HIDUPKATOLIK.com – Bunda Maria ialah citra asli Gereja, yang dirindukan tiap umat beriman. Warisan tradisi devosi pada Maria menjadi salah satu ekspresi ziarah iman Gereja. Devosi ini mestinya disertai usaha meneladan pribadi yang dihormati.
Pada saat mengikuti Misa Minggu di Gereja, acapkali terdengar ucapan syukur dalam ‘Doa Umat’ atas terkabulnya permohonan melalui doa Novena Tiga kali Salam Maria. Dalam Warta, Buletin Paroki maupun majalah berhaluan rohani, iklan ucapan syukur ini pun kerap dijumpai. Yang paling sering ialah syukur atas terkabulnya permohonan melalui Bunda Maria.
Gereja Katolik memang punya tradisi devosi yang amat kuat pada Bunda Maria. Dua bulan dalam setahun –Mei dan Oktober– menjadi waktu khusus untuk devosi ini. Secara komunal, umat menggelar doa Rosario bersama secara bergiliran pada bulan-bulan itu. Bahkan tak jarang Bunda Maria menjadi figur Ibu bagi umat yang sedang dihimpit masalah atau terjerembab dalam kesulitan hidup.
Tempat-tempat ziarah Maria pun seolah tak pernah sepi didatangi para devosan. Bahkan boleh jadi, Misa Pembukaan dan Penutupan Bulan Maria lebih populer dan dihadiri lebih banyak umat daripada devosi pada Hati Kudus Yesus atau Misa Jumat Pertama. Belum lagi komunitas-komunitas devosan Maria ini seakan sudah mendarah daging dalam dinamika kehidupan umat.
Hawa Baru
Tradisi penghormatan yang begitu spesial pada Maria ini sebenarnya sudah muncul sejak abad-abad pertama kekristenan. Pada awal Gereja, yang mendapat penghormatan justru para rasul dan martir karena heroisme imannya akan Kristus hingga titik darah penghabisan.
Meski demikian, Maria sebenarnya sudah mendapat julukan sebagai “Hawa Baru” sejak abad II. Putri St Yoakim dan St Anna ini dibandingkan dengan Hawa da lam Kitab Kejadian. Hawa yang telah diperdaya iblis dan jatuh dalam dosa telah membawa kehidupan menuju kematian. Ketika Yesus direfleksikan sebagai “Adam Baru”, Maria pun disebut sebagai “Hawa Baru”. Maria dinilai setia pada kehendak Allah dan melaksanakan tugas sebagai “yang melahirkan Sumber Hidup”. Dengan misteri kelahiran, sengsara, wafat dan kebangkitan Yesus, kehidupan telah menang atas ke matian. Maka Maria yang tulus ikhlas menyerahkan diri untuk menjadi jalan kelahiran Yesus itu disebut “Hawa Baru”. Belenggu dosa Hawa telah di lepaskan oleh ketaatan Maria. Hawa telah menjadi budak dosa, tapi ketaatan Maria telah membebaskannya karena dari Pohon Pengetahuan Hawa telah dihukum, tapi ketaatan Maria menghasilkan buah pengampuan dan rahmat dari Pohon Salib Kristus.
Refleksi penghormatan pada Maria itu menjadi buah iman para Bapa Gereja, seperti: St Yustinus dan St Irenius abad II; St Ambrosius dan St Gregorius Nazianze abad IV; St Hieronimus dan St Agustinus abad V, dll. Julukan “Hawa Baru” ini pun melekat pada Maria. Apalagi kala Maria dikaitkan sebagai jalan ke lahiran Sang Sumber Hidup; ia pun konon sudah disebut-sebut sebagai Bunda Yesus yang notabene Bunda Allah. Sejak abad III kala penghormatan pada orang-orang kudus mulai marak, Maria pun masuk dalam bilangan para kudus itu.
Dogma Maria
Pada masa kepausan St Celestinus I (422-432), digelar Konsili Efesus (431) yang menegaskan dogma Maria sebagai Theotokos atau Bunda Allah. Inilah dogma Maria pertama, sekaligus menjadi dasar munculnya tiga dogma Maria selanjutnya. Namun, ditengarai sebutan ini sudah muncul pada abad yang lebih awal.
Dogma Maria pertama itu kemudian di konfirmasi dalam Konsili Kalsedon (451) pada masa kepausan St Leo Agung (440-461). Tak heran jika pada abad V sudah muncul hari pesta St Maria, seperti: Kelahiran Maria tiap 8 September dan Kabar Sukacita pada 25 Maret. Namun perlu diingat, dua konsili ini menegaskan dogma Theotokos sebagai bentuk perlawanan terhadap ajaran Nestorian –yang hanya menganggap Maria sebagai bunda kemanusiaan Yesus.
Dua konsili itu cukup berpengaruh dalam perjalanan sejarah devosi Maria. Pada zaman itu mulai muncul ikon (gambar) Maria yang selalu lekat dengan bayi Yesus sebagai ekspresi dogma Theotokos. Ikonografi ini berkembang menjadi Maria tanpa bayi Yesus sekitar abad VI. Maria dilukiskan sebagai Ratu, bersama para rasul, menerima kabar sukacita, dll sebagaimana kisah-kisah Maria yang termaktub dalam Kitab Suci.
Perkembangan ini dilatari oleh munculnya dogma Maria sebagai yang tetap perawan, kudus dan mulia dalam Konsili Konstantinopel II (533) pada masa Paus Yohanes II (533-535). Dogma Maria kedua ini dikonfirmasi dalam Sinode Lateran II (649) pada masa kepausan St Martinus I (649-655). Secara tegas, Paus Mar tinus I menjelaskan, Maria tetap perawan baik sebelum, ketika dan sesudah melahirkan Yesus. Dogma ini mengajarkan simbol rahmat keselamatan, yakni menunjukkan hakikat keilahian Yesus yang telah menjadi manusia dalam rahim Bunda Maria. Dua dogma tersebut sebenarnya berakar pada syahadat: “…yang dikandung dari Roh Kudus, dilahirkan oleh Perawan Maria…” Pun kalimat-kalimat syahadat kuno turut mendasari munculnya dua dogma Maria ini. `
Dogma Maria ketiga dipromulgasikan Paus Pius IX (1846-1878) melalui Surat Apostolik Ineffabilis Deus pada 8 De sember 1854. Inilah dogma Maria yang dikandung tanpa noda dosa. Refleksi atas dogma ini sebenarnya telah mentradisi dalam Gereja. Konon cikal bakalnya bahkan sudah muncul sejak abad II dalam refleksi St Ireneus. Tradisi ini terus berkembang dari masa ke masa, seperti ajaran St Agustinus (354-430), Paus Sikstus IV (1471-1484) hingga Beato Pius IX. Penampakan Maria di Lourdes, Perancis (1858) pada St Bernadette Soubirous (1844-1879) sebanyak 18 kali kian meneguhkan dogma ini. Bunda Maria sendiri –pada penampakannya ke-16– menyebut dirinya “Yang terkandung tanpa noda dosa” (The Immaculate Conception).
Selang seabad kemudian, 1 November 1950, Paus Pius XII (1939-1958) mener bitkan Konstitusi Apostolik Munificentimtissimus Deus yang berisi tentang dogma Maria keempat, yakni Maria Diangkat ke Surga dengan mulia. Dogma ini menjelaskan pengangkatan jiwa dan raga Maria ke surga. Beberapa naskah kuno menunjukkan, benih tradisi ini sudah muncul sejak abad IV.
Devosi Populer
Sekitar abad XIV, devosi Maria mulai menunjukkan awalan booming. Penghormatan pada Maria seolah naik daun dan menjadikannya sebagai devosi kerakyatan yang amat populer di kalangan Gereja secara universal. Berawal dari situ, tumbuhlah tradisi Rosario, doa Angelus Domini (Malaikat Tuhan) dan ziarah secara mondial.
Titik awal booming ini tak lepas dari diseminasi hasil Konsili Nicea II (787) pada masa Paus Adrianus I (772- 795). Devosi pada Maria –termasuk di dalamnya pribadi Ilahi dan orang kudus– diakui sebagai warisan tradisi luhur Gereja selama berabad-abad. Konsili Nicea II membela praktik devosi itu dengan memanfaatkan sarana, seperti: gambar dan patung. Karya seni itu dimaksudkan untuk membantu umat agar lebih meresapi dan menghayati hidup rohaninya; mendekatkan diri dengan pribadi yang dilukiskan secara indrawi.
Tak heran jika mulai bermunculan tempat-tempat ziarah Maria di seluruh penjuru dunia. Hingga kini, ada begitu banyak tempat ziarah Maria yang tak pernah sepi peziarah. Dari ratusan tempat yang diklaim sebagai tempat penampakan Bunda Maria, hanya beberapa saja yang diakui secara resmi oleh Gereja, misalnya: Guadalupe, Meksiko (1531), La Salette (1846) dan Lourdes, Perancis (1858), Knock, Irlandia (1879), Fatima, Portugal (1917), dll.
Efek tradisi ini pun terbawa hingga ke bumi pertiwi. Di Indonesia saja, puluhan gua Maria selalu didatangi peziarah, terutama pada Mei dan Oktober. Bahkan kini, tiap paroki pun seolah mentradisikan adanya gua Maria di kompleks gerejanya. Inilah bukti popularitas penghormatan pada Maria sebagai devosi kerakyatan. Artinya, kecintaan pada Maria di kalangan umat sungguh tidak mengenal latar belakang budaya, status sosial, umur, dll.
Ziarah Iman
Praksis penghormatan pada Maria dalam Gereja Katolik ini berbeda dengan sau dara-saudari dari Gereja Kristen. Dalam Gereja Reformasi, tak ada praksis de vosi pada orang kudus. Karena hanya di anggap manusia biasa seperti orang ku dus lainnya, devosi pada Maria pun tak populer atau bahkan ditolak di kalangan Gereja Reformasi –meski belakangan ini disiplin Mariologi mulai di dalami di antara mereka. Misal, dua dogma Maria terakhir ditolak Gereja Kristen karena dianggap tak ada fondasi biblis yang kuat dan jelas, mengaburkan makna kristologis di mana Kristus menjadi satu-satunya perantara rahmat, dan dogma yang diundangkan sebagai magisterium dinilai menjadi sumber wahyu baru.
Sebenarnya para Bapa Reformasi – Martin Luther (1483-1546), Jean Calvin (1509-1564), Ulrich Zwingli (1484- 1531)– mewariskan praksis devosi pada Ma ria. Bahkan para teolog Kristen awal masih punya praksis devosi pada Maria. Pendiri Gereja Methodis, John Wesley (1703-1791) dan tokoh Gereja Reformed, Karl Barth (1886-1968) pun mempertahankan devosi pada Maria. Namun warisan itu lambat laun memudar. Kini mereka tetap menghormati Maria, tapi menolak praksis devosinya seperti dalam Gereja Katolik yang dianggap berlebihan.
Padahal Gereja Katolik memahami devosi sebagai penghormatan. Menurut St Agustinus, penghormatan (dulia) ini berbeda dengan penyembahan (latria). Penyembahan hanya diperuntukkan pada Allah Tritunggal; sementara penghormatan dilakukan bagi santo-santa, termasuk Bunda Maria. Paus Paulus VI (1963-1978) mewariskan Surat Apostolik Marialis Cultus (1974) terkait penghormatan Gereja pada Maria.
Devosi pada Maria memang seharusnya dipahami sebagai sikap hormat dan usaha meneladan peziarahan iman Maria. Secara khusus Konstitusi Dogmatis tentang Gereja hasil Konsili Vatikan II, Lumen Gentium (LG art 52-69) menjelaskan mariologi terkait dengan kristologi dan eklesiologi. Figur Maria menjadi citra asli Gereja. Sebagai manusia, ia secara total setia pada Allah dan mengikuti perjalanan Putranya hingga tuntas. Ziarah imannya sempurna hingga ia mencapai persekutuan dengan Allah yang menjadi kerinduan tiap umat beriman. Inilah kristalisasi devosi pada Maria: membangun sikap setia pada kehendak Allah sepanjang hidup dengan meneladan dia yang ‘terpuji di antara semua wanita’.
R.B.E. Agung Nugroho
HIDUP NO.21, 25 Mei 2014