web page hit counter
Senin, 25 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Berjumpa, Berdialog, dan Bekerja Sama

Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Kunjungan Paus Fransiskus ke Uni Emirat Arab (UEA) lebih dari sekadar menoreh sejarah. Ada teladan untuk menciptakan persaudaraan dan perdamaian.

Valery Sanchez dan Gabriela Atehortua hanya dua gadis cilik biasa. Tak ada yang mengetahui nama dan kehidupan mereka, selain keluarga atau warga di sekitar tempat tinggal mereka. Semua tiba-tiba berubah pasca kejadian di Stadion Zayed Sports City, Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, Selasa, 5/2. Apalagi ketika foto, video, dan pemberitaan peristiwa tersebut beredar di jagat maya.

Valery dan Gabriela, bocah berusia delapan dan enam tahun itu, datang ke Stadion Zayed dengan intensi serupa dengan umat lain, melihat dan mengikuti Misa yang dipimpin oleh pemimpin umat Katolik sedunia. Selain itu, mereka ingin menyerahkan surat kepada Paus Fransiskus.

Semula mereka berada bersama umat lain yang membanjiri lokasi perayaan. Ada lebih dari 130 ribu umat di sana. Begitu Paus memasuki stadion, Valery dan Gabriela, perlahan-lahan memisahkan diri dari lautan umat. Mereka menyelinap dari bawah pagar pembatas dan berlari ke arah Paus. Meski nyaris gagal karena ditahan petugas keamanan, Paus melihat aksi dua gadis mungil itu. Ia menghentikan kendaraan dan meminta petugas untuk membawa anak-anak kecil itu kepadanya. “Dia berani. Saya suka itu. Anak itu memiliki sebuah masa depan,” kata Paus, seperti dilansir oleh The National, Rabu, 6/2.

Peristiwa Bersejarah
Valery, dalam wawancara dengan Khaleej Times, Jumat, 8/2, mengaku, dirinya mengira tak bisa bertemu langsung dengan Paus Fransiskus. Nyatanya, usaha gadis cilik asal Kolombia yang sudah lebih dari dua tahun tinggal bersama orangtuanya di UEA itu berbuah manis. Selain mendapat berkat dari Paus, Valery dan Gabriela berhasil memberikan surat dan lukisan yang mereka buat untuk penerus Takhta St Petrus itu. “Saya berharap ayah saya segera dibebaskan,” ujar Valery mengenai isi surat yang dibuatnya bersama Gabriela.

Dua gadis cilik ini punya nasib sama. Untuk sementara waktu, mereka tak bisa tinggal dan berkumpul bersama ayah masing-masing. Ayah mereka mendekam di penjara sejak Februari 2016 karena terjerat kasus perampokan rumah. Pengadilan setempat menjatuhi hukuman penjara kepada mereka selama 13 tahun. “Kami berusaha membicarakannya dengan Paus. Sebab, di beberapa negara yang ia kunjungi, kadang ada amnesti untuk tahanan yang tak melakukan kekerasan. Kami melihat ini satu-satunya cara…Kami hanya ingin putri-putri kami dapat bersatu kembali dengan ayahnya demi kebaikan,” ungkap Andrea Sanchez dan Jessica Atehortua, ibu dari Valery dan Gabriela.

Mitchelle Sequeira, umat Paroki St Maria Dubai, juga merasa sangat bahagia dapat mengikuti Perayaan Ekaristi yang dipimpin langsung oleh Paus Fransiskus. Pengalaman itu seakan menggemburkan kembali kenangannya pada peristiwa tahun 1986 di Mumbai, India. Ia mengikuti Misa yang dipimpin oleh Uskup Roma, Paus Yohanes Paulus II.

Baca Juga:  Buah-buah Sinode III Keuskupan Sibolga Harus Menjadi Milik Seluruh Umat

Saat itu, kenang Mitchelle, dirinya menjadi anggota kor Misa tersebut. Posisi petugas liturgi itu berada di dekat panggung utama sehingga jarak antara dirinya dengan Paus amat dekat. Tahun ini, ia hanya bisa menatap Paus dari kejauhan. Mitchelle berada di luar stadion karena situasi di dalam sana tak memungkinkan bagi dirinya yang datang dengan membawa balita.

Meski begitu, guru Raffles International School ini tetap bahagia. Sebab, perayaan bersejarah tersebut bertepatan dengan ulang tahun ketiga putri kembarnya Abigail dan Melanie. “(Peristiwa) Ini akan kami bawa sampai akhir hayat,” ujar Mitchelle kepada Khaleej Times, Selasa, 5/2.

Perasaan serupa juga diungkapkan oleh Joshua Sebastian. Kepada CNBC, Selasa, 5/2, umat Katolik asal Kerala, India itu mengakui bahwa dirinya dan juga banyak umat Katolik lain hanya bisa melihat Paus di YouTube. Sehingga, kesempatan kali ini, dapat menyaksikan pemimpin tertinggi Gereja Katolik Roma, merupakan rahmat luar biasa dan pengalaman berarti bagi dirinya.

Ini merupakan kunjungan perdana pemimpin Gereja Katolik Roma ke sebuah negara di Teluk Arab. Peristiwa itu juga menjadi pengalaman pertama digelar ibadat keagamaan, selain Islam, di area terbuka. Selama ini, umat Katolik merayakan Misa hanya di gereja.

Peristiwa bersejarah dan spiritual mendorong Sarika Yaqoob ke Abu Dhabi. Dengan memboyong seluruh keluarga, perempuan asal Pakistan itu berangkat dari Dubai pada tengah malam. Mereka tiba hari Selasa pukul tiga dini hari di ibu kota UEA. Padahal pintu Stadion Zayed Sports City baru dibuka untuk umat pukul 17.00 waktu setempat.

Area parkir di dekat stadion menurut Yaqoob sudah penuh. Akses jalan menuju ke sana juga macet. Kondisi seperti itu memaksa Yaqoob memarkir kendaraannya sejauh lebih dari sembilan kilo meter dari lokasi acara. Ia bersama keluarga berjalan kaki menuju stadion. “(Meski berjalan jauh) Kami tidak lelah. Kami sangat bersemangat. Peristiwa itu mungkin hanya bisa Anda saksikan (secara langsung) sekali seumur hidup. Ini adalah sesuatu yang sangat menarik,” ungkapnya kepada CNBC.

Menurut laporan Crux, hari itu terdapat lebih dari 130 ribu umat dari 100 negara yang mengikuti Misa bersama Paus di Stadion Zayed. Sementara umat Katolik mengikuti Perayaan Ekaristi, umat Islam ekspatriat menjadi relawan untuk mengatur perayaan tersebut berlangsung optimal.

Agen Perdamaian
Kunjungan Paus Fransiskus ke UEA serta pertemuan dan penandatanganan “Dokumen Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama” dengan Imam Besar Al-Azhar Sheikh Ahmed al-Tayeb menuai banyak pujian baik dari umat maupun tokoh agama dan masyarakat di berbagai penjuru dunia, termasuk dari Indonesia.

Baca Juga:  Keuskupan Sibolga Lima Tahun ke Depan

Ketua Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia, Mgr Yohanes Harun Yuwono, mengatakan, kedatangan Paus Fransiskus ke UEA merupakan kunjungan persaudaraan untuk perdamaian antarmanusia. Kunjungan itu mengulang misi 800 tahun lalu yang dilakukan oleh St Fransiskus Asisi.

Mgr Yuwono berharap, niat tulus itu semoga dapat menyemai benih kebaikan dan menyadarkan semua orang akan perlunya persaudaraan sejati, jauh dari diskriminatif, dan tak membeda-bedakan latar belakang apa pun. “Saya bangga dengan Paus Fransiskus yang peka mengingat sejarah dan berani mengulangi dan memulai lagi untuk melakukan misi perdamaian dan persaudaraan sejati dalam kemanusiaan,” ungkapnya.

Guru besar Teologi dari Georgetown University dan Penasehat Dewan Parlemen Agama-agama di Dunia, Pastor Leo D. Lefebure, mengungkapkan, pertemuan antara Paus Fransiskus dengan dewan pimpinan umat Islam, teristimewa Sheikh Ahmed al-Tayeb merupakan kesempatan dan pernyataan bersama bahwa kita adalah ciptaan Tuhan yang sama, dan memanggil kita untuk saling mengasihi serta menyayangi semua ciptaan-Nya. Kita bekerja sama demi nilai-nilai kemanusiaan. Ini juga merupakan tantangan bagi semua pemerintah di seluruh dunia untuk mengimplementasikannya.

Paus Fransiskus, tambah imam Keuskupan Agung Chicago ini, sedang memastikan budaya universal di mana umat Islam dan Kristen bekerja sama dalam persaudaraan untuk nilai-nilai kemanusiaan. Sebagai umat Katolik, harap Pastor Lefebure, kita harus melakukan apa pun untuk memahami deklarasi itu, bisa dengan membacanya, mendiskusikan, atau mendorong orang lain untuk membacanya. “Saya kira ini bisa menjadi platform untuk diskusi yang lebih dalam antara Muslim dan Kristen untuk mewujudkan nilai-nilai umum dan mengancam mereka yang menggunakan agama sebagai dalih ketidaksucian atau kekerasan,” ujarnya.

Pastor Hariawan Adji OCarm memandang sangat positif langkah serta upaya Paus Fransiskus untuk membangun jembatan dialog dengan komunitas Islam di seluruh dunia. Setelah bertandang ke UEA, Paus Fransiskus berencana melakukan kunjungan apostolik ke Maroko akhir Maret nanti.

Bercermin dari peristiwa itu sembari melihat situasi dunia dan Indonesia, maka menurut doktor bidang studi Hubungan Antaragama Universitas Gadjah Mada Yogyakarta itu, dialog antaragama menjadi gerakan paling penting saat ini. “Ketika berjumpa pasti ada konflik ataupun kerja sama. Itu sesuatu yang wajar dalam setiap perjumpaan. Dialog antaragama ini menjadi penting karena konflik-konflik antaragama bisa dihindari,” ujarnya dalam wawancara di Tomang, Jakarta Barat, Sabtu, 9/2.

Perwakilan UN Women untuk Indonesia dan Penghubung untuk ASEAN, Sabine Machl, menyebut pertemuan dan penandatanganan dokumen persaudaraan manusia antara dua tokoh agama di UEA menjadi pijakan untuk merawat kemanusiaan. “Kemanusiaan adalah hal pertama yang harus diutamakan ketika kita berdiskusi tentang kesulitan-kesulitan yang dihadapi baik terhadap laki-laki maupun perempuan,” ungkapnya ketika ditemui usai Peluncuran Panduan Pelaksanaan Sembilan Indikator Desa/Kelurahan Damai, di Hotel The Sultan, Jakarta Pusat, Jumat, 8/2.

Baca Juga:  Buah-buah Sinode III Keuskupan Sibolga Harus Menjadi Milik Seluruh Umat

Machl mengakui, dampak dari pertemuan dan penandatanganan dokumen persaudaraan manusia itu membutuhkan waktu. Namun, niat dan gerakan mulia itu bisa menjadi contoh bahwa dalam menciptakan perdamaian, harus bisa mendengarkan apa yang disuarakan oleh laki-laki, perempuan, dan anak-anak dalam komunitas masyarakat. “Semoga pertemuan itu mempengaruhi cara kita berpikir, berinteraksi, dan melihat sesama sebagai manusia tanpa ada batasan definisi apapun,” harapnya.

Direktur Wahid Institute, Yenny Wahid, juga menyebut pertemuan dan penandatanganan dokumen persaudaraan manusia antara Paus Fransiskus dengan Sheikh Ahmed al-Tayeb membawa kesejukan untuk semakin terciptanya perdamaian antarumat agama samawi itu. “Betul-betul membawa kesejukan, menjadi simbol perdamaian, simbol adanya komitmen untuk terus menggelorakan toleransi, perdamaian, dan (membangun) dialog antaragama. Perbedaan itu seharusnya memperkaya, bukan memisahkan kita,” ujarnya.

Yenny berharap, pertemuan dua tokoh agama itu bisa menginspirasi semakin banyak kehadiran agen perdamaian. “Dalam hal ini, perempuan mempunyai potensi besar di tengah masyarakat. Data menunjukkan, perempuan lebih toleran. Sehingga ketika perempuan diaktifkan, difasilitasi, dan dikuatkan untuk menjadi agen perdamaian, amplifikasi dampaknya sangat luas, bukan hanya kepada keluarganya tapi bisa juga ke komunitas dan bahkan ke bangsanya,” saran salah satu pendiri Wahid Foundation, yang juga putri dari presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid, Jumat, 8/2.

Upaya Bersama
Kunjungan Paus ke UEA, pertemuannya dengan tokoh-tokoh agama, serta penandatangan Dokumen Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama dengan Sheikh Ahmed al-Tayeb di Abu Dhabi seakan hendak menegaskan sekaligus mengajak kembali secara khusus kepada umat Katolik untuk membangun persaudaraan dan menciptakan perdamaian.

Buah-buah kebaikan itu tak didapat atau dituai secara cuma-cuma, tapi perlu diupayakan bersama. Langkah ini yang menurut Paus Fransiskus menuntut tanggung jawab yang lebih besar bagi semua yakni ada kesepahaman bersama tentang nilai-nilai mulia itu, saling menghormati, dan membangun dialog serta kerja sama.

Langkah ini bisa terwujud pertama-tama mengadaikan adanya perjumpaan antarmanusia. Karena itu, saat berkunjung ke Bangladesh pada 2017, Paus berpesan kepada umatnya untuk membentuk budaya perjumpaan, lalu berdialog, dan bekerja sama untuk melayani sesama manusia sebagai satu keluarga. Langkah-langkah inilah yang sudah, sedang, dan akan selalu dijalani Fransiskus selama masa kepausannya.

Yanuari Marwanto/Hermina Wulohering

HIDUP NO.08 2019, 24 Februari 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles