HIDUPKATOLIK.com – Bagaimana masa Prapaskah bisa menjadi salah satu masa dalam kalendarium Gereja?
Toni, Jakarta
Ada ungkapan kuno, dari tradisi awal Gereja, Lex orandi – Lex credendi, norma doa adalah norma iman. Dimaksudkan dengannya bahwa iman terutama terungkap dari cara umat berdoa, cara jemaat berliturgi. Kata liturgi yang pada mulanya berarti ‘karya publik’, kemudian dalam tradisi Kristiani diartikan sebagai umat Allah yang ikut ambil bagian dalam karya Allah, yang di dalamnya karya penebusan Allah dilanjutkan dan karenanya dirayakan. Oleh karena itu liturgi tidak berbicara sekadar hanya sebagai ibadat, namun juga memuat unsur pewartaan serta pelayanan kasih. Oleh Konsili Vatikan II ditegaskan liturgi sebagai perayaan akan karya keselamatan Kristus. Liturgi adalah tindakan Gereja, yang di dalamnya dilaksanakan serta dinyatakan Gereja sebagai tanda persekutuan antara Allah dengan manusia, melalui serta dalam Kristus, sehingga persekutuan hidup yang baru dibangun, sebagai umat yang diselamatkan sambil menantikan kepenuhan keselamatan itu.
Liturgi sejak dari tradisi awal secara khusus menjadi cara dan bentuk pewarisan dan penerusan tradisi apostolis. Umat beriman ingin membangun hidup mengikuti jejak para rasul, yang tiada lain adalah memeluk hidup Yesus. Yang menjadi intensi dasar adalah bagaimana membangun hidup seturut hidup Yesus. Hidup beriman bukanlah terutama soal rumusan ataupun aturan, namun lebih disadari sebagai soal hidup, atau cara bertindak. Tentu yang menjadi acuan adalah Yesus Kristus.
Oleh karena itu umat beriman berupaya sedemikian rupa untuk mengikuti jejak Kristus, hidup seperti hidup Yesus. Liturgi di sini mempunyai makna akan keikutsertaan umat beriman secara aktif akan ciri imami Gereja. Kalendarium liturgi Gereja dimaksudkan sebagai kenangan akan misteri hidup Yesus, mulai dari menjelang kedatangan hingga penantian akan kedatangan-Nya kembali kelak. Dalam perjalanan satu tahun, Gereja memaparkan seluruh misteri hidup Kristus.
Puncak tahun liturgi adalah perayaan misteri Paskah, peristiwa penyelamatan oleh dan dalam Yesus Kristus. Oleh karena itu masa Prapaskah merupakan saat yang penting, sebab kita diajak mempersiapkan secara khusus perayaan Paskah. Masa Prapaskah dipakai sebagai masa untuk mendengarkan sabda, bertobat dengan puasa, doa dan tindakan amal kasih. Empat puluh hari mengingatkan secara khusus akan peristiwa pembebasan (exodus: keluaran) bangsa Israel menuju tanah terjanji, namun juga akan masa Yesus berpuasa, sebelum digoda oleh Setan (lih Mat 4:1-2; Mrk 1:13; Luk 4:1-2). Masa itu digambarkan dalam Injil sebagai masa padang gurun.
Dikatakan sebagai padang gurun, karena inilah masa kita bergulat, terlebih pergulatan antara kelemahan insani dan panggilan kesucian untuk mengikuti jejak hidup Yesus. Di satu sisi kita adalah pendosa, namun di sisi lain kita diundang untuk hidup dalam hadirat-Nya. Di dalam masa padang gurun kita diajak masuk dalam pergumulan, bagai bangsa Israel di padang gurun, bagai Yesus yang digodai oleh Iblis. Pergumulan seperti itu adalah proses pemurnian diri agar kita dapat semakin memperbaharui diri, diperdamaikan dengan Tuhan, yang juga mewujud dalam langkah rekonsiliasi dengan diri sendiri, sesama dan alam ciptaan.
Gambaran akan proses pemurnian dengan simbol akan masa 40 hari dikisahkan dalam Kitab Suci dan diteruskan oleh Gereja. Nuh mengalami bagaimana Allah hendak memurnikan bumi ciptaan-Nya ini dengan hujan selama 40 hari dan air bah selama 40 hari (lih Kej 7:4.17). Gambaran tersebut bisa kita sejajarkan dengan panggilan akan pertobatan yang diserukan Yunus, dengan ancaman akan penghancuran Niniwe (lih. Yun 3:4).
Dari sini kita bisa menyimak, betapa pentingnya masa Prapaskah dalam perjalanan tahun liturgi. Karenanya pertanyaannya bukan bagaimana Prapaskah masuk dalam kalendarium liturgi, namun mengapa masa Prapaskah menjadi masa yang begitu penting dalam tahun liturgi.
T. Krispurwana Cahyadi SJ
HIDUP NO.11 2019, 17 Maret 2019
