HIDUPKATOLIK.com – BUNYI lonceng berdentang mengiringi gelap yang perlahan bergeser. Aku terjaga dari tidur malamku yang panjang. Segera ‘ku lepaskan selimut yang setia mendekapku. Kulirik weker di samping bantalku. Pukul 05.00.
Apakah aku harus bangun? Atau kuteruskan tidurku yang belum puas kunikmati, dan memberi alasan bahwa hari ini aku sakit? Ah tidak! Aku harus bangun. Tanpa memanjakan kemalasan yang terus merayuku, aku bangun dan bersimpuh di pojok doa.
“Tuhan,aku bersyukur atas rahmat hari baru ini. Aku bersyukur atas nafas kehidupan yang boleh Engkau berikan padaku.”
Seraya memincingkan mata yang terasa berat, kucoba tetap fokus dengan doaku, namun pikiranku melayang pada sepeda tua teman seperjalananku. Sepeda tua milik komunitas yang kupakai selama ini, telah banyak berjasa bagi diriku, entah itu ke kampus ataupun ke pasar untuk membeli kebutuhanku.
Namun beberapa hari ini sepeda itu rusak. Telah kuperbaiki namun tetap tak mengalami perubahan. Kembali perasaan kesal merasuk pikiranku. Bunyi langkah kaki membuyarkan lamunanku. Kuakhiri doa yang sedari tadi tak kuhayati. Aku bergegas ke kamar mandi.
Ku lihat teman-teman telah rapi dengan jubah putihnya berjalan memasuki kapel. Dengan terburu-buru aku membasuh wajah dan berlari ke kamar mengenakan jubahku. Dari celah jendela, kudengar lantunan madah memecah keheningan pagi. Aku terlambat.
Dengan berlari kecil aku menuju ke kapel dan mengikuti ibadat pagi, menyisakan nafas yang masih terengah-engah. Pikiranku kembali pada sepeda tuaku. Mengapa menyiksa diri dengan membawa sepeda itu? Mengapa aku tetap bertahan disini dengan segala tantangan yang sungguh menyiksaku?
Apakah aku memang betul-betul dipanggil, sedangkan dari awal aku meniti panggilan suci ini, aku selalu saja dihadapkan dengan berbagai macam tantangan, entah itu sakit, kecapaian sehingga membuatku tidak fokus kuliah, dan berbagai macam hal lainnya.
Penyebab semua masalah yang kualami tak lain karena sepeda tua itu. Pertanyaan-pertanyaan ini terus menggerayangi pikiranku. Tanpa kusadari Perayaan Ekaristi berakhir.
Sekali lagi, aku tak menghayati Ibadat Pagi dan Ekaristi Kudus pagi ini. Semuanya terasa hampa. Dengan gontai, aku menuju ke kamar makan. Sapaan teman-teman kubalas seadanya walau hati terasa berat untuk sekadar memberi senyuman.
Memang betul apa yang dikatakan orang bahwa raut wajah dipengaruhi oleh suasana hati. Dan hal ini yang teman-teman rasakan, mungkin karena melihat raut wajahku berbeda dengan hari-hari kemarin.
“Kamu kenapa No?” tanya Tomi teman semejaku.
“Aku tidak kenapa-kenapa,” jawabku singkat tanpa melihatnya.
“Tapi dari tadi ku perhatikan, kamu sepertinya melamun? Apakah kamu ada masalah atau sakit?”
“Aku tidak kenapa-kenapa. Mungkin karena tidak mandi pagi ini,” jawabku sekenanya.
Aku menghabiskan makananku dan bergegas ke kamar untuk bersiap ke kampus.
***