HIDUPKATOLIK.com – Sang suami meninggal dalam pelukannya, setelah 40 hari menjalani perawatan di RS. Ia belajar makna keikhlasan selama masa itu.
Dokter Henny memanggil Theodora Mardahlena Fanany. Dokter spesialis paru-paru itu meminta agar Mardah menyiapkan batin menghadapi kondisi sang suami yang kian melemah. “Saya mohon, jangan tinggalkan suamimu sendirian di ruang perawatan,” ungkap Mardah, mengulang pesan salah satu dokter yang merawat suaminya.
Sederet pertanyaan tertanam di benak dan batin Mardah. Hatinya pilu, perih, bak tersayat sembilu. Selesai mendengar penjelasan dokter, ia memberitahu kepada kakaknya ihwal keadaan sang suami dan pesan dokter untuknya.
Mardah kembali masuk ke dalam ruang perawatan. Berdiri di samping ranjang suami, ia menatap wajah pria yang sudah 22 tahun menemaninya, menghadapi sukaduka bersama. Roman yang dulu memancarkan keceriaan, kini terlihat layu dihantam gering. Namun, mereka masih bisa melakukan sebuah aktivitas bersama: doa. Mardah dan sang suami, Tarcitius Hary Dwi Atmoko, merapal doa Bapa Kami bersama.
Tembang Terakhir
Usai doa, Mardah melantunkan sebuah tembang Yesus Termanis di dekat telinga suaminya. //…Yesus yang ter manis buat jiwaku//Buat jiwaku, buat jiwaku//Yesus oh Yesus yang termanis buat jiwaku//Kucinta slamanya…// Selang beberapa saat kemudian, harapan suami Mardah terwujud. Itu tembang terakhir yang dilantunkan Mardah untuk sang suami. Ia melepas kepergian Hary dalam pelukannya.
Mardah langsung menghubungi Pastor Yohanes Purwanta MSC. Menurut Mardah, setelah beberapa bulan divonis kanker lidah, suaminya sempat mengutarakan keinginan kepada Kepala Paroki Bunda Hati Kudus Kemakmuran, Keuskupan Agung Jakarta itu bahwa dirinya ingin kembali kepada Sang Pencipta. Maka, begitu kerinduan suaminya terjawab, Mardah segera menghubungi Pastor Purwanta.
Jenazah Hary semula disemayamkan di rumah mertuanya, di Sektor I Serpong, Tangerang, Banten. Banyak teman, sahabat, kenalan, dan umat Paroki St Laurensius Alam Sutera melayat. Maklum, Hary terkenal sebagai aktivis gereja. Ia pelatih kor Paroki Alam Sutera.
Sebagai salah satu bentuk penghormatan terhadap figur pegiat liturgi, jenazah Hary dipindahkan ke Gereja St Laurensius. Misa pelepasan jenazah dipimpin oleh Kepala Paroki Alam Sutera, Pastor Yohanes Hadi Suryono. Perayaan Ekaristi berlangsung meriah. Kor berasal dari Paroki Alam Sutera dan Grogol serta diiringi oleh kelompok Orkestra Musica Sacra–komunitas ini dibentuk oleh Hary pada 2010.
Kanker LidahkSaat ditemui di kediamannya, Mardah menceritakan riwayat sakit yang mendera sang suami. Setelah 21 tahun bekerja sebagai guru di Sekolah Kristoforus Grogol, Hary pergi ke Lampung. Di kampung halamannya itu, ia ingin membantu keluarga mengurus proyek pembangunan perumahan.
Setelah beberapa lama, lanjut Mardah, suaminya kembali ke rumah. Tubuh Hary terlihat kurus menurut Mardah. Hary mengaku, dirinya terkena sariawan sehingga sulit untuk menyantap makanan. Ia sudah berusaha mengobati, tapi sakit itu tak pernah kunjung sembuh. Tak ingin Hary lama menderita, Mardah mengajaknya ke RS sakit untuk memeriksakan kesehatannya. Hary menolak. Beberapa waktu kemudian, persisnya Maret 2016, Hary baru tergerak untuk mengikuti ajakan Mardah. Hasil pemeriksaan mengejutkan Mardah. Suaminya mengindap kanker lidah.
Mardah sadar, perawatan dan pengobatan penyakit jenis tersebut tak sebentar. Ia mencoba untuk meminta izin kepada pimpinan di tempat kerjanya untuk mendampingi dan mengobati sang suami secara intens. “Ini jalan Tuhan. Pimpinan memperbolehkan saya tetap mendampingi suami menjalani pengobatan,” katanya.
Kondisi Hary semakin menurun dari hari ke hari. Mardah mengetahui hal tersebut. Meski demikian, semangat doanya tak pernah padam. Intensi utama kepada Tuhan, ia ingin diberi kekuatan dan kesetiaan agar bisa selalu menemani suami selama sakit dan pengobatan. Ia pun ikhlas apa pun rencana Tuhan yang terjadi bagi teman hidupnya itu.
Pada November 2016, bagian lidah Hary yang sakit terjadi pembengkakan dan berdarah. mengalami pembengkakan, menyusul keluar darah. Saat itu, kata Mardah, Hary merasakan sakit luar biasa. Ia tak bisa menyantap makanan yang keras. Sehingga, untuk menyuplai energi, Hary terpaksa minum juice saban hari.
Ada kemajuan, meski sedikit. Bengkak di lidah kempes tap nyerinya tak juga mau beranjak dari sana. “Setiap tengah malam hingga pukul dua dini hari, Hary merasakan sakit luar biasa. Ia tak bisa tidur hingga pukul dua dini hari,” ungkap Mardah.
Hary, terang Mardah, menjalani serangkaian pemeriksaan. Ia juga menjalani kemoterapi. Ketika hendak melanjutkan kemoterapi keenam, tindakan tersebut batal. Ginjal Hary kurang berfungsi baik. Dokter mengambil cara lain dengan mengobati secara radiasi.
Mardah mengakui, sejak itu, Hary menyadari, kondisi kesehatannya memburuk. Meski demikian, ujar Mardah, suaminya tegar bila Tuhan memanggilnya. Bahkan, kerap kali, lanjut Mardah, sang suami mengutarakan kehendaknya untuk bisa berjumpa dengan Dia yang diimaninya.
Suatu hari, ujar Mardah mengenang, suaminya mengambil kertas dan menulis beberapa kalimat di lembar putih itu. Rupanya itu wasiat untuk sang istri. Hary menulis seperti ini: kondisiku semakin tidak jelas, bila Tuhan Yesus memanggilku pulang, bawalah aku dan baringkan aku… Jangan bawa aku ke rumah duka. Agar teman-temanku tidak jauh kalau mau melihat aku.Tempat pemakaman biarlah mama yang menentukan.
Mardah tak kuasa membendung air matanya saat membaca pesan sang suami. Wajah kedua buah hatinya tersibak di pikirannya. Mereka masih sangat membutuhkan kasih sayang dari sang ayah.
Hary juga menulis pesan lain. Kali ini, isinya lebih ditujukan kepada keluarganya. Ia menulis: jangan pernah menyalahkan Tuhan. Kita semua telah berusaha untuk kesembuhan. Kita terima apa pun kehendak Tuhan. Mukjizat Tuhan bukan hanya aku sembuh dan bisa pelayanan lagi. Kalau aku meninggal pun mukjizat Tuhan akan terjadi kepada keluarga kita.
Mardah tak menampik, sebagai manusia biasa, dirinya amat bersedih ditinggal teman yang telah lebih 20 tahun menemani hidupnya. Ada banyak pengalaman yang mereka ukir bersama. Namun, Mardah percaya, Tuhan punya rencana indah di balik segala kejadian. Ia juga percaya, Tuhan senantiasa menemaninya dan menjaga buah hatinya.
Setia Menemani
Benih-benih cinta Mardah dan Hary tumbuh di Gereja St Kristoforus Grogol. Mereka berjumpa pertama kali saat latihan kor di sana. Mardah mengenang, kala itu, Hary menjadi pelatih kor sementara dirinya sebagai “murid” di kelompok tersebut. Intensitas perjumpaan menyuburkan benih cinta itu.
Seiring waktu, Hary memutuskan untuk menikahi Mardah. Gayung bersambut. Sejoli itu mengikat janji setia di depan altar Gereja St Kristoforus. Setahun kemudian, mereka dikaruniai buah hati. Mereka menamainya Eugenius Vivaldy Pranowo. Beberapa tahun kemudian, Mardah dan Hary dikaruniai anak kedua, Maria Fabiola. Mereka mewarisi bakat musik sang ayah.
Selepas kepergian sang suami, Mardah fokus mendampingi buah hatinya. Ini juga wasiat dari Hary kepadanya. Keinginan Mardah kepada mereka tak muluk-muluk. Ia ingin anak-anaknya bertumbuh dalam iman dan setia melayani Gereja dengan talenta yang dimiliki. Mardah. Sementara tentang suami, ia yakin, kekasih hidupnya itu telah bahagia di rumah keabadian.
Konradus R. Mangu
HIDUP NO.15 2019, 14 April 2019