HIDUPKATOLIK.com – Valentine adalah momen yang berharga bagi orang yang mendambakan cinta. Mengapa berharga? Karena cinta memiliki daya pikat tersendiri. Maka, tulisan ini mengajak kita untuk bersama–sama mengembara bersama cinta. Cinta menjadi hal essensial karena merupakan dasar atau fondasi untuk merajut persaudaraan di tengah hidup bersama dalam komunitas tertentu.
Persaudaraan akan menjadi langgeng, jika dijiwai cinta. Maka, ketika berbicara tentang cinta berarti berbicara tentang persaudaraan. Sebab, persaudaraan ada, karena ada cinta. Menjadi miris, kalau ada orang hidup dalam persaudaraan tetapi tidak pernah merasakan cinta.
Bukan sesuatu yang baru, ketika orang berbicara tentang cinta dalam persaudaraan. Pengalaman hidup bersama dalam persaudaraan, pasti pernah mengalami suka duka cinta. Maka, dilatar belakang tulisan ini, penulis mencoba berusaha menyoroti “kedukaan” hidup persaudaraan.
Saat ini saya sedang dan hidup dalam sebuah komunitas yang “mengaku” hidup persaudaraannya sangat dijunjung tinggi. Bukan hanya itu, persaudaraan bahkan menjadi spiritualitas yang dihayati dan dijalani oleh setiap saudara yang hidup dalam persaudaraan.
Sejauh yang penulis lihat dan alami, hidup persaudaraan yang sedang penulis jalani belum sepenuhnya dijiwai cinta. Dalam hal ini persaudaraan hanya ucapan mulut belaka, belum menyentuh arti persaudaraan sesungguhnya. Hal ini, penulis lihat dan saksikan sendiri, bahwa terjadi miskomunikasi antar saudara.
Hidup dalam komunitas yang sama, satu meja makan, satu tempat bermain, tetapi komunikasi masih kaku. Mengiformasikan sesuatu masih menggunakan media sosial, seperti WA, FB, dll. Padahal setiap hari bertatapan di lorong dan pintu jendela kamar saling berhadapan. Berhadapan dengan situasi krusial seperti ini, maka pertanyaan yang sering muncul adalah apakah ini namanya persaudaraan? Ataukah persaudaraan itu hanya ucapan mulut belaka?
Makna Valentine dalam Persaudaraan
Berbicara tentang valentine berarti berbicara tentang cinta. Maka, yang menjadi sorotan penulis adalah cinta. Ada beberapa ahli berusaha coba mengartikan cinta berdasarkan pengalaman mereka masing – masing, seperti “cinta itu buta (amor caecus)”.
Yang lain mengatakan “cinta itu soal memberi dan menerima”. Maka, cinta seperti ini tidak mewakili arti cinta sesungguhya. Kalau demikian, seperti apakah cinta otentik itu? Menjawab pertanyaan ini penulis berusaha memaparkan pengertian cinta yang sesungguh dalam kaitan dengan hidup persaudaraan.
Baca juga: https://www.hidupkatolik.com/2017/11/24/15073/martir-cinta-pejuang-rekonsiliasi/
Pertama, Plato, filsuf termasyur zaman Yunani kuno menyebut cinta agape. Cinta ini menuntut pengorbanan diri tanpa menuntut balasan. Ia mencakupi semua orang tanpa pandang bulu. Kedua, selalu menginginkan yang terbaik dan menolak setiap cara yang menyudutkannya.
Ketiga, Vergilius menyebut cinta seperti api dan air. Sebagai api, cinta membakar kedengkian dan kecemburuan hati manusia. Sebagai air, ia mendingingkan hati yang sombong yang selalu mendominasi dan menyudutkan orang lain.
Keempat, cinta itu sabar (amor patitus moras). Rasul Paulus kepada Jemaat di Korintus mengatakan “kasih itu sabar; kasih itu murah hati, ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu (1 Kor 13:4-7)”. Jadi, sifat dasar dari cinta ini adalah keberanian untuk menerobos batas-batas dan mendekati orang lain dengan cinta.
Sebagai akhir dari tulisan ini penulis terkesan dengan perkataan Victor Frankl dalam bukunya berjudul Manusia Mencari Makna. “Suatu pikiran melintas dibenakku untuk pertama kalinya dalam hidup, kulihat kebenaran. Kebenaran itu ialah cinta merupakan tujuan termulia dan tertinggi yang diidam-idamkan oleh manusia.”
Paus Benediktus XVI mengatakan “barangsiapa yang mau menghapus cinta (kasih), mulai menghapus manusia sebagai manusia.” Dengan demikian, mencintai adalah kodrat manusia. “Amo Ergo Sum – Aku Mencintai, Karena itu Aku Ada.”
Ignas Randut