HIDUPKATOLIK.com – Nama imam sederhana yang membumi ini tak pernah lekang oleh waktu. Darah kemartirannya terus mengalir ke jantung Gereja Indonesia.
Tanggal 20 Desember tahun ini tepat 70 tahun Pastor Richardus Kardis Sandjaja wafat dalam sebuah peristiwa pembunuhan. Gereja Katolik Keuskupan Agung Semarang (KAS) memandang peristiwa ini sebagai sebuah kemartiran. Karenanya, nama Pastor Sandjaja banyak dipakai sebagai nama lembaga atau instansi gerejani keuskupan agung. Seminari Tahun Orientasi Rohani (TOR) Sanjaya, Jangli, Semarang adalah salah satunya.
Rektor Seminari TOR Sanjaya, Pastor Bernardus Irawan Heryuwono mengatakan, umat Katolik KAS mengenal Pastor Sandjaja pertama-tama sebagai martir tanah Jawa. Itulah yang membuat pendiri Seminari TOR Sanjaya ingin agar benih iman yang sudah mulai dibasahi dengan darah martir Pastor Sandjaja terus berlanjut.
Dalam konteks imamat Pastor Sandjaja merupakan imam projo pertama (bersama empat imam lainnya) bagi KAS. Imam projo waktu itu belum memiliki nama. Orang menyebutnya sebagai imam jagadan (dunia), yaitu imam yang hidup di tengah umat dan masyarakat.
Pastor Irawan mengatakan, satu nilai yang bisa ditemukan dalam diri Pastor Sandjaja adalah nilai kesederhanaan. Pribadi Pastor Sandjaja adalah pribadi yang sederhana, sesuai dengan semboyan hidupnya ‘dados pastor projo ingkah prasaja’ (jadi pastor projo yang sederhana).
Sebagai staf Seminari Menengah di Muntilan, ada nilai lain yang bisa dijumpai dalam Pastor Sandjaja. Ia memiliki intelektualitas yang baik. Bahkan baginya ada julukan sebagai ‘kamus kecil berjalan’. Artinya, Pastor Sandjaja merupakan sosok yang mempunyai komitmen, perhatian, dan juga kedalaman pengetahuan.
Menghidupi Semangatnya
Mendiang Mgr Johannes Pujasumarta ingin, agar para frater yang menjalani tahun rohani di TOR Sanjaya, dihidupi spiritualitas incarnatoris. Para calon imam dan imam dididik untuk membumi. Semangat ini telah dimulai dalam diri Pastor Sandjaja, seorang imam pribumi, imam projo, yang memulai gerakan itu di area KAS lalu menyebar ke seluruh tanah air.
Pastor Irawan bertutur, para frater pun diajak untuk menjadi calon imam yang membumi, dengan cara memberi perhatian kepada masyarakat sekitar dan menjadi bagian dari kehidupan bersama, termasuk kepada kelompok kecil, lemah, miskin, tersingkir, dan difabel (KLMTD).
Praksis dari laku ini, pada setiap Kamis sore, para frater berkegiatan mendampingi anak-anak yang kurang mendapat perhatian. Sedangkan pada pagi hari, para frater mengunjungi pasien-pasien di RS St Elizabeth Semarang. “Semua ini dilakukan supaya semangat membumi terinternalisasi di dalam diri para frater agar tidak menjadi orang yang berada di zona nyaman,” ujar Pastor Irawan.
Dalam kesehariannya, para frater juga diajak untuk menghidupi kesederhanaan itu. Sederhana itu artinya kita bisa tetap opo sing diparengke kuwi diopeni (apa yang diberikan itu yang dirawat). Ngopeni (merawat) itu bagian dari kesederhanaan. Dikembangkan juga belarasa prihatin. Maka walaupun fasilitas seminari sedemikian rupa, tetap ada pilihan: ‘mau tidur dengan kasur atau tidur dengan tikar’.
Uniknya, setiap Minggu malam pukul 21.30 para frater diajak menutup kegiatan dengan berdevosi kepada Pastor Sandjaja. Novena Pastor Sandjaja digunakan untuk mohon berkat, perlindungan, serta karunia Tuhan. Ini menjadi cara untuk menghidupi, mengingat dan membatinkan apa yang dimulai dengan baik oleh tercurahnya darah sang “martir”. Devosi ini selalu dibuka dengan lagu hymne Pastor Sandjaja ciptaan Pastor Yosafat Dhani Puspantoro.
Mengenang Kemartiran
Setiap menjelang hari wafatnya Pastor Sandjaja, disiapkan kegiatan khusus berupa hari studi dan napak tilas Pastor Sandjaja. Selain itu, diadakan juga Perayaan Ekaristi di makam Pastor Sandjaja. Kegiatan ini dilakukan bersama Museum Misi Muntilan, sebagai tempat di mana Pastor Sandjaja lahir, berkarya, dan mengembuskan nafas terakhirnya. Pada peringatan 70 tahun kemartiran Pastor Sandjaja, Seminari TOR Sanjaya kembali akan melakukan hal rutin ini.
Pada tanggal 20 Desember malam, para frater mengadakan tirakatan untuk mengenangkan dan membatinkan Pastor Sandjaja, baik secara komunal maupun pribadi. Tiap imam dan frater Seminari TOR diajak membuat refleksi terkait pengalaman nilai-nilai yang diwariskan Pastor Sandjaja.
Terkait dengan belum dikanonisasinya Pastor Sandjaja sebagai martir, Pastor Irawan mengatakan, yang prinsip dan pokok adalah Pastor Sandjaja menjadi pendoa kita. Artinya, sejak semula, laku devosi kepada Pastor Sandjaja dibuat dengan kesadaran bahwa dia selama ini telah menjadi pendoa yang ulung dan mujarab. “Inilah yang lebih penting. Inilah kekuatan kita para beriman,” tegas Pastor Irawan.
Selalu Bangga
Tidak hanya di wilayah KAS, nama Pastor Sandjaja juga dipakai sebagai nama pelindung wilayah maupun lingkungan di beberapa Paroki di Keuskupan Agung Jakarta (KAJ). Setidaknya terdapat dua Paroki yang memakai nama Pastor Sandjaya sebagai nama wilayah dan lingkungan. Paroki Taman Galaksi Bekasi Selatan St Bartholomeus memiliki wilayah yang berlindung di bawah nama Richardus Sandjaja dengan ketiga lingkungannya menggunakan nama Sandjaja.
Saksi sejarah pembentukan wilayah Sandjaja, Fransiskus Xaverius Wakidi berkisah, ketika itu nama St Leonardus diajukan menjadi nama pelindung wilayah baru tersebut. Namun, ketua lingkungan Gabriel Sularji (Alm.) menganjurkan nama Pastor Sandjaja. Ide itu disambut baik oleh peserta rapat seperti Cahyo Subroto dan Suryo Pranoto yang pernah mengecap pendidikan seminaris di Yogyakarta.
Saat itu, Wakidi mendengarkan argumen Sularji mengapa memilih nama Sandjaja. Romo Sandjaja itu adalah cikal bakal berdirnya agama Katolik di Jawa. Mari kita angkat nama itu. Ketika itu Wakidi tidak begitu mengenal siapa Pastor Sandjaja itu. Maklum, ia baru menjadi penganut Katolik.
Suryo, ketua wilayah pada saat itu segera mendaftarkan nama Sandjaja kepada Pastor Alex. Tak ada pertentangan ketika nama Sandjaja didaftarkan, walaupun imam itu belum digelari kudus. Hanya tersemat rasa bangga bahwa seorang imam asal Indonesia sedang dalam proses pengajuan sebagai martir pada saat itu.
Meskipun pada akhirnya mereka mengetahui bahwa mimpi mereka melihat Sandjaja diakui sebagai martir belum terkabul akibat masih kurangnya bukti dan saksi, mereka tetap bangga. Wakidi dengan suara lantang masih menyuarakan kebanggaan itu. “Saya bangga wilayah dan lingkungan kami memakai nama Sandjaja karena ia putra bangsa,” ucap prodiakon yang telah melayani selama 12 tahun ini.
Selanjutnya untuk menjaga warisan iman Pastor Sandjaja dan agar sosok itu tidak dilupakan generasi muda. Lingkungan Sanjaya 3 Paroki Taman Galaxy merencanakan akan mengadakan program mengenalkan kembali sosok Pastor Sandjaja kepada umat wilayah dan lingkungan. Wakil ketua lingkungan Sanjaya 3, Stephanus Dimas Puji Kristyanto yang akrab disapa Dimas membeberkan rencana kegiatan ini akan dimotori oleh Orang Muda Katolik (OMK). “Kami harap kegiatan ini akan dapat dilaksanakan pada 16 Desember 2018,” ujar Dimas penuh harap. Dimas menambahkan, melalui pertemuan ini diharapkan umat dapat secara bersama-sama menggali nilai luhur dari Pastor Sandjaja yakni pengorbanan dirinya. Suatu sikap yang jarang diperlihatkan oleh orang zaman modern saat ini.
Demi mendalami sang sosok panutan, umat wilayah ini pun mengadakan ziarah ke Muntilan untuk mengunjungi makam sang pastor. Hal serupa juga dilakukan oleh umat Lingkungan Sanjaya Wilayah Klender Paroki Duren Sawit St Anna. Ketua Wilayah Klender, Aris Sanyoto menjabarkan setiap malam Minggu umat lingkungan mengadakan sembahyangan rosario di rumah pencetus nama lingkungan Sanjaya, Hilarius Swamin Taryanto (Alm). Rumah suami dari Josefine Alexandra, akrab disapa Sandra ini disebut umat lingkungan sebagai ‘Markas’.
Dalam Markas terpampang beberapa foto Pastor Sandjaja. Selain itu, umat lingkungan juga sering menghaturkan doa dengan ujud agar Pastor Sandjaja segera diangkat sebagai santo. Taryanto dikenal sebagai sosok yang rajin memberitakan tentang Pastor Sandjaja. Selain mengoleksi foto, Taryanto juga membeli buku mengenai kehidupan sang imam. Tidak hanya untuk konsumsi pribadi, kisah kelahiran 20 Mei 1914 ini dibagikan kepada umat lingkungannya. Nilai keteguhan dan kesetiaan Sandjaja sering ia sampaikan.
Sandra menuturkan kecintaan suaminya kepada Pastor Sandjaja diwariskan oleh sang ayah, Patrisius Sumardjono. Hal ini bermula ketika adik suaminya sewaktu kecil menderita sesak nafas dan demam hebat. Keluarganya pun berdoa dengan perantaraan Pastor Sandjaja. Alhasil, sang adik mampu melewati masa kritis. Tidak hanya itu, Sandra juag berkisah sekitar tahun 90-an seorang ibu umat lingkungan Sanjaya yang sering disapa ibu Harry mengalami kecelakaan hebat. Saat menyebrang dengan sepeda ia ditabrak. Banyak tulangnya patah. Saat itu Sugianto, Ketua lingkungan Sanjaya memberikan relikui sang pastor. Tak disangka, ia mengalami proses pemulihan yang relatif singkat. Sampai sekarang ibu tersebut masih sehat. Sandra pun mengutarakan keprihatinannya, “sangat disayangkan sudah banyak pelaporan mukjizat dari perantaraan doa Romo Sanjaya tetapi belum juga lulus menjadi martir.”
Felicia Permata Hanggu/ Elwin Jhanto (Semarang)
HIDUP NO.49 2018, 9 Desember 2018