web page hit counter
Jumat, 22 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Teologi Monastik

3.9/5 - (7 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Pada tahun 2018 ini dirayakan peringatan 1.000 tahun biara Benediktin di Inggris. Vatican News melaporkan Paus Fransiskus mengutus Anders Kardinal Arborelius menghadiri perayaan itu di Biara Buckfast di Devon, Inggris.

Dalam sejarah Gereja Katolik, ada warisan yang sangat berharga melalui kesaksian hidup doa para rahib (pertapa pria) atau rubiah (wanita). Mereka menghidupi keheningan dalam hidup harian. Berdoa dan bekerja (ora et labora) menjadi semboyan hidup mereka. Dalam tradisi Benediktin, kehidupan religius secara mendasar adalah bersifat sosial. Oleh karena itu, dalam komunitas, mereka bekerja dan berdoa bersama, memiliki segala sesuatunya secara bersama.

Bunda Teresa dari Kalkuta (1910-1997) mengungkapkan alasan mengapa orang sulit berdoa. Salah satu alasannya adalah ketidaktahuan orang bagaimana sebaiknya berdoa. Bagi Bunda Teresa, yang paling penting dalam doa adalah keheningan. Dikatakannya demikian, “Berdoa itu amat sulit apabila orang tidak tahu bagaimana ia sebaiknya berdoa. Apa yang paling penting adalah keheningan. Kita tidak akan dapat menyadari kehadiran Allah tanpa menjadi hening. Maka, kita harus membiasakan diri dengan suatu keheningan roh, keheningan mata, dan keheningan lidah.”

Dalam audiensi pada 28 Oktober 2009, Paus Benediktus XVI pernah menyebut bahwa para rahib sangat berjasa dalam mengembangkan teologi monastik di Gereja Katolik. Para rahib atau rubiah adalah pendengar yang saleh dan pembaca Kitab Suci. Salah satu pekerjaan utama mereka terdiri dari lectio divina, yaitu membaca Kitab Suci dalam suasana doa.

Pada awalnya para rahib hidup sendiri (monos) di padang gurun, lalu dalam perkembangannya tinggal di biara pertapaan. Para rahib membentuk komunitas untuk memajukan kesanggupan mereka mempraktikkan kehidupan asketik. Para monastik biasanya hidup dalam kebersamaan komunitas (senobit), tetapi ada juga dalam kesendirian (eremit).

Dalam buku L’amour des lettres et le désir de Dieu, ‘Cinta akan sabda kata-kata dan kerinduan akan Allah’, (Jean Leclercq OSB (1911-1993). Leclercq menguraikan teologi monastik adalah mendengarkan Sabda Allah. Kerinduan mengenal dan mengasihi Allah yang datang untuk bertemu kita melalui perkataan-Nya haruslah diterima, direnungkan, dan diterapkan. Tindakan ini menuntun kita untuk memperdalam pengetahuan teks Biblis dalam semua dimensinya. Sikap yang selalu ditekankan untuk menghayati teologi monastik yaitu disposisi yang intim dan penuh doa untuk memahami Sabda Allah dalam Kitab Suci.

Teologi monastik menurut Paus Benediktus XVI menyatukan aspek rohani ke dalam formasi susastra. Disadari bahwa penafsiran yang murni teoritis tidaklah memadai. Untuk masuk ke dalam inti Kitab Suci, orang harus membacanya dalam semangat yang mana sabda Allah ditulis. Pengetahuan susastra diperlukan untuk memahami makna yang tepat dari kata-katanya dan untuk memahami makna teks, yang mempertajam kepekaan gramatika dan filologis.

Teologi menjadi meditasi, doa, kidung pujian dan mendorong kita dalam pertobatan yang tulus. Di jalan ini, banyak penafsir teologi monastik mencapai tujuan tertinggi pengalaman mistik dan membentangkan undangan kepada kita untuk memperkaya hidup kita dengan sabda Allah. Yohanes Maria Vianney mengungkapkan pentingnya doa dalam peziarahan hidup manusia’. “Doa menumbuhkan jiwa kita dan menjadikannya mampu mengasihi Tuhan. Doa adalah mencicipi Surga, firdaus yang berlimpah.”

Tak jarang orang sulit menyediakan diri dan waktu untuk berdoa. Orang digoda untuk kian menjauh dari Allah. Orang asyik dengan dirinya sendiri dan peralatan teknologi. Padahal, kita dipanggil untuk menjadi manusia pendoa, man of prayer, man of God. Dua situasi yang bertolak belakang ini memunculkan tegangan dalam hidup kita. Tegangan itu adalah tegangan yang kreatif. Bagaimana menghadapi tegangan tersebut?

Tindakan yang penting dilakukan zaman ini adalah menyediakan waktu hening atau keheningan. Tidak menunggu, tetapi kita sendiri yang menciptakannya. Orang Jawa menyebut: neng (meneng), ning (wening), dan nung (dunung). Meneng (berdiam) dan wening (hening) merupakan usaha disiplin diri supaya kita bisa menemukan dunung, yaitu kesejatian hidup, pengalaman mistik, seperti yang diwariskan para rahib dalam hidup monastik.

Y. Gunawan, Pr

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles