HIDUPKATOLIK.com – Katedral Sanggau adalah kesatuan antara nilai Kristiani dan unsur budaya Dayak. Bukti bahwa Gereja Keuskupan Sanggau telah mengakar kuat dalam masyarakat dan tradisi.
KAYU belian adalah jenis kayu terkuat dan tahan lama. Pohon belian hanya ada di belantara Kalimantan dan dapat tumbuh sampai usia 1000 tahun lebih. Kayu ini begitu keras, tahan lama dan tidak mudah rapuh. Reputasi inilah yang menjadikan kayu belian mendapat julukan “kayu besi Borneo”.
Sebongkah akar-tunggul kayu belian inilah yang menjadi bahan pembuatan kursi takhta uskup Sanggau yang diletakkan di Katedral Hati Kudus Yesus Sanggau Kalimantan Barat. Takhta ini melambangkan jabatan uskup sebagai pemimpin tertinggi di sebuah keuskupan.
Dengan bahan kayu belian, takhta ini melambangkan kekuatan. Usia kayu yang tahan lama melambangkan penyertaan Tuhan yang terus-menerus bagi sang uskup dan umat yang dipimpinnya.
Takhta ini dibuat seperti tangan yang menengadah ke atas, bentuk ini diperoleh dengan menempatkan akar-tunggul belian pada posisi terbalik. Akar yang lazimnya berfungsi menyerap air dan mineral dari dalam tanah, dengan bentuk yang baru seakan mengarah ke atas. Ini melambangkan rahmat tahbisan uskup yang diterima dari Allah.
Tahbisan ini tumbuh dan mendapat kekuatan karena bersumber dari rahmat Allah. Takhta ini menjadi satu dari beberapa bagian Katedral Hati Kudus Yesus Sanggau yang telah selesai dibangun sejak mulai direnovasi pada tahun 2011.
Tujuh tahun penantian umat Keuskupan Sanggau untuk memiliki sebuah katedral baru terbayar. Ketua Konferensi Waligereja Indonesia, Mgr Ignatius Suharyo memimpin Misa Konsekrasi dan Dedikasi Katedral Sanggau, 11/9.
Budaya dan Kristiani
Hal unik lain yang dapat ditemukan di katedral yang berdiri di tepi Sungai Kapuas ini adalah bentuk keseluruhan bangunan yang jika terlihat dari atas berbentuk salib. Bentuk keseluruhan bangunan dipadukan dengan nilai-nilai Budaya Masyarakat Dayak. Terdapat tujuh menara yang melambangkan lumbung padi Masyarakat Dayak.
Vikaris Jenderal Keuskupan Sanggau Pastor Richardus Riady menjelaskan, pada menara yang melambangkan lumbung padi itu terdapat tiang-tiang sandong. “Selain itu di dalam interior gereja masih terdapat dua tiang sandong sebagai penyanggah gereja,” seperti dikutip www.pontianak.tribunnews.com, (9/9).
Perpaduan antara Budaya Dayak dan nilai-nilai Kristiani terlihat jelas pada beberapa bagian katedral. Ketiga pintu masuk utama katedral dibuat dengan kayu yang berasal dari hutan Kalimantan. Dalam setiap pintu itu terukir relief yang masing-masing menggambarkan peristiwa iman yang bersumber dari Kitab Suci.
Pintu utama bagian tengah misalnya dinamakan Pintu Apostolik, terdapat ukiran Yesus yang sedang memberikan kunci kepada St Petrus. Adegan ini seakan menggambarkan pesan Yesus kepada Petrus yang Ia sebut sebagai “batu karang”(Mat 16: 18-19).
Di bagian dalam pintu ini terdapat ukiran ukiran Hati Kudus Yesus dan Hati Kudus Maria. Setiap pintu utama katedral ini memiliki nama masing-masing. Dua pintu yang lain bernama “Pintu Doa” dan Pintu yang terakhir adalah “Pintu Keluarga Kudus”.
Unsur budaya terasa pada motif Dayak sebagai bingkai setiap pintu. Akhirnya ketiga pintu ini seperti mengajak umat untuk masuk dalam misteri iman akan Allah Tritunggal. Aksen Budaya Dayak yang menjadi bingkai seakan mengajak umat untuk tidak lupa pada asal dan akar mereka sebagai umat yang hidup di tanah Kalimantan.
Lonceng Katedral
Ada tiga buah lonceng yang dipasang di Katedral Sanggau. Ketiga lonceng ini mulai dibuat pada 27 Juni 2014 bertepatan dengan hari raya Hati Kudus Yesus, pelindung Katedral Sanggau. Pembuatnya adalah Pontificia Fonderia Marinelli, sebuah yayasan pembuat lonceng Kepausan di Agnone, Molise, Italia.
Setelah selesai dibuat pada 1 Oktober 2014, ketiga lonceng itu lalu dibawa ke Vatikan untuk diberkati Paus Fransiskus. Saat itu, Paus juga mendoakan umat Keuskupan Sanggau agar selalu mendapat berkat dari Tuhan.
Tiga lonceng ini memiliki ukuran dan berat yang berbeda-beda. Leceng terbesar dengan berat 220 kilogram memiliki nada dasar “do”. Di sini terdapat gambar Hati Kudus Yesus. Di bagian tengah lonceng ini juga terdapat logo Paus Fransiskus dan Logo Uskup Sanggau.
Di samping kanan terdapat logo Kabupaten Sanggau dan Kabupaten Sekadau. Sedangkan di bagian kiri terdapat logo Provinsi Kalimantan Barat. Lonceng kedua memiliki berat 115 kilogram dengan nada dasar “mi”. Sedangkan lonceng terkecil memiliki berat 75 kilogram dengan nada dasar “sol”.
Setelah selesai dibangun, Katedral Sanggau mampu menampung 2500 umat. Diperlukan waktu tujuh tahun untuk menyelesaikan katedral ini. Baik dalam Budaya Dayak maupun dalam Gereja Katolik, angka tujuh memiliki arti yang baik.
Katedral Inkulturasi
Katedral Sanggau merupakan sintesis indah antara teknik arsitektur, kebudayaan Dayak, seni, dan kehidupan. Ini semua teringkas dalam lambang pohon yang hidup. Mgr Yulius Menccucini CP menjelaskan, katedral ini melambangkan gereja inkulturatif. Unsur seni dan budaya dalam aneka simbol membuktikan Gereja Keuskupan Sanggau telah mengakar kuat dalam budaya dan tradisi.
“Katedral ini melambangkan gereja inkulturatif. Nilai-nilai seni dan budaya yang terlambang oleh berbagai simbol, membuktikan bahwa Gereja Keuskupan Sanggau sudah mengakar dalam budaya dan tradisi.”
Dengan selesainya Katedral Sanggau, maka seluruh umat bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan. Uskup Sanggau Mgr Menccucini mengungkapkan, Allah yang Maha Kuasa telah memberi sukacita untuk membangun. Untuk itu ia mengajak umat untuk bersyukur atas rahmat ini.
“Gereja ini mengingatkan kita bahwa di dunia, kita berziarah dan gedung ini adalah tempat istimewa dimana kita datang untuk menyembah Tuhan yang tinggal diantara kita untuk menikmati santapan roti dari surga,” jelasnya.
Mgr Suharyo mengungkapkan, Katedral Sanggau adalah katedral yang sangat unik. Katedral ini mencerminkan persatuan dengan Gereja universal. Dalam bentuknya, katedral mengungkapkan nilai simbolik dan budaya Dayak. “Kita berharap semoga melalui keindahan katedral ini, umat semakin mudah mendekatkan diri kepada Tuhan,” ungkap Uskup Agung Jakarta ini.
Konsekrasi Katedral Sanggau akhirnya menjadi tonggak sejarah bagi seluruh umat. Mgr Suharyo melanjutkan, setiap umat diajak untuk menyadari panggilan hidup Kristiani yaitu serupa dengan Kristus dan menuju kesucian yang semakin sempurna.
Karena Katedral ini didedikasikan kepada Hati Kudus Yesus maka ia mengajak umat berdoa kepada Hati Kudus-Nya. “Yesus yang lemah lembut dan rendah hati jadikan hatiku seperti hati-Mu.” Bupati Sanggau, Paolus Hadi menyampaikan, pembangunan Katedral adalah wujud kebersamaan umat. Katedral Sanggau ini akhirnya menjadi kebanggan seluruh masyarakat, khususnya umat Katolik di Sanggau dan Sekadau.
“Keberhasilan pembangunan ini tidak terlepas dari peran aktif kita semua.” Hadir juga dalam Misa ini, Bupati Sekadau Rupinus, Wabup Sanggau, Yohanes Ontot, Wabup Sekadau Aloysius, dan Ketua DPRD Sanggau Jumadi. Sebanyak 17 uskup datang dari seluruh Indonesia, menjadi kebahagiaan tersendiri bagi Umat Keuskupan Sanggau.
Antonius E. Sugiyanto
HIDUP NO.38 2018, 30 September 2018