HIDUPKATOLIK.com – ALFA.
Pagi masih terbungkus sisa-sisa malam, sedang kokok jago nampak tak peduli tetap melantunkan lagu paginya. Pasukan bintang perlahan mengulur senjatanya menepi di langit lain. Aku masih terengah beradu doa di sudut kamarku. Doaku memancar tak karuan. Lepas bebas tanpa henti dari mulut. Lilin mulai meredup perlahan seolah memberi kode tuk cepat akhiri ritual pagi ini. Kupadamkan lilin lalu berderap keluar kamar.
“Selamat pagi, bro,” suara Mama menggigit telinga.
“Selamat pagi, mama”, sahutku sambil menyelinap ke kamar mandi.
Yah, ritual berikutnya adalah bertamu ke kamar mandi. Menyetor tabungan semalam yang tak tahan dalam perut.
Itu pagi. Setelah dua rutinitas itu, aku melangkah mencari sapu lidi. Kutelurusi halaman di bawah pohon jambu itu dengan berkas lidi yang cukup kuat. Kujejaki tanah dengan lidi-lidi yang tak pernah protes walau terus dipaksa. Sambil tanganku menyapu, mataku tak henti menyepi ke jalan. Biasanya saat-saat begini jalan menjadi favorit bagi orang-orang kampungku. Apalagi masa liburan seperti ini. Aku mencari sesosok renta yang belakangan ini menarik perhatianku. Ia selalu membawa sebilah parang pendek. Jalan selalu tergesa hingga mulutku tak sampai menyapa. Sekadar say hallo. Hal inilah yang menarik perhatianku setiap pagi.
Kali ini aku merapat ke jalan supaya bisa menyapa dia. Sosok yang kutunggu bergegas dari sana, langkah tak pernah berubah. Cepat dan tangkas. Jantungku berdebar. Entah kenapa.
“Selamat pagi, opa”, sapaku seramah mungkin sambil senyum tetap pada tempatnya.
Ia hanya mengangguk sembari cepat berlalu. Aku sedikit kecewa dengan respons seperti itu. Aku mulai bertanya-tanya mengapa dia bersikap demikian. Semenjak itu, aku hanya berusaha ramah dengan kakek itu tanpa mengharapkan balasan yang baik.
***
Liburan telah usai. Malam sebelum keberangkatan ke seminari, aku termenung lagi di depan rumah. Aku memikirkan sosok uzur yang selama ini lewat depan rumah kami. Pikiranku hanya tertuju kepadanya. Jauh sampai ke rumahnya. Yang menjadi aneh adalah bahwa ibu selalu menghindar atau mengalihkan pembicaraan ketika aku bertanya soal kakek itu. Malam masih berbintang di sana, pikiranku masih tetap pada jalannya. Tak mau berpindah.
Sampai suara ibu menghalau pikiranku, “Sudahlah, kau tidak perlu memikirkan hal yang tidak penting bagimu. Istirahatlah agar besok kau pulang ke sekolahmu dengan segar. Ibu tidak mau kamu sakit,” kata Ibu sambil mengusap pundakku.
Aku tak ingin menjawab atau membantah sebab aku tahu semuanya akan sama saja. Akhirnya dengan berat hati, akupun masuk ke dalam rumah dan siap untuk tidur. Ups.. hampir saja aku lupa satu ritual. Dalam doaku malam ini, kutitipkan selembar doa untuk kakek itu, semoga masih dapat bersua dengan dia. Nanti.
***
Liburan kali ini lebih panjang dari biasanya karena aku telah menyelesaikan UN. Hari-hariku di rumah menjadi lebih panjang dan sibuk. Aku ingin menghabiskan masa liburan ini untuk membantu di rumah. Apa saja. Aku ini mencurahkan semua perhatian ke rumah ini. Terkhusus ke Ibu. Hal ini aku lakukan karena tak lama lagi aku harus berpisah dengan Ibu. Kali ini, rutinitasku pun bertambah. Aku harus belajar masak. Mengolah cinta dalam kepadatan makanan sembari terus menyebar kasih.
Hingga pada suatu pagi, aku tergegas bangun untuk mengambil ahli kesibukan di dapur. Ibu tak kelihatan di sana. Aku berpikir mungkin Ibu mengikuti Misa pagi di gereja. Dugaanku meleset, Ibu tergesa-gesa pulang ke rumah. Dari jalan ibu sudah berteriak memanggil namaku. Aku terkesirap. Apa yang telah terjadi.
“No, mari kita ke rumahnya Opa Ngongo. Dia butuh No secepatnya.”
“Ibu ini aneh. Selama ini aku bertanya tentang dia, Ibu selalu menghindar. Memangnya ada apa?” sengit aku berkata.
“Jangan banyak tanya. Ayo jalan,” desak Ibu tak kalah sengit.
Akhirnya akupun mengalah. Tak banyak bicara aku mengikuti Ibu ke rumah orang tua itu. Sesampainya di sana aku disambut dengan tangisan si istri. Aku bingung bercampur heran. Apa yang terjadi?
Akupun dibimbing masuk kamar. Di tempat tidur itu tergolek sosok rapuh yang terkulai tak berdaya. Aku makin bingung. Apa hubungannya denganku? Aku tak tahu hal-hal yang berkaitan dengan penyakit dan sejenisnya. Atau aku mungkin diminta untuk mendoakan kakek ini. Atau..
Pikiranku mulai dijejali bermacam-macam pertanyaan. Dan terjawablah. “Mendekatlah nak, aku ingin mencium bau kudusmu lebih dekat,” tabir perlahan dibuka.
“Opa minta maaf karena selama ini, opa selalu menghindar. Ini terjadi karena opa malu dengan No. Sekarang Opa mau bilang semua yang telah terjadi hingga opa selalu menghindar. Dulu engkau adalah seorang anak kecil yang sangat nakal. Pada suatu hari, engkau mencuri ayam kami. Mungkin tanpa sengaja tetapi itu membangkitkan amarah saya. Saking emosinya, sayapun akhirnya menyumpahi engkau. Kau tak akan menjadi orang baik…
Aku menggigil. Takut. Jangan-jangan sumpah ini akan menjadi kenyataan di hari nanti.
Lanjutnya, “Ternyata saya sadar bahwa saya salah dan sumpah itu sepertinya menghindar dari No. Sumpah itu hinggap di atas keberuntungan anak saya dan menjadikannya petaka. Maka, saya malu ketika bertemu dengan kau. Kau telah menjadi orang baik bahkan lebih dari itu. Kenyataan ini yang membuat saya malu.”
Air mataku menjebol bendungan yang tertahan sejak tadi. Aku membungkuk dan mencium tangan kakek itu. Lama sekali. Tanpa kata karena bagiku ciuman ini sudah mewakili kata-kata. Lantas aku menyesal dengan semuanya itu. Kenakalanku masa kecil harus dibayar mahal. Lagi kusematkan segenggam maaf di samping tempat tidur Opa. Oh Tuhan, Di mana kabarMu? Omega.
Chee Nardi Liman CSsR
HIDUP NO.10 2019, 10 Maret 2019