web page hit counter
Minggu, 3 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Kidung Agung dan Nyanyian Liturgi Perkawinan

5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Pertama sekali patut diberi apresiasi atas penerbitan buku Nyanyian Liturgi Perkawinan (NLP). Inilah sebuah usaha untuk memberi nyanyian-nyanyian yang tepat-liturgis sebagai koreksi terhadap perayaan liturgi yang “dewasa ini Gereja-gereja di Indonesia – terutama di kota-kota besar – sudah banyak dipengaruhi kecenderungan memilih nyanyian-nyanyian profan itu” (KWI 2011, Tata Perayaan Perkawinan). Memang tepat dan benar ditegaskan, “Musik serta nyanyian yang dipilih hendaknya berciri liturgis. Penampilan sesuatu yang melulu sekular dan profan ke dalam perayaan liturgis atau sesuatu yang hampir tidak ada keterikatan dengan kebaktian kudus, dengan dalih demi kesemarakan hendaknya dihindari: hal ini khususnya berlaku untuk perayaan perkawinan” (Petunjuk Khusus, No. 52). Namun demikian, komponis sebelum mencipta dan memilih lagu, sebaiknya membaca Kitab Kidung Agung. Misalnya, lihat pada Kidung Agung 7:6-9.

Memang sejak awal Kidung Agung tidak diterima begitu saja sebagai Kitab Suci. Namun akhirnya diterima sebagai Kitab Suci dalam Gereja Katolik. Karena Kitab Suci sering membandingkan hubungan antara Tuhan dan umat-Nya dengan simbol hubungan pria dan wanita, hubungan suami dan istri. Setelah membaca Kidung Agung, kita dapat mengalihkan renungan tentang hubungan kita dengan Allah dan Yesus. Sudah barang tentu, “mesti diakui bahwa Kidung Agung cukup erotik juga. Ini terutama jika orang memahami bahasa kiasan, perbandingan, gambar, dan sindiran yang banyak dipakai dalam kitab itu …Tetapi erotik tidak sama dengan pornografi. Pornografi adalah seks tanpa cinta, sedangkan Kidung Agung meluhurkan cinta antar jenis kelamin, terutama seksnya. Dengan bahasa cinta Kidung Agung memuji dan menggambarkan kecantikan pemudi dan tegapnya pemuda serta cinta bernyala-nyala yang mempersatukan mereka secara menyeluruh” (C. Groenen OFM. 1980).

Kita dapat mengatakan bahwa kata-kata dan terlebih melodi lagu-lagu dalam NLP, cenderung kurang erotis dan kurang romantik. Terkesan kata-kata dan melodinya kering, kurang menyentuh, kurang puitis, hanya demi nilai teologis dan sekadar melawan kecenderungan sekuler nyanyian Liturgi Perkawinan dewasa ini.

Dewasa ini pemberkatan perkawinan terintegrasi dalam Perayaan Ekaristi, bukan dua hal yang terpisah. Sejarah menunjukkan pada awal mula, pemberkatan perkawinan oleh imam dilaksanakan di depan pintu gereja. Perkawinan adat pun diakui pula. Dalam Petunjuk Umum Tata Perayaan Perkawinan, tertulis, “Perjanjian Perkawinan, tatkala seorang laki-laki dan seorang perempuan membangun persekutuan untuk seumur hidup, memperoleh daya dan kekuatannya sejak penciptaan. Bagi umat Kristiani, persekutuan perkawinan ditinggikan ke martabat yang lebih agung, karena menjadi salah satu dari sakramen-sakramen Perjanjian Baru” (no. 1). Maka diusulkan nyanyian Mazmur Tanggapan, Bait Pengantar Injil, Nyanyian Komuni, Madah Syukur sesudah Komuni, boleh liturgis, baik kata-katanya maupun melodinya, lebih mendalam, serius dan agak berat. Tetapi Lagu Pembuka, Nyanyian Penutup termasuk lagu-lagu untuk devosi kepada Bunda Maria atau Keluarga Kudus sebaiknya lebih erotis, ringan, dan romantik, untuk kata-katanya terlebih melodi, dengan inspirasi dari Kidung Agung, tanpa mengorbankan nilai-nilai teologis. Dengan demikian, Liturgi Perkawinan menggetarkan, mengharukan, menyentuh perasaan, tidak kaku dan kering. Ingatlah, para mistisi Katolik gemar dengan bahasa erotis, romantik, puitis, dalam hubungan dengan Tuhan seperti bahasa Kidung Agung (C. Groenen: hal 187).

Dalam buku NLP, lagu-lagu hasil lokakarya musik dari PML dan hasil revisi Komisi Liturgi KWI dinilai lebih berbobot ketimbang lagu-lagu gubahan pribadi komponis tanpa melalui lokakarya. Selain itu, buku NLP yang baru, banyak ditemukan nada-nada kromatis, tentu saja maksudnya baik, untuk lebih memperindah, namun dalam musik Timur kurang dikenal nada-nada kromatis. Bisa dinyanyikan kor dengan latihan lama tetapi sulit bagi umat, apalagi di pedesaan.

RD Jacobus Tarigan

HIDUP NO.38 2018, 23 September 2018

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles