HIDUPKATOLIK.com – Saya, wanita 34 tahun, suami saya 36 tahun. Kami sudah menikah selama tiga tahun dan belum dikaruniai keturunan. Sudah banyak dokter yang kami kunjungi, baik spesialis kandungan maupun androlog. Beberapa kali uji laboratorium, diketahui kondisi reproduksi suami saya kurang sehat. Beberapa dokter menyarankan kami untuk melakukan inseminasi, dan pada akhirnya kami setuju. Tetapi kemudian, saya membaca bahwa inseminasi dan segala proses rekayasa kehamilan tidak diijinkan oleh Gereja, sehingga saya dan suami mengurungkan niat untuk melanjutkan proses tersebut.
Saya pernah mengutarakan keinginan untuk adopsi, tetapi suami belum bisa mengambil keputusan karena mertua saya tidak setuju. Saya berusaha menahan keinginan karena saya menjaga perasaan suami agar tidak merasa bersalah dengan kondisi kesehatannya. Mohon nasihat Romo, usaha apa yang boleh kami tempuh untuk mewujudkan impian kami ini? Bagaimana hukumnya menurut Gereja, jika kami tetap melakukan inseminasi? Terima kasih.
Maria, Malang
Ibu Maria yang sedang bingung, kami sangat mengerti akan pengalaman Ibu yang ingin memiliki keturunan setelah menikah. Keinginan ini suci, seperti juga Allah yang begitu suci menilai kelahiran bayi atau anak-anak sebagai pelengkap hidup keluarga dan penerus generasi. Kerinduan memiliki anak perlu diterima sebagai pengalaman rohani juga.
Jika kita sungguh mengasihi Tuhan, maka kita perlu mengusahakan segala sesuatu yang kita harapkan dengan bijaksana, tanpa meninggalkan kehendak-Nya. Hubungan suami-istri harus dapat mengantar kedua pihak pada keterbukaan untuk memiliki anak. Hal ini mutlak. Akan tetapi, jangan di balik bahwa kita harus mendapatkan anak dari kebersatuan kita, bahkan dengan cara yang tidak dikehendaki Allah.
Inseminasi, baik yang heterolog (ada pihak ketiga) maupun yang homolog (dari suami-istri sendiri), tidak sesuai dengan ajaran Katolik, karena meniadakan proses persatuan suami-istri. Kesatuan ini harus dianggap sebagai syarat untuk memiliki anak, bukan hanya legalitas pernikahannya.
Dokter tidak dengan sendirinya memiliki hak untuk mengatur kepemilikan anak dan memutuskan nasib suami-istri untuk hal itu. Intervensi medis harus selalu menghormati martabat manusia, sehingga tidak membiarkan proses manusiawi melalui hubungan seksual biasa diabaikan. Hubungan seksual yang diganti dengan teknik lain inilah yang ditolak.
Selain itu, dapat dikhawatirkan bahwa proses inseminasi selalu melibatkan seleksi dari calon bayi yang disatukan sehingga proses aborsi pun terlibat. Ini sangat dilarang oleh Gereja. Sebaliknya, jika tidak dilakukan seleksi maka proses inseminasi barangkali adalah proses bantuan dari luar dengan memasukkan sperma dan sel telur ke tuba falopi istri sehingga terjadi pembuahan. Proses ini tidak melibatkan masturbasi tetapi memakai perforated condom (kondom yang dilubangi) sehingga tetap ada sperma yang masuk dan sebagian lagi dibersihkan dan dicampur dengan obat sebelum dimasukkan kembali agar memudahkan penyuburan.
Prinsipnya, pertama, tidak boleh diadakan intervensi tanpa persetubuhan suami istri. Kedua, dihindari adanya proses seleksi yang melibatkan aborsi. Ketiga, kedua pihak suamiistri harus benar-benar terbuka pada kehendak Allah, juga dengan hati lapang menerima jika memang Tuhan belum menghendaki pasutri memiliki anak.
Selalu bisa dilakukan konsultasi dengan para ahli kandungan untuk mengusahakan kesuburan Anda berdua. Akan tetapi, harus tetap mengingat prinsip-prinsip tadi sehingga Anda berdua tidak perlu melawan hukum dan moral Gereja Katolik. saya akan berdoa bagi Anda dan pasutri lain yang mengalaminya agar tetap teguh dalam iman kepada Bapa Penyelenggara Hidup. Tuhan memberkati.
Alexander Erwin Santoso MSF
HIDUP NO.15 2014, 13 April 2014