HIDUPKATOLIK.com – Bu Gisela yang baik, perkenalkan nama saya Carolina. Saya menikah tiga bulan lalu. Ketika saya dan suami berhubungan intim, suami kerap kali merekam dengan kamera telepon selulernya. Sebenarnya saya merasa risih, namun tak kuasa menolak. Ia beralasan hanya untuk konsumsi pribadi. Ada lagi yang membuat saya kaget. Suami pernah membawa dan meminta saya untuk memakai alat bantu seks. Katanya, membuat dia lebih cepat “naik”. Lagi-lagi, saya terpaksa ikut kemauannya. Ada apa dengan suami saya? Bagaimana cara menghentikannya? Mohon petunjuk. Terima kasih Bu.
Carolina, Bandung
Ibu Carolina yang baik, dalam kehidupan rumah tangga, salah satu aspek yang memang perlu dibina melalui komunikasi terbuka dan tenggang rasa adalah dimensi seksualitas. Karena itu, kegalauan yang Ibu rasakan saat ini amat wajar dan sering terjadi pada pasangan lain.
Hubungan intim antara suami-istri harus dilandaskan pada kebersamaan dan salah satu pihak tak bisa bersikap egois. Oleh karena itu, langkah pertama yang perlu Ibu jalin bersama suami adalah membuka jalur komunikasi dua arah untuk membahas hubungan seksual Anda berdua.
Awal mungkin Ibu akan merasa risih untuk memulainya, namun bila hal ini tak dibicarakan maka Ibu akan terus menerus merasa tertekan, sementara suami mungkin tak menyadari bahwa Ibu sebenarnya enggan, bahkan merasa terpaksa untuk meluluskan permintaannya.
Dalam komunikasi ini, selain adanya pengertian dari pihak suami, Ibu juga membutuhkan sikap terbuka, sehingga bisa ada kata sepakat antara Ibu dan suami mengenai apa yang bisa dilakukan dan yang tak bisa dilakukan dalam berhubungan intim. Ibu bisa memberikan batas yang tegas dan jelas yang bisa dan tak bisa Ibu lakukan, terutama bila Ibu merasa bahwa permintaan suami memiliki risiko atau bila suami Ibu tak bisa melakukan hubungan intim tanpa ada bantuan sarana tertentu.
Mengenai perilaku suami apakah masih dalam batas wajar atau tidak, Ibu dapat menilai hal tersebut dari seberapa jauh suami mendesak Ibu untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya kurang berkenan bagi Ibu. Hubungan intim dalam sebuah pernikahan harus merupakan proses memberi dan menerima, dan bila berhasil dibina dengan baik oleh suami dan istri dapat mempererat tali pernikahan itu sendiri.
Sebaliknya, bila gagal terjalin komunikasi dan kerja sama yang baik maka aspek seksualitas tersebut bisa menjadi sumber konflik, terutama bila salah satu pihak kemudian menjadi bersikap menghindar. Bahkan ada kemungkinan hubungan intim menjadi hal yang sama sekali dihindari dan tak dinikmati oleh salah satu atau kedua pihak.
Mengingat usia pernikahan Ibu yang masih termasuk “pengantin baru”, sudah pasti bahwa Ibu dan suami masih butuh banyak penjajakan dan penyesuaian. Memang tak mudah untuk menyatukan dua kepribadian dengan berbagai sifatnya masing-masing dalam sebuah pernikahan, sehingga Ibu dan suami bisa mulus mengarungi kehidupan sebagai sebuah keluarga.
Saya yakin, bila Ibu dan suami sama-sama berusaha, maka komunikasi yang baik antara Anda berdua bisa terbina. Saya berharap, saran praktis ini dapat bermanfaat bagi Ibu dan suami, sehingga pernikahan Anda berdua bisa semakin mantap dan berbahagia. Tuhan beserta Ibu dan suami. Semoga Anda berdua selalu barada dalam kasih dan perlindungan-Nya.
Astrid Gisela Herabadi
HIDUP NO.39 2018, 30 September 2018