web page hit counter
Jumat, 22 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Menanggapi Janji Keabadian

Rate this post

HIDUPKATOLIK.com Minggu 26 Agustus 2018, Hari Minggu Biasa XXI, Yos 24:1-2a, 15-17, 18b; Mzm 34:2-3, 16-17, 18-19, 20-21, 22-23; Ef 5:21-32; Yoh 6:60-69

“Kesetiaan untuk memegang Firman Tuhan di tengah berbagai godaan gaya hidup perkawinan yang ditawarkan ‘zaman now’, akan membuahkan keselamatan abadi”

SEJARAH relasi manusia dan Allah diungkapkan dalam berbagai bentuk. Salah satu bentuknya diungkapkan dalam wujud relasi perjanjian. Perjanjian Allah-manusia sebenarnya merupakan suatu bentuk relasi yang tidak seimbang karena Allah Yang Agung mengangkat manusia ciptaan-Nya sebagai partner dialog.

Di Sikhem di bawah kepemimpinan Yosua, bangsa Israel memperbarui perjanjiannya dengan Allah. Yahwe dipilih sebagai Allah maka bangsa itu mempunyai pangkal dan arah hidup yang jelas. Persekutuan bangsa itu diwarnai oleh perjanjian dengan Yahwe yang menjanjikan keselamatan.

Melalui baptisan setiap orang Kristiani diterima menjadi anggota Gereja. Martabatnya diangkat menjadi “anak Allah” dan hidupnya ditandai oleh janji permandiannya. Janji menggapai keabadian dan keilahian. Yang terbaptis mengambil bagian dalam hidup Allah sendiri.

Baca Juga:  Ketua Lembaga Biblika Indonesia, Pastor Albertus Purnomo, OFM: Semangat Sejati Seorang Raja

Suatu kehidupan yang tak dapat diproduksi oleh manusia sendiri tetapi dianugerahkan sebagai rahmat. Kejatuhan manusia dalam dosa memperlihatkan bahwa relasi perjanjian sering sulit dipertahankan sehingga Allah bertekad untuk menuliskan perjanjian itu dalam hati manusia dan bukan pada huruf hukum yang ditempelkan dari luar (bdk.Yer 31, 31-34).

Secara menentukan janji yang diingkari manusia itu dilampaui Allah dengan menjalin relasi kasih dan kerahiman melalui kehadiran Yesus. Namun, rahmat pengampunan dapat ditolak karena Allah begitu menghormati kebebasan manusia yang bisa berkata “tidak” bahkan untuk keabadiannya sendiri.

Injil hari ini mencatat bahwa “mulai dari waktu itu banyak murid mengundurkan diri dan tidak lagi mengikuti Yesus” (Yoh 6:66). Kebebasan manusia begitu menentukan bagi keselamatannya sendiri sejauh ada keterbukaan menanggapi Allah yang menyapanya.

Tanggapan manusia yang sepadan rencana Allah akan membangkitkan rasa syukur karena ia berubah menjadi penerimaan anugerah. Tak mengherankan Yesus bersabda: “Tidak ada seorang pun dapat datang kepadaKu, kalau Bapa tidak mengaruniakannya” (Yoh 6:65).

Baca Juga:  Ketua Lembaga Biblika Indonesia, Pastor Albertus Purnomo, OFM: Semangat Sejati Seorang Raja

Mereka menjalani hidup berkeluarga dipanggil pula untuk melaksanakan ikatan janji kasih Allah secara khusus dalam hidup perkawinan. Janji kasih antar dua insan itu ditingkatkan intensitas dan hakekatnya menjadi suatu sakramen yakni ikatan kasih yang menyerupai kasih Kristus dengan Gereja-Nya sendiri seperti dilukiskan dalam Bacaan Kedua hari ini.

Jika dewasa ini terdapat godaan-godaan besar untuk menurunkan standar tuntutan Injil akan hidup perkawinan maka suami-isteri Kristiani dihadapkan pada “pengadilan nurani” yang sama seperti apa yang telah dialami oleh para murid Yesus: “Apakah kamu tidak mau pergi juga?”

Kesetiaan untuk memegang Firman Tuhan di tengah berbagai godaan gaya hidup perkawinan yang ditawarkan zaman now, akan membuahkan keselamatan abadi. Meminjam kata-kata St. Yohanes Paulus II, keluarga lalu menjadi komunitas yang tidak hanya “diselamatkan” tetapi sekaligus menjadi komunitas yang “menyelamatkan” (bdk. FC, 49 ).

Baca Juga:  Ketua Lembaga Biblika Indonesia, Pastor Albertus Purnomo, OFM: Semangat Sejati Seorang Raja

Hal itu karena ada kesetiaan orang Kristiani untuk berpegang pada idealisme tentang perkawinan sebagaimana diajarkan Yesus. Janji hidup abadi dapat dicapai melalui praktek kehidupan suami-isteri yang berpola pada kasih yang diperlihatkan Yesus dalam mencintai Gereja-Nya.

Berpegang pada komitmen untuk saling mencintai secara total seperti Kristus mencintai Gereja menjadi jalan kehidupan abadi bagi mereka yang memilih cara hidup berkeluarga.

Akhirnya jawaban pamungkas dari Petrus yang mewakili para murid yang lain merupakan contoh jawaban iman atas janji kasih setia Allah. “Tuhan kepada siapakah kami akan pergi? SabdaMu adalah sabda hidup yang kekal. Kami telah percaya dan tahu bahwa Engkau adalah yang kudus dari Allah” (Yoh 6,68-69).

Di sana ada penyerahan diri dan kepercayaan total akan pribadi Yesus dan rintihan terdalam kerinduan hati manusia untuk menggapai keabadian.

 

Mgr Paulinus Yan Olla MSF
Uskup Tanjung Selor

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles