalam Pemilihan Umum tidak lebih penting dari usaha terus menerus memperkuat negara.” Ungkapan ini menjadi catatan bagi pemilu kali ini. Jangan sampai kita terpisah karena kekalahan pihak yang kita bela. Ingat, partisipasi kita di dalam kehidupan berbangsa masih bisa terus berjalan.

Dalam bahasa politik, kita bisa memainkan peran sebagai oposisi, mengambil posisi yang berlawanan. Posisi ini penting untuk terus mengritisi pemerintahan yang ada. Apakah mengambil posisi oposisi berarti melawan pemerintahan? Tentu saja tidak. Persaingan selesai setelah pemilu. Kita punya waktu jeda lima tahun untuk menjadi mitra pemerintah guna membangun pemerintahan yang lebih baik. Hal ini mengingat setiap pemerintahan memiliki kekurangan masing-masing. Kita membantu pemerintah melihat sisi-sisi yang harus dibenahi.

Masyarakat punya banyak sarana untuk memaksakan masuknya sebuah kritikan menjadi bagian pembicaraan di level pemerintahan. Tentu anda ingat bagaimana masyarakat pernah berhasil menghentikan hak angket KPK yang sempat hendak bergulir melalui petisi yang disampaikan melalui media sosial tahun 2017. Sebaliknya ada juga petisi meminta Hak Angket Century pada tahun 2009-2010. Belum lagi berbagai lembaga riset dan juga opini publik yang tidak bisa dipandang remeh oleh pemerintah. Dalam posisi oposisi, kita bahu membahu mengatasi kemungkinan adanya blind spot di dalam pemerintahan kita.

Pemerintahan tidak lagi mungkin bertindak otoriter mengingat ada banyak instrumen demokrasi yang memungkinkan masyarakat kritis terhadap penyelenggaraan negara. Inilah anugerah yang diberikan oleh lajunya perkembangan ilmu pengetahuan dan komunikasi.

Sebagai masyarakat kita bergerak menjadi semakin cerdas dalam melihat pemilu. Kita tidak bisa berhenti pada sentimen terhadap pemimpin tertentu. Realitasnya amat terbuka kemungkinan untuk munculnya tokoh baru di dalam pemerintahan kita sebagai hasil dari konsensus bersama sebagai negara demokrasi. Dalam hal ini, kita perlu mengedepankan semangat musyawarah, “Ketika belum diputuskan, mari kita perdebatkan. Ketika sudah diputuskan, mari kita perjuangkan.” Inilah jati diri kita sebagai bangsa yang satu dan sama.

Martinus Joko Lelono

HIDUP NO.15 2019, 14 April 2019

ARTIKEL SEBELUMNYA
ARTIKEL SELANJUTNYA

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles