HIDUPKATOLIK.com – Pengasuh yang terkasih, tetangga saya telah menikah beda agama tujuh tahun lalu. Tetapi, tiga tahun lalu istrinya pergi bekerja di suatu tempat yang jauh. Lalu, sang suami berpacaran dengan perempuan lain. Mereka sangat aktif dalam pelayanan Gereja. Baru-baru ini, saya mendengar bahwa mereka telah mengajukan permohonan untuk menikah secara Katolik. Bagaimana ini? Mohon penjelasan.
Lindawati P., Medan
Ibu Lindawati yang baik, saya kagum dengan perhatian Ibu terhadap sesama seiman. Dengan tulus, Ibu ingin mendapat kejelasan status perkawinan yang secara umum bisa dipertanyakan, dan barangkali menjadi batu sandungan bagi orang banyak. Sikap seperti ini perlu, untuk membantu sesama menghayati imannya secara benar, dan menunjukkan perhatian terhadap iman bersama.
Kita memang tidak tahu dengan jelas apa yang terjadi dalam keluarga tetangga Ibu. Tetapi, jelas mereka terkena ketentuan hukum, bahwa perkawinan di Gereja Katolik mempunyai tujuan kesejahteraan dan kebaikan dua pihak yang menikah. Karena itu, Gereja Katolik menganut paham monogami dan tak terceraikan seumur hidup. Semoga hal ini jelas dan menjadi landasan utama berpikir, untuk memahami penjelasan di bawah ini.
Pernikahan yang pertama tetangga Ibu itu tentu harus diselidiki sah atau tidaknya. Jika pasangan tersebut menikah resmi di Gereja Katolik, berarti mereka menikah sah dan tak terceraikan seumur hidup. Tetapi, jika pernikahan campur beda agama itu cacat dalam penyelenggaraannya (istilahnya: cacat forma canonica). Misalnya apabila pernikahan diselenggarakan di tempat ibadah agama pasangannya yang berbeda iman itu, maka pernikahannya menjadi tidak sah secara Gerejani. Konsekuensinya, pasangan itu dianggap belum menikah dan dengan demikian mendapat kesempatan untuk menikah dengan orang lain. Ini tidak berarti pernikahan baru, karena pernikahan pertama memang tidak ada secara Gerejani.
Dalam pernikahan campur beda agama, atau menikah dengan orang yang tidak dibaptis, status perkawinannya adalah “nonsakramen” atau bukan sakramen. Ibu Lindawati tentu tahu, bahwa setiap perkawinan sakramen yang sudah disempurnakan dengan persetubuhan, bersifat kekal dan tidak terceraikan (KHK 1141). Tetapi, tidak demikian dengan pernikahan yang tidak berstatus sakramen. Dengan alasan yang berat, pernikahan ini dapat diceraikan.
Konsekuensinya, pernikahan ini bisa diputuskan. Misalnya, pihak Katolik ditinggalkan pasangannya, dan pasangannya itu menikah lagi, sehingga pihak Katolik tidak bisa mempertahankannya. Pihak Katolik dalam hal ini adalah korban dan bukan penyebab perceraian. Maka, pihak Katolik mempunyai hak untuk menikah lagi.
Alasan lain yang mungkin adalah orang berpisah demi imannya, ketika kehidupan beriman menjadi begitu sulit dan mustahil bersama pasangan beda agama itu. Kemustahilan menjaga iman dalam hidup perkawinan itu, membuat mereka dimungkinkan untuk bercerai. Kuasa menceraikan ini diberikan kepada Takhta Suci, yang disebut previlegi petrinum (dari kata Petrus).
Jika akhirnya Gereja memberi izin atau dispensasi untuk menikah lagi, haruslah diperoleh alasan yang kuat dan jelas. Permohonan ini bisa disetujui kalau disertai proses administratif dan informatif, melalui pengumpulan informasi dan dokumen-dokumen.
Penyelidikan akan menyangkut beberapa syarat kondisi tadi, yaitu bahwa pihak Katolik dipastikan bukan penyebab perceraian atau perpisahan itu. Dia tidak bisa mempertahankan perkawinannya karena persoalan iman atau hal lain yang tidak terobati lagi. Hal lain yang penting, dia diizinkan menikah hanya dengan orang Katolik, agar tak timbul kesulitan yang sama pada masa mendatang.
Demikian tanggapan saya, semoga sesudah ini Ibu Lindawati dan para pembaca lain makin mengerti konsekuensi menikah campur. Konsultasi dan diskusi dengan romo paroki pasti akan sangat membantu saudara-saudari menyelesaikan masalah dalam perkawinannya. Tuhan memberkati.
Alexander Erwin Santoso MSF
HIDUP NO.50 2018, 16 Desember 2018