HIDUPKATOLIK.com – Seorang “public relations” dipersepsikan sebagai garda terdepan perusahaan. Namun, seorang “public relations” juga harus mengetahui keseluruhan proses dari suatu institusi.
Seperti biasa, beberapa mahasiswa duduk di sudut-sudut koridor kampus The London School of Public Relations (LSPR) Jakarta. Sofa-sofa empuk tertata rapi di kantor, menjadikan tempat itu selayak ruang tamu di rumah. Area ini menjadi tempat bagi mahasiswa untuk berinteraksi satu dengan yang lain. Mahasiswa yang sedang asyik berdiskusi atau yang hanya duduk menunggu jam masuk kuliah berikutnya, menjadi pemandangan yang setiap hari terlihat.
Keseharian ini juga yang setiap hari dilihat Janette Maria Pinariya. Di kampus LSPR ini, Janette mulai mengenal dunia public relations (PR). Seiring waktu, dunia PR tak dapat lagi terpisah dari kehidupan Janette. Dari awalnya mahasiswa, kini ia menjadi Eksekutif Dekan di sekolah tinggi yang terletak di daerah Jakarta Pusat ini.
Bagi Janette, menjadi PR bukan hanya sebagai cover depan perusahaan. Seorang PR harus masuk ke dalam; memahami sisi manajemen, serta paham pandangan-pandangan atau visi misi perusahaan.
Panggilan Mengajar
Setelah lulus SMA, Janette memilih jurusan PR. Seperti mahasiswa lain saat itu, dunia PR menjanjikan masa depan karier yang cemerlang. Atas alasan inilah, ia memilih LSPR sebagai tempatnya menimba segala pengetahuan dan keterampilan sebagai seorang PR yang handal. “Dulu memilih LSPR karena ingin mengambil jurusan public relations, setelah lulus dapat bekerja sebagai profesional.”
Setelah lulus dari LSPR, Janette ternyata memiliki panggilan lain. Berkarier sebagai PR di perusahaan bukan panggilan yang ia pilih. Ia lebih tertarik mengikuti panggilan sebagai seorang pengajar. Siapa sangka, setelah lulus alamamater memintanya bekerja menjadi dosen. “Dari saat itulah saya memulai panggilan sebagai seorang pengajar.”
Seorang PR selalu dipersepsikan sebagai garda terdepan sebuah perusahaan. Darinya, segala sesuatu tentang perusahaan dapat ditanyakan. Janette menjelaskan PR harus mengetahui keseluruhan proses dari sebuah institusi. PR adalah salah satu kunci dari perusahaan. Saat ada krisis tertentu yang menyerang lemabaga, PR akan berusaha membangun citra dan reputasi perusahan. “Nah, di sinilah orang PR itu menjadi salah satu key point untuk bisa mengendalikan keadaan. Tentunya dengan semua bagian dan level pimpinan juga.”
Janette mengungkapkan keinginannya agar LSPR dapat mengantar mahasiswa-mahasiswi sampai lulus dan diterima di industri. Strategi yang ia ambil adalah dengan menyeimbangkan porsi antara akademisi dan praktisi. Mahasiswa juga diberi kelas-kelas praktik sehingga mereka tahu realitanya seperti apa. “Kami terus berupaya mengemas kurikulum yang relevan yang sesuai dengan kepentingan industri,” bebernya.
Secara prinsip, Janette ingin agar mahasiswanya berkompeten, baik dalam hal pengetahuan di bidang komunikasi maupun keterampilan. Hal lain yang tidak kalah penting baginya adalah sikap. Ia menjelaskan, ketika masuk ke dalam dunia industri, pengetahuan dan keterampilan memang penting, namun lulusan yang memiliki sikap lebih baik maka juga akan mendapat peluang yang lebih besar.
Janette mengakui, tidak mudah mengatur jalannya perkuliahan di Perguruan Tinggi Ilmu Komunikasi dengan 3000 mahasiswa dan 250 dosen itu. Ia memaknai kiprahnya di dunia pendidikan ini sebagai bentuk pelayanan. Setelah 14 tahun berlalu, ia mengaku menikmati dan senang bertemu dengan generasi muda. “Apalagi sebagai alumni, saya juga ingin berkontribusi untuk pengembangan kampus sendiri.”
PR Indonesia
Meski telah merasa asyik dalam dunia pendidikan, Janette terus berupaya agar dapat mengimplikasikan pengetahuannya akan PR ke dunia di luar pendidikan. Ia menilai penerapan PR saat ini jauh lebih baik dibanding tahun-tahun sebelumnya. Namun belum seperti dunia Barat.
Sejak 2016, Janette dipercaya menjadi salah satu anggota dewan juri PR Indonesia Awards. Penghargaan bagi praktisi PR ini diselenggarakan setiap tahun. Di sini, Janette melihat peserta yang berasal dari kementerian, BUMN, BUMD, dan swasta bisa menurunkan strategi dan taktik PRnya menjadi suatu program dan evaluasi yang dilakukan. “Pada tahun ketiga ini, saya melihat melalui program PR yang mereka buat, struktur PR menciptakan suatu warna tersendiri dan semakin baik, semakin beragam,” imbuhnya.
Janette melihat, banyak institusi yang kini berupaya dalam melakukan transformasi komunikasi. PR tidak lagi hanya berkutat dalam hal-hal teknis perusahaan. Peran PR semakin lama diperluas termasuk dalam penentuan arah dan strategi perusahaan. “Perkembangannya kini, peran PR tidak lagi teknis, tetapi sudah mengarah ke strategis.”
Dalam pemerintahan, Janette mengamati bawa dalam era Presiden Jokowi, muncul apa yang disebut sebagai “Government PR”. Hal ini memiliki fungsi menginformasikan hal-hal apa saja yang sudah dan akan pemerintah lakukan. Baginya, ini menjadi salah satu indikator bahwa PR Indonesia semakin berkembang. “Saat ini hampir semua Perguruan Tinggi memiliki Program Studi Komunikasi, yang salah satunya mengajarkan PR.”
Meski demikian, Janette tak mengelak bahwa di banyak kalangan, PR masih dianggap sebagai guest relations atau etalase semata. Asal berpenampilan menarik sudah cukup untuk menjadi PR. Padahal, menurut Janette, seorang PR itu juga harus punya kompetensi. Urusannya bukan hanya tampil ke depan dan “mejeng” saja tetapi harus punya pemahaman yang komprehensif. “Sebagai perwakilan institusi, PR harus punya helicopter view terhadap perusahaan,” tutur umat Paroki St Fransiskus Xaverius Tanjung Priok, Keuskupan Agung Jakarta ini.
Janette sering diundang oleh berbagai lembaga untuk menjadi pembicara. Salah satunya adalah dalam Rakernas Badan Pengawas Pemilu. Ia memaparkan bagaimana seharusnya PR zaman now, bagaimana mereka harus up to date dan tidak lamban. “Artinya harus segera cepat membuat informasi. Cepat bukan berarti kita melupakan akurasi pemberitaan ketepatan; tetapi cepat dan tepat,” katanya dan menambahkan, “Berkomunikasi dengan publik harus humanis dan bukan dengan kalimat-kalimat paksaan.”
Kemampuan berkomunikasi dalam PR, menurut Janette, tidak hanya berbicara dan bernegosiasi tetapi juga menulis. Selain itu ia menambahkan di era digital saat ini, komunikasi melalui media sosial pun sudah menjadi keharusan. “Kita harus mengikuti perkembangan zaman di mana komunikasi dengan publik tidak selalu face to face communication,” ujarnya.
Namun Janette mengakui, kadang PR mungkin bisa saja gagap dan tidak siap. Sehingga ketika menyampaikan informasi menggunakan media digital, treatment yang dipakai masih sama ketika bertemu langsung. Ia menuturkan, informasi, foto, dan penjelasan yang disampaikan harus pas. “Kadang-kadang kita tidak melihat ke sana, hanya berpikir yang penting informasi sudah disampaikan.”
Janette Maria Pinariya
TTL : Jakarta, 4 Januari 1982
Suami : Yulius Bagus Pujo Priyatno
Anak : Yohanes Jevon Aryo Pinariya, Gabriel Juan Baskoro Pinariya
Riwayat Pendidikan:
– S1 Marketing Komunikasi di The London School of Public Relations (LSPR) Jakarta
– Komunikasi Pemasaran STIKOM The London School of Public Relations (2000 – 2004)
– Program Magister Manajemen Pemasaran Universitas Persada Indonesia YAI (2005 – 2007)
– Program Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Sahid Jakarta (2011 – 2016)
Jabatan:
Eksekutif Dekan The London School of Public Relations (LSPR) Jakarta
Hermina Wulohering