web page hit counter
Minggu, 24 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Pesparani I Digelar, Belajar dari Sejarah Gereja di Kepuluan Rempah-Rempah

5/5 - (1 vote)

PESTA Paduan Suara Gerejani Katolik (PESPARANI) menjadikan Gereja Katolik Maluku mencatat sejarah baru karena menjadi tuan rumah Pesparani pertama di Indonesia. Berkaca lebih jauh, Pesparani jangan sampai sekedar pesta. Umat Katolik perlu menengok sejarah bagaimana kehadiran misionaris menebarkan jala Injil di keuskupan Kepulauan Rempah-Rempah. Sekaligus bagaimana Gereja Katolik Keuskupan Amboina saat ini. 

Misionaris Fajar

Pada abad pertengahan hingga akhir abad ke-18 rempah-rempah merupakan komoditas yang paling dicari. Rempah-rempah menjadi sangat penting di Eropa karena berbagai kegunaan yang dimilikinya. Pada musim dingin dimana daging segar susah didapatkan karena ketiadaan pakan untuk ternak, solusi terbaik adalah dengan mengawetkan daging dengan menggunakan garam. Untuk menghilangkan rasa asin dan bau tengik dari daging yang mulai membusuk maka digunakanlah rempah-rempah untuk menyamarkannya. ” Selain berfungsi memberi rasa pada ikan atau daging yang diawetkan rempah dipercaya sebagai obat berbagai penyakit serta dimanfaatkan sebagai bahan kosmetik,” (Turner, 2011:198-199).

Patung Fransiskus Xaverius [Dok. keuskupan Amboina]

Dalam karya Cheviano E. Alputila, The Rise and Down of Catholicism in the Northern Moluccas in the 16th-17th, Century 214) menjelaskan mengapa Portugis dan Spanyol mau bersusah payah menguasai perdagangan pala dan cengkeh? Karena keuntungan yang menjanjikan jika memperdagangkan komoditi tersebut. Di Maluku ada “buah emas”, demikian Portugis dan Spanyol menjuluki cengkeh dan pala. Saking menariknya cengkeh dan pala disamakan harganya dengan emas hitam (budak) dari Afrika atau emas asli dari suku Azetc dan Inca.

“Ada perbandingan di tahun 1600-an setengah kilo cengkeh saja dibeli dengan harga setengah penny. Saking mahalnya mereka menganggap cengkeh dan pala dapat disetarakan dengan emas hitam (budak) Afrika. Sekedar perbandingan (100 penny = 1 poundsterling, mata uang Inggris), sedangkan di pasar Eropa harganya bisa mencapai 16 poundsterling. Jadi jika dihitung-hitung keuntungan setiap menjual setengah kilogram cengkeh adalah 32.000 persen. Tak heran Portugis dan Spanyol menghalalkan segala cara demi menguasai perdagangan komoditi tersebut di Maluku,” tulis Cheviano dalam catatan ekspedisi ke Maluku.

Mgr Petrus Canisius MSC dan Duta Besar Vatikan Mgr Guido Fillipazi dan Gubernur serta Walikota Ambon memberikat Patung St Fransiskus Xaverius di Hative, Ambon [Dok. Keuskupan]

Hubungan Portugis di Maluku selain berusaha mengusai rempah-rempah juga menyebarkan iman Katolik. Hubungan dengan kerajaan-kerajaan juga berjalan baik dan Agama Katolik menguasai sendi kehidupan masyarakat. Gereja Katolik dianggap sebagai pengayom berada di atas pemerintahan yang berkuasa. Bila diistilahkan kerajaan sebagai abdi dari gereja wajib melindungi Agama Katolik dari ancaman-ancaman.

Padahal saat Portugis ingin menjalin hubungan dengan Ternate, mayoritas masyarakat Maluku Utara, misal telah menganut Islam selama lebih dari setengah abad lamanya. Kerajaan-kerajaan besar di wilayah itu seperti Ternate ,Tidore, Bacan, dan Jailolo telah menerima Islam dan menjadikannya sebagai agama kerajaan sehingga penyebaran Katolik yang dilakukan Portugis dan Spanyol nantinya akan menimbulkan pertentangan oleh penguasa-penguasa wilayah tersebut. Dengan kata lain pilihan menjadi Katolik adalah pilihan politik melawan kedaulatan para sultan Muslim.

Salah satu reksa pastoral umat Katolik di Kepulauan Tanimbar [Dok. Pastor Cornelis Bohm MSC]

Agama Katolik tersebar karena para misionaris dari berbagai tarekat seperti Fransiskan, Dominikan, Agustin, dan Serikat Yesus. Salah satu yang nantinya akan menyebarkan ajaran Katolik yang sangat mahsyur di Asia yaitu St Fransiskus Xaverius (1506-1552). Sebagai penghormatan atas jasa-jasanya nama Xaverius diabadikan menjadi ikon Keuskupan Amboina seperti Katedral, Sekolah, Aula dan banyak lagi.

Baca Juga:  Uskup Agung Palembang: Banyak Intelektual Katolik, Hanya Sedikit yang Mau Berproses

Ketika kapal Santiago yang ditumpanginya lepas tambang dari pelabuhan Lisabon, usia Xaverius hampir genap 35 tahun. Dia lahir pada 7 April 1506 dan meninggalkan Eropa di tanggal yang sama tahun 1541. “Ia berangkat sebagai wakil raja (menurut sistem Padroada) dan diangkat menjadi wakil diplomatik Paus (Nuncio). Kekuasaannya luas, dan visinya juga luas. Xaverius berjalan jauh, dan jarang berdiam lama di suatu tempat, tetapi hanya melayani sebagai perintis penabur yang pekerjaannya akan diteruskan oleh orang lain, tulis Anne Ruck dalam Sejarah Gereja Asia (2005).

Anne Ruck juga menambahkan setelah berbulan-bulan perjalanan, Kapal Santiago tiba di Mozambik, Afrika. Xaverius tinggal di sana mulai Agustus 1541 hingga Maret 1542. Kemudian, ia berlayar lagi ke India. Pada 6 Mei, dia tiba di Goa yang menjadi pusat kegiatan Portugis di India. Di situ, dia menyebarkan iman Katolik. Setelah tiga tahun di sekitar India dengan hasil yang tidak memuaskan, dia menuju ke timur. Dia pun menuju Malaka yang sudah menjadi pangkalan strategis Portugis sejak 1511.

Perayaan 100 tahun Gereja Katolik masuk di Tanimbar [Dok. HIDUP]
Bulan Oktober 1545, kapalnya tiba di Malaka. “Ia tinggal di Malaka selama beberapa bulan, sambil belajar bahasa Melayu, lalu berkunjung ke pulau-pulau Maluku, termasuk Ambon, Ternate dan Halmahera. Mgr Leo Soekoto SJ dalam Buku Gereja Katolik di Indonesia (1995) menulis bahwa Setelah tahun baru, 1 Januari 1546 dia naik kapal dari Malaka ke Ambon. Xaverius bukan pembawa Katolik pertama di Maluku. Sekitar tahun 1538, sudah ada penginjilan Katolik di Ambon.

Sekitar tahun 1546-1547, Xaverius bekerja di tengah-tengah orang Ambon, Ternate, dan Morotai (orang Moro) serta meletakan dasar Katolik. Marle Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Moderen 1200-2008 (2008) menjelaskan bahwa daerah yang didatangi Xaverius adalah daerah rempah-rempah yang dalam kuasa Portugis. Tetapi penyebaran tetap di laksanakan oleh Xaverius.

Huub J.W.M Boelaars, dalam Buku Indonesianisasi, dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia (2005) menulis bahwa gerilya Xaverius pertama-tama membentuk kelompok umat kecil yang sudah dibaptis tetapi kemudian dia berpikir untuk melayani masyarakat kecil dan belum mengenal agama (kafir). Banyak ragam pastoral di buat Xaverius seperti menulis katekismus bahasa Melayu, menbuka sekolah-sekolah pribumi. “Dengan kepribadiannya yang mempesona ia mampu mengambil hati masyarakat kecil,” tulis Boelaars.

Xaverius tak menyebarkan Katolik dengan cara kasar dan berdebat sesuka hati dengan kaum awam. Dia belajar bahasa setempat, mengenal budaya lokal, mencicipi makanan lokal, tidur dan mencintai anak-anak, ia benar-benar menanamkan nilai kekatolikan yang mengena di hati umat. Xaverius tahu bahwa tidak semua unsur kekristenan bisa diterima langsung oleh masyarakat tetapi justru sebaliknya para misionaris dianggap mencurigakan. Baginya pendidikan dan kebudayaan setempat harus seiring bagi misi kekristenan,” tulis Anne Ruck.

Baca Juga:  Keuskupan Tanjungkarang Memperoleh Tiga Imam Baru: Imam Tanda Kehadiran Allah
Gereja Katedarl Jakarta [Dok Keuskupan Amboina]

Xaverius dianggap berhasil terutama lewat semangat kasih kepada penduduk setempat. Kontras memang bahwa sebagai orang Eropa ia tidak mendukung Portugis bila menindas masyarakat kecil. Ia memberi diri tanpa pamrih bagi misi kekatolikan. Keserakahan para pedagang Portugis tak digubrisnya. Misi Katolik ini lewat semangat kasih dan kepeduliannya ini membuat Gereja Katolik di Maluku dapat berkembang hingga saat ini.

Untuk Kristus, Jadilah!

Setelah misi Fransiskus datanglah para misionaris yang lainnya. Setiap 30 Juli, umat di Langgur dan Ambon merayakan peringatan kematian Mgr Johannes Aerts MSC; martir yang tewas di tangan tentara Jepang. Kisahnya sungguh mengharukan dan terus menyirami misi Katolik di Maluku.

Fajar belum menyingsing. Armada tentara Jepang mendarat di pelabuhan Tual, Kei Kecil, Maluku. Sebagian langsung menuju Langgur, sekitar 30 menit perjalanan dengan kendaraan dari pelabuhan Tual. Mereka langsung menggerebek rumah di mana Mgr Johannes Aerts MSC dan para misionaris lain tinggal. Mereka semua dikumpulkan, termasuk para suster, kecuali dua biarawati yang bersembunyi. Di pintu masuk kapela, Mgr Aerts bersama para misionaris menghadapi “sidang pengadilan”.

Philippus Renyaan, salah satu saksi mata peristiwa tersebut menggambarkan suasana pagi itu. Para misionaris yang berjubah semua, disuruh berjongkok, kecuali Mgr Aerts. Ia disuruh duduk di kursi. Pastor Gerardus Berns, yang dalam keadaan sakit, juga disediakan sebuah kursi. Melalui seorang juru bahasa, komandan pasukan Jepang mengajukan banyak pertanyaan kepada Mgr Aerts. “Kami datang di sini melulu demi kepentingan agama dan untuk mengajar penduduk di sini mengenal Tuhan, serta menghormati pemangku kekuasaan. Selanjutnya untuk mendidik anak-anak dan kaum muda, menolong yatim piatu dan orang sakit,” jawab Mgr Aerts menanggapi pertanyaan tentang tujuan kedatangan mereka ke Kei.

Di sela pengadilan, seorang bersepeda datang menyampaikan surat yang dibacakan dengan suara nyaring oleh juru bahasa. Hasilnya, Mgr Aerts dan para misionaris harus dibunuh. Para suster digiring ke susteran, juga seorang pastor berkebangsaan Jerman. Hari itu, 30 Juli 1942, Mgr Aerts ditembak mati oleh bala tentara Dai Nippon. Sebelum timah panas menembus tubuhnya, Mgr Aerts sempat berteriak, “Untuk Kristus, Raja kita, jadilah!”

Mgr Aerts bisa saja selamat dari tangan Jepang. Kala itu, Asisten Residen van Kempe-Valk, menyediakan fasilitas bagi misionaris Belanda untuk menyingkir ke Australia. Melalui pelbagai pertimbangan, ia akhirnya memutuskan agar semua misionaris tetap menetap di tempat tugasnya masing-masing. Saat itu, ada desas-desus bahwa Superior MSC, Pater H. Cornelissen MSC hendak mengizinkan para MSC untuk menyingkir ke Australia. Mgr Aerts menolak tawaran itu. “Bangsa Jepang adalah bangsa yang berkebudayaan tinggi, maka kita tidak perlu kuatir bahwa mereka akan bertindak secara biadab.” Penilaian itu nyatanya keliru.

Baca Juga:  Uskup Agung Palembang: Banyak Intelektual Katolik, Hanya Sedikit yang Mau Berproses
Makam Mgr Aerts MSC di Pulau Kei, Maluku Tenggara [Peter Rahawarin]

Misi Katolik di tanah Maluku bertumbuh subur. Pada 1558 terdapat lebih kurang 50 ribu orang Katolik. Namun, keberadaan orang Belanda yang Protestan menghentikan karya misi Katolik. Mulai 1903, misi di Maluku dan Papua dipercayakan kepada Tarekat Misionaris Hati Kudus (Missionarii Sacratissimi Cordis Iesu/MSC). Ini ditandai dengan kedatangan Pater Dr Matthias Neyens MSC dan Pater Henricus Geurtjens MSC di Langgur, 28 November 1903. Pater Neyens menjadi Prefek Apostolik pertama untuk wilayah Maluku Papua atau Prefektur Apostolik Nederlandsch Nieuw Guinea.

Memperhatikan perkembangan Gereja di Maluku dan Papua, maka Kongregasi Propaganda Fide di Vatikan, pada 29 Augustus 1920, memutuskan untuk meningkatkan status prefektur apostolik itu menjadi vikariat apostolik dengan nama Vikariat Apostolik Nederlandsch Nieuw Guinea, yang berpusat di TualLanggur, Kepulauan Kei. Pater Arnoldus Johannes Hubertus Aerts MSC dipilih sebagai Vikaris Apostolik yang pertama.

Mgr Petrus Canisius Mandagi MSC saat kunjungan pastoral pertama kali ke kepulauan Tanimbar [Dok Pastor Cornelius Bohm MSC]

Pesparani, Jangan Lupa Sejarah

Dari ringkasan sejarah ini, pantaslah bila dikatakan umat Katolik Indonesia perlu belajar dari sejarah. Pesparani tak sekadar pesta iman tetapi belajar dari pengalaman. Maluku selalu mengajarkan banyak orang soal pengalaman hidup. Selain konflik internalnya yang pernah memporakpordandakan Maluku membuat orang basudara saling membunuh. Semangat ale rasa beta rasa, potong di kuku rasa di badan menjadi hilang. Pengalaman hidup juga menjadi momen untuk mengenal sejarah Gereja Katolik.

Para imam yang bertugas di Keuskupan Amboina [HIDUP/Yusti H.Wuarmanuk]

Pesparani adalah kesempatan untuk belajar dari sejarah masa lalu dengan harapan memperbaiki diri. Kini Gereja Keuskupan Amboina telah memiliki tujuh kevikepan atau wilayah dengan tak kurang dari 40 paroki (belum termasuk kuasi paroki). Di Keuskupan Amboina ini juga menarik memiliki dua Katedral yaitu Katedral St Fransiskus Xaverius di Kota Ambon dan Katedral Langgur, Maluku Tenggara.

Data dari mantan Sekretaris Keuskupan Pastor Costan Fatlolon 15  Mei 2015 yang dimuat dalam website dokpen KWI dicatat, misi para misionaris telah menghasilkan benih-benih panggilan dengan kehadiran para pastor. Keuskupan Amboina kini menghasilkan sekitar 71 imam (tentu masih bertambah). Jumlah penduduk sekitar 2.968.666 jiwa dengan umat Katolik 119.665. Sementara itu sedikitnya 40 imam dari tarekat yang berkarya di Keuskupan Amboina ini yang terdiri dari Tarekat MSC, SVD, Frater-frater CMM. Selain itu ada juga komunitas biarawati seperti Suster PBHK, SMSJ, TMM, JMJ, dan TMM dan teraket sekular seperti ALMA.

Uskup Amboina Mgr Petrus Canisius Mandagi MSC [Dok HIDUP]

“Keuskupan Amboina bersyukur karena adanya Pesparani membuat umat Katolik perlu menyadari sejarah panjang iman kekristenan di Maluku. Dulu para misionaris berjuang demi iman mereka, sekarang kita berharap agar misi itu terus dipertahankan oleh misionaris-misionaris zaman ini. Kehadiran para pastor, frater, suster, dan awam sangat membantu iman kita. Pesparan meski telah usai nanti, kita berharap iman Katolik tetap bertahan dalam situasi apapun. Karena untuk Kristus Raja Kita, Jadilah!

Yusti H. Wuarmanuk (Ambon)

sumber: kepustakaan, internet, dan wawancara.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles