web page hit counter
Jumat, 22 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Nama yang Mewarnai Palangka Raya

4/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Pengabdian Tjilik Riwut terekam bahkan di setiap inci Kota Palangka Raya. Jasanya begitu besar, dan warisannya masih tetap lestari hingga kini.

Bundaran besar Palangka Raya merupakan titik nol ibukota Provinsi Kalimantan Tengah. Gedung-gedung penting mengitari bundaran tersebut, seperti Kantor Gubernur Kalimantan Tengah. Rumah jabatan gubernur tak jauh dari titik strategis itu. Di kilometer 1 Kota itu, berdiri Gereja Katedral Santa Perawan Maria Palangka Raya.

Gereja Katolik boleh mendapatkan privilege ini berkat kemurahan hati sang gubernur pertama, Anacletus Tjilik Riwut. Uskup Palangka Raya, Mgr. AM Sutrisnaatmaka, MSF mengatakan, Tjilik memiliki jasa besar bagi Gereja Katolik di Palangka Raya. “Kami diberi kesempatan yang sebaik-baiknya untuk memulai gereja dan pastoran di Km 1,” ujar Mgr Sutrisnaatmaka.

Tidak hanya lokasi yang strategis, tanah hibahan itu juga sangat luas. Kepala Paroki Katedral Santa Maria Palangka Raya, Pastor Patris Alu Tampu, mengatakan, Tjilik memberikan lebih dari lima hektar tanah kepada Gereja. Namun, ukuran tanah yang diberikan saat itu, dirasakan terlalu besar. Sehingga Gereja tidak mengambil semuanya. Vikaris Apostolik Banjarmasin saat itu Mgr. W. Demarteau MSF tidak ingin Gereja menjadi tuan tanah.

Gereja lalu menghibahkan sebagian tanah yang diterima itu kepada Kepolisian Daerah Kalimantan Tengah. Alhasil, Polda Kalteng kini terletak persis di samping kompleks Katedral Santa Maria Palangka Raya.

Membangun Gereja
Palangka Raya baru menjadi keuskupan pada tahun 1993 sebagai pemekaran dari Keuskupan Banjarmasin. Saat itu tepat 36 tahun setelah Kalimantan Tengah resmi berdiri menjadi provinsi sendiri. Antara tahun 1959 sampai 1961, ada sebuah stasi di Palangka Raya. Komunitas kecil ini menjadi bagian dari Paroki St Mateus Kuala Kapuas yang dilayani secara bergantian oleh pastor-pastor dari Banjarmasin. Imam yang berkarya di sana antara lain Pastor FX Satiman, Pastor JV Hecke, MSF, Pastor GH Brost, MSF, Pastor G. Heine, MSF, dan Pastor M. Doto Hendro, MSF.

Awalnya, pada tahun 1960, Gereja Katolik mendapat bantuan sebidang tanah seluas satu hektar dari pemerintah daerah. Tanah itu terletak di daerah Bukit Hindu, Palangka Raya. Segera setelah memperoleh tanah tersebut, Gereja pun merencanakan pembangunan gedung. Rapat Panitia Pembangunan Gereja Katolik dilakukan pada 3 Oktober 1960, bertempat di lapangan terbuka yang merupakan lokasi rencana pembangunan gereja, di bawah tenda milik TNI. Rapat tersebut dihadiri oleh Mgr Demarteau, Pastor Karl Kleine, MSF, Pastor G. Heine, MSF, J. Soewardyo, W. Mangun dan istri, Prantiyo dan istri, Thomas Suhadi dan istri, Simon Nuga, Lopek, Lukas Kobang, Clementine Suparti (istri Tjilik Riwut) dan Theresia Rudhe. Hasil keputusan rapat tersebut langsung dibawa oleh Mgr Demarteau ke Banjarmasin.

Setahun setelahnya, pemerintah daerah dan Panitia Pembangunan Gereja Katolik sepakat menetapkan lokasi tanah untuk berdirinya gereja Katolik di Jalan Oesman Baboe yang kini menjadi Jalan Tjilik Riwut. Sementara gereja dibangun, ibadat sabda setiap Minggu diadakan dari rumah ke rumah umat secara bergiliran.

Baca Juga:  Keuskupan Sibolga Lima Tahun ke Depan

Saat itu setiap kali ibadat, konsumsi ditanggung oleh Clementine Suparti. Meskipun jumlah umat Katolik di Palangka Raya kala itu masih sedikit, dan jarak tempat tinggal yang berjauhan, semangat hidup menggerejanya dikatakan sangat tinggi. Salah seorang umat Paroki Katedral Santa Maria Palangka Raya, Goris Doni mengatakan, pada masa itu juga, satu-satunya mobil di Palangka Raya adalah mobil milik Gubernur Tjilik Riwut, digunakan untuk mengantar jemput umat mengikuti ibadat. “Hal itu dilakukan atas permintaan Ibu Clementine,” ujar Goris saat berjumpa di Pastoran Katedral Santa Maria, 17/1 lalu.

Atas permintaan Gubernur Tjilik Riwut, seorang imam lalu ditempatkan di Palangka Raya pada tahun 1963, yaitu Pastor Karl Klein, MSF. Pada 18 September 1964, kelompok kategorial Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI) Cabang Palangka Raya dibentuk. Dalam susunan pengurusnya, Pastor Karl Klein MSF menjadi moderator. Sedangkan bertindak sebagai pembina awam adalah Clementine Suparti. Sebagai organisasi wanita, WKRI Cabang Palangka Raya pun bergabung dalam Gerakan Organisasi Wanita yang diketuai oleh Clementine Suparti.

Seiring dengan pembangunan Kota Palangka Raya yang mulai tampak pada tahun 1959, dengan pembangunan kantor-kantor pemerintah, pusat-pusat perbelanjaan dan sarana-sarana lainnya, banyak pegawai negeri yang dipindah tugaskan dari Banjarmasin ke Palangka Raya. Sebagian dari para pegawai tersebut beragama Katolik sehingga menambah jumlah umat Katolik di Palangka Raya. Menurut Mgr. Sutrisnaatmaka, bertumbuhnya jumlah umat Katolik juga tidak bisa dilepaskan dari sosok Tjilik yang legendaris. “Dengan menjadi Katolik, Tjilik Riwut berjasa membawa orang-orang Dayak untuk ikut dalam Gereja Katolik,” kata Mgr. Sutrisnaatmaka, pada Rabu, 16/1. Pertumbuhan umat Katolik di Palangka Raya dan sekitarnya membuat gereja yang dibangun tak lagi cukup menampung jumlah umat.

Pada tahun 1965, pembangunan gereja baru dimulai, ditandai dengan peletakan batu pertama pembangunan Gereja Katolik Santa Maria oleh Mgr. Demarteau dan Gubernur Tjilik Riwut dengan disaksikan oleh pastor paroki beserta segenap umatnya. Letak batu pertama tersebut di sebuah tembok berbentuk kotak berlapis baja di sebelah kanan altar. Pastor Patris Alu Tampu mengatakan pihak paroki tidak bisa memastikan isi di dalam kotak baja tersebut. “Kami tidak tahu pasti apa yang ada dalam kotak ini, namun sebagian pihak meyakini dokumen pembangunan gereja yang ada di dalamnya,” ujar Pastor Patris. Pihak paroki pernah mencoba membongkar kotak tersebut, namun timbul kontroversi di kalangan umat. Kebanyakan umat meminta kotak tersebut tidak diganggu-gugat karena merupakan bagian dari sejarah.

Dalam pembangunan gereja ini, Tjilik berpesan kepada sang arsitek, Br. Longinus, MSF, agar memasukkan unsur-unsur angka 17, 8, dan 45. Demikianlah gereja ini dibangun berbentuk prisma segi delapan dengan tiang penyangga berjumlah 17. Batu ubin pertama di altar dibuat berjumlah 45 buah. Seluruh biaya pembangunan gereja ini ditanggung oleh Keuskupan Banjarmasin. Gereja ini juga menjadi Katedral Palangka Raya yang pertama.

Baca Juga:  Buah-buah Sinode III Keuskupan Sibolga Harus Menjadi Milik Seluruh Umat

Setelah 36 tahun, gereja tersebut dialihfungsikan menjadi gedung serba guna dengan menyematkan nama Tjilik Riwut. Keuskupan Palangka Raya telah mempunyai katedral baru per tahun 1999 dengan kapasitas yang jauh lebih besar.

Di dalam kompleks gereja itu, kemudian dibuka SDK St. Don Bosco dan SMPK St. Paulus pada tahun 1967. Sekolah ini didirikan oleh tokoh-tokoh umat di bawah koordinasi Pastor Karl dan Tjilik. Saat ini telah dibuka juga TK Katolik St. Maria, SMAK Petrus Kanisius, Seminari Menengah Raja Damai dan STIPAS Tahasak Danum Pambelum.

Hadirnya Tjilik sebagai tokoh Katolik tak dapat dipungkiri memang berjasa dalam memberikan beberapa kemudahan bagi Gereja Katolik di Palangka Raya. Sebagai seorang pemimpin masyarakat, Tjilik tidak dapat dipisahkan dari Kalimantan, secara khusus Kalimantan Tengah.

Membangun Daerah
Tjilik Riwut berjasa atas bergabungnya Kalimantan dengan NKRI. Pada 17 Desember 1946, ia mengangkat sumpah setia di hadapan Presiden Soekarno. Dengan didahului ritual adat Dayak, Tjikik memimpin pemuda-pemuda Dayak menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia. Sumpah setia yang dilakukan di Gedung Agung, Yogyakarta itu mengatasnamakan 142 suku Dayak yang tersebar di seluruh Kalimantan.

Dalam karier militernya, Tjilik Riwut memimpin Pasukan MN 1001 dalam operasi penerjunan pasukan payung pertama dalam sejarah Tentara Nasional Indonesia pada tanggal 17 Oktober 1947. Hari itu kemudian ditetapkan sebagai Hari Pasukan Khas TNI-AU. Pangkat Tjilik saat itu adalah Mayor TNI ia bertugas di Yogyakarta yang ketika itu menjadi pusat pemerintahan RI. Sampai akhir karier militernya, pangkat terakhirnya adalah Marsekal Pertama Kehormatan TNI-AU.

Selesai dalam karier militernya, Tjilik memfokuskan perjuangannya untuk membangun daerah. Ia menjadi gubernur Kalimantan Tengah yang pertama. Dengan Undang-Undang Darurat Nomor 10 Tahun 1957 tanggal 23 Mei 1957 kemudian disahkan dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1958 tanggal 17 Juni 1958 sebagai dasar hukum, Provinsi Otonom Kalimantan Tengah secara resmi berdiri sebagai provinsi Indonesia yang ke-17.

Provinsi Kalimantan Tengah yang dilahirkan oleh Kabinet Karya, kabinet yang ke-17, kala itu tidak mempunyai ibu kota sebagai tempat pemerintah daerah berkedudukan. Kota Palangka Raya sebagai ibu kota Kalimantan Tengah pun dibangun atas prakarsa Tjilik. Pada tahun 1958, dengan persetujuan dan dukungan pemerintah pusat, Desa Pahandut di tengah hutan belantara dan handut (ladang) dijadikan ibu kota provinsi. Pembangunannya sebagai ibu kota pun terus diintensifkan sampai kemudian menjadi Palangka Raya seperti saat ini.

Penancapan tiang pertama (mantejek jihi ije solake) yang menandai pembangunan Kota Palangka Raya dilakukan oleh Presiden Pertama RI, Ir. Soekarno pada 17 Juli 1957 tepatnya pada pukul 10:17. Tempat itu kini menjadi tempat wisata sejarah yang dikenal sebagai Tugu Soekarno, terletak persis depan gedung DPR Provinsi Kalimantan Tengah. Presiden Soekarno mempunyai hubungan yang dekat dengan Tjilik.

Baca Juga:  Keuskupan Sibolga Lima Tahun ke Depan

Tjilik menjadi gubernur Kalimantan Tengah selama dua periode masa jabatan, dari tahun 1958 sampai dengan 1967. Ia dikenang sebagai pemimpin yang dekat dengan masyarakat, jujur dan berkomitmen dalam membangun daerahnya. Sejak masa pemerintahan Tjilik, Kota Palangka Raya sudah dicanangkan menjadi ibu kota negara. Kota baru itu ditata dan didesain dengan rapi.

Sebagai seorang yang pernah menjelajah Kalimantan dan berkecimpung dalam dunia jurnalistik, Tjilik juga mewariskan literasi penting tentang Kalimantan. Banyak karya tulis yang ia hasilkan, antara lain Makanan Dayak (1948), Sejarah Kalimantan (1952), Maneser Panatau Tatu Hiang (1965), dan Kalimantan Membangun (1979). Untuk mengenang Tjilik, namanya diabadikan sebagai nama jalan protokol di Kalimantan Tengah. Jalan sepanjang 222 kilometer itu membentang dari titik nol Palangka Raya, di mana terdapat patung Marsekal Pertama TNI (HOR) (Purn.) Tjilik Riwut, dan melewati tiga kabupaten yaitu Kota Palangka Raya, Katingan, dan Kotawaringin Timur.

Mengabadikan Tjilik Riwut
Nama Tjilik pun diabadikan sebagai nama bandara Palangka Raya. Meskipun ia tidak pernah menjadi bagian dari Kepolisian RI, namanya dipakai untuk Sekolah Polisi Negara Tjilik Riwut Palangka Raya. Kepala Dinas Pariwisata Kalimantan Tengah, Guntur Talajan, mengatakan, selain berjasa bagi pembangunan Kalimantan Tengah, Tjilik juga berjasa dalam hal seni dan budaya Dayak.

Kearifan lokal hasupa hasundau yang dilakukan Tjilik pada masa pemerintahannya, kini kembali digiatkan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah. Setiap bulan tanggal 17, Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah menggelar upacara bendera gabungan yang juga dinamakan hasupa hasundau di halaman kantor gubernur. Guntur mengatakan, sikap hidup Tjilik juga patut menjadi teladan para pemimpin dan generasi muda Kalimantan Tengah. “Karakternya sangat sederhana. Beliau juga menyatukan, memanggil kembali putra-putri Kalimantan Tengah yang berada di luar dan merangkul yang berasal dari provinsi lain,” tambah Guntur.

Guntur mengatakan, Tjilik adalah pemimpin dengan wawasan kebangsaan dan visi yang jauh ke depan. Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, kata Guntur, akan mempelajari beberapa tempat peninggalan Tjilik untuk dijadikan cagar budaya. “Tentunya kami akan pelajari persyaratannya juga dan membahasnya dengan keluarga,” ujarnya saat ditemui
usai rapat terkait peresmian bandara baru Tjilik Riwut, Jumat, 18/1.

Di Bandara Tjilik Riwut kini telah selesai dibangun juga sebuah terminal baru. Rencananya, terminal ini akan diresmikan pada 7 Februari mendatang. Guntur berharap Bandara Tjilik Riwut bisa menjadi bandara internasional sehingga Palangka Raya bisa menjadi pintu masuk pariwisata melalui bandaranya.

Hermina Wulohering

HIDUP NO.05 2019, 3 Februari 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles