HIDUPKATOLIK.com – Dalam masyarakat konsumerisme seperti sekarang ini, ada tren masyarakat melakukan wisata kuliner. Apakah tidak perlu mewajibkan umat berpuasa lebih selain Rabu Abu dan Jumat Agung? Apakah ajaran Yesus kurang mementingkan peran puasa dalam hidup rohani? Mengapa Kitab Suci tidak banyak membahas tentang puasa?
Monica Suwarni, Malang
Pertama, masa Prapaskah adalah masa pertobatan sebagai persiapan untuk merayakan kebangkitan Yesus. Tiga hal utama yang dianjurkan Gereja pada masa ini ialah doa, puasa (pantang dan matiraga), dan amal-kasih (KHK Kan 1249). Memang, Gereja hanya menetapkan dua hari tersebut sebagai hari puasa. Tetapi, harus diingat bahwa peraturan ini hanyalah menetapkan tuntutan minimal yang berlaku untuk semua orang. Tentu saja, boleh melakukan ulah-tapa lebih daripada yang dituntut. Prakarsa pribadi dan sifat sukarela menjadi tanda yang sangat berarti dalam pertobatan kita. Keseriusan dan ketulusan kita bisa mendorong untuk berpuasa lebih sering. Puasa membebaskan kita dari keterikatan pada kebutuhan dasar untuk makan dan dengan demikian membuat manusia lebih peka dan terbuka kepada kehendak Allah.
Kedua, memang Yesus tidak secara eksplisit menggariskan ajaran tentang puasa bagi murid-murid-Nya, tetapi semangat puasa Yesus nampak sangat jelas dalam desakannya untuk melepaskan diri dari kekayaan (Mat 19:21) dan nafsu seksual (Mat 19:12), dan terutama dalam ajaran-Nya tentang penyangkalan diri serta memanggul salib (Mat 10:38-39). Sikap lepas-bebas dari aneka tawaran duniawi yang menggiurkan yang diungkapkan dalam penyangkalan diri hanya mungkin dilakukan secara serius melalui puasa. Maka puasa memainkan peran penting dalam hidup rohani kristiani. Masa Prapaskah pernah disebut masa puasa. Ini menunjukkan pentingnya puasa dalam hidup rohani kristiani. Puasa Yesus selama 40 hari menjadi model puasa kristiani. Anjuran Yesus agar kita berpuasa nampak secara jelas dalam Khotbah di Bukit (Mat 6:17-18). Yesus menekankan sisi rohani puasa, yaitu dengan kesungguhan hati terarah kepada Tuhan, mewujudkan pengharapan kepada Allah dan untuk dekat dengan Allah.
Ketiga, memang Kitab Suci tidak banyak membahas tentang puasa. Namun demikian, kita bisa menemukan banyaknya pembahasan tentang motivasi berpuasa. Seperti ditekankan oleh Yesus, berpuasa bukanlah untuk pamer dan mendapatkan pujian dari sesama (bdk Mat 6:16) atau untuk menyombongkan diri (Luk 18:12). Tujuan berpuasa bukanlah untuk kepentingan atau kepuasan diri sendiri, tetapi berpuasa itu sama dengan “merendahkan diri” di hadapan Allah (Im 16:29.31) agar lebih dekat dengan Allah, atau agar Allah campur tangan dalam suatu hal melalui tindakan atau rahmat-Nya.
Ketika seorang berpuasa untuk seluruh hari (2Sam 12:16; Yun 3:7), motivasi yang mendasarinya haruslah untuk pertobatan, yaitu berpaling kepada Allah, artinya menumbuhkan sikap bergantung dan menyerah penuh kepada Allah. Dalam Kitab Suci bisa ditemukan aneka motivasi untuk berpuasa, misalnya memohon kekuatan Allah sebelum melakukan tugas berat (Hak 20:26; Est 4:16), memohon ampun atas kesalahan (1Raj 21:27), mohon kesembuhan (2Sam 12:16.22), tanda berkabung sebagai janda (Ydt 8:5; Luk 2:37), silih setelah bencana nasional (1Sam 7:6; 2Sam 1:12; Bar 1:5; Zef 8:19), mohon berakhirnya bencana (Yl 2:12-17; Ydt 4:9-13), untuk membuka pikiran seseorang pada pencerahan Tuhan (Ul 10:12), untuk memohon rahmat yang perlu untuk menyelesaikan suatu tujuan (Kis 13:2-3), untuk menyiapkan seseorang bertemu Allah (Kel 34:28). Yesus berpuasa untuk mengawali misi mesianis-Nya (Mat 4:1-4). Paulus berpuasa untuk melayani (2 Kor 6:5; 11:27).
Agar berkenan kepada Tuhan, puasa yang benar tidak boleh bersifat autis atau rohani saja, tetapi harus diungkapkan juga dalam cinta kepada sesama dan harus mengikutsertakan usaha mencari keadilan sejati (Yes 58:2-11). Aneka motivasi ini menunjukkan pentingnya peran puasa dalam hidup rohani kristiani.
Pastor Dr Petrus Maria Handoko CM
HIDUP NO.10 2014, 9 Maret 2014